Koreografi Sirayo Setan karya Ahob atau Muhamad Febrian dihadirkan dalam Festival Nan Jombang Tanggal 3 pada Senin, 3 November 2025—sebuah peristiwa budaya berkala yang diinisiasi Nan Jombang Dance Company dan telah berlangsung konsisten selama 13 tahun, yang mendapat dukungan program seni dari Bakti Budaya Djarum Foundation.
OLEH Nasrul Azwar
DI ANTARA geliat dan gelinjang perkembangan tari kontemporer Minangkabau yang terus berusaha mencari bahasa tubuh baru tanpa menanggalkan akar tradisi, Sirayo Setan tampil sebagai karya koreografi yang tidak hanya meminjam kekuatan folklor dan cerita rakyat, tetapi juga menempatkan tubuh sebagai medan pertempuran psikologis yang getir dan luka, serta dinamika gerak yang dihantui bayangan setan.
Koreografi Sirayo Setan karya Ahob atau Muhamad Febrian dihadirkan dalam Festival Nan Jombang Tanggal 3 pada Senin, 3 November 2025—sebuah peristiwa budaya berkala yang diinisiasi Nan Jombang Dance Company dan telah berlangsung konsisten selama 13 tahun, yang mendapat dukungan program seni dari Bakti Budaya Djarum Foundation.
Di tengah kecenderungan koreografer muda mengeksplorasi isu-isu kontemporer yang lebih populer, Ahob justru menukik ke ranah folklor Minangkabau—wilayah cerita rakyat yang selama ini jarang dijadikan bahan garapan di panggung tari. Pilihan itu menegaskan keberaniannya mencari sumber estetik dari akar tradisi yang kerap terpinggirkan.
Dalam pementasan Sirayo Setan, keberanian artistik tersebut tampak menonjol: Ahob tidak sekadar menghidupkan kembali kisah lama, tetapi menghadirkannya sebagai medan pergulatan emosional dan simbolik yang relevan dengan pengalaman batin manusia masa kini.
Menurut Angga Mefri, Direktur Festival sekaligus kurator di Nan Jombang Dance Company, nama Ahob sudah masuk dalam radar pengamatan mereka sejak ia masih duduk di bangku SMK Negeri 7 Padang. Nan Jombang kala itu menggelar workshop KABA Festival di sekolah tersebut pada 2023.
“Saat workshop itu, Ahob terlihat sangat aktif bertanya, khususnya terkait proses kreatif penciptaan tari. Antusiasmenya menjadi catatan penting bagi kami di Nan Jombang,” ujar Angga Mefri. “Sejak itu kami mengikuti perjalanan kreatifnya. Setelah lulus dari SMKN 7, ia melanjutkan studi di Universitas Negeri Padang, Departemen Sendratasik, Prodi Pendidikan Tari. Sebelum menciptakan Sirayo Setan, ia sudah menghasilkan dua karya koreografi. Karena melihat semangat berprosesnya yang kuat, kami memberi ruang baginya untuk tampil pada Festival Nan Jombang Tanggal 3.”
Kehadiran Sirayo Setan pada Festival Nan Jombang Tanggal 3 dengan memunculkan koreografer debutan menjadi penanda bahwa regenerasi koreografer di Sumatera Barat terus bergerak, sekaligus membuka percakapan baru tentang bagaimana folklore lokal dapat menjadi sumber artistik yang segar dalam tari kontemporer.
“Festival Nan Jambang Tanggal 3 memang membuka panggung seluas-luasnya untuk karya-karya seni baru yang selama ini tidak mendapat ruang ekspresi dengan basis tradisi Minangkabau,” tambah Angga Mefri.
Dalam pembacaan saya, koreografi Sirayo Setan bekerja dengan meminjam kekuatan artistik dari dua sumber folklor yang hidup di masyarakat Minangkabau. Ahob—nama panggung Muhamad Febrian—mengawali proses kreatifnya dari cerita gasiang tangkurak, kisah yang beredar lama di Luhak Limapuluh Koto dan Payakumbuh tentang sepotong bambu kecil yang berputar seperti gasing, tetapi diyakini dihuni kekuatan gaib atau roh jahat (tangkurak). Lalu yang kedua, kisah saluang serumpun atau sijundai. Dalam kepercayaan lama, keduanya dapat dipakai untuk mengendalikan seseorang dari jauh atau menjadi medium balas dendam lewat ilmu hitam.

Bagi Ahob, kisah yang terus berkembang di tengah masyarakat itu bukan sekadar legenda gelap yang menakutkan. Ia melihat di baliknya sebuah pesan psikologis dan moral yang jauh lebih dalam: bagaimana manusia dapat tergoda oleh kuasa, dendam, dan keinginan membalas, hingga membuka pintu bagi kehancuran dirinya sendiri. Kekuatan yang dipanggil untuk melukai orang lain pada akhirnya justru balik merusak tubuh, pikiran, dan kemanusiaan si pemanggil.
Makna yang subtil namun tajam ini kemudian menjadi dasar penciptaan Sirayo Setan. Ahob tidak sedang menghidupkan kembali ritual lama, melainkan menafsir ulang bagaimana pergulatan batin antara kebaikan dan kejahatan berlangsung dalam diri manusia.
“Dari cerita itu, saya melihat bagaimana manusia mudah tergoda oleh kekuasaan dan dendam, lalu tanpa sadar membiarkan kekuatan itu menghancurkan dirinya sendiri,” ujar Ahob. “Lewat tari ini saya ingin menampilkan perjuangan batin antara kebaikan dan kejahatan yang selalu hadir dalam diri manusia.”
Proses penciptaan Sirayo Setan kemudian berjumpa dengan sumber folklor lain: kisah saluang serumpun atau sijundai narasi tentang cinta yang menjelma menjadi luka, tentang manusia yang kalah oleh sisi gelap dirinya sendiri.
Ahob mengolah dua cerita ini sebagai lanskap psikologis tubuh perempuan—tubuh yang menyimpan diam, senyum, rindu yang tak terucap, sekaligus amarah yang dipendam dalam tenang.
Di balik gestur lembut tokohnya, Sirayo Setan mengungkap lapis-lapis rasa yang membusuk perlahan. Luka yang tak disembuhkan berubah menjadi niat jahat, merasuki tubuh hingga sang perempuan kehilangan kendali atas dirinya. Tubuhnya terseret ke ruang terdalam yang paling gelap; geraknya tersentak, hilang arah, seperti doa yang tidak pernah sampai. Mata yang kosong menandai kesakitan yang tak bisa dijelaskan, sementara tubuhnya terasa ringan dan rapuh seolah diterpa badai kemarahan yang ia sendiri tak pahami.
Ahob memasukkan struktur dramaturgis tarinya dengan pantun lama yang mengandung isyarat perpisahan, kegagalan, sekaligus ketabahan:
Sipasan baronak putiah,
Jatuah kalopiak duo tigo
Abih sampan ganti jo upiah
Namun pulau den jalan juo.
Dalam konteks Sirayo Setan, pantun itu bergema sebagai pernyataan bahwa meski luka dan kegelapan merenggut arah, manusia tetap mencari jalannya sendiri—entah menuju terang, entah semakin tenggelam ke dalam bayangan.
Melalui gerak yang terbelah, tubuh yang kehilangan orientasi, serta atmosfer panggung yang dirancang untuk menggambarkan rasa “dirasuki”, ia menghadirkan perjalanan batin yang tidak pernah stabil—perjuangan antara yang hendak dikuasai dan yang berusaha menguasai.
Sirayo Setan menarasikan cukup baik tentang konsekuensi psikologis dari rasa yang tidak disembuhkan: luka yang membusuk, kemarahan yang tak terucap, dan dorongan gelap yang perlahan menggerogoti diri.
“Bagi saya, menari bukan hanya tentang gerak, tapi juga tentang rasa, cerita, dan cara saya mengekspresikan diri. Saya ingin terus belajar dan berkarya agar bisa membawa seni tari, terutama tari tradisi Minangkabau, menjadi lebih dikenal dan dicintai banyak orang,” kata Ahob sembari mempertegas komitmennya.
Nomor Sirayo Setan dibuka seorang penari lelaki. Geraknya dinamis berbasis silek tradisi Minangkabau. Dari tubuh itu, ia membuka komposisi bangunan arsitektur dramaturgis yang selanjutnya mengurai dramatik Sirayo Setan dengan membuka ruang-ruang yang metaforis.
Dalam Sirayo Setan, Ahob tidak bekerja sendiri. Ia menata tubuh delapan penari utama—empat laki-laki dan empat perempuan—yang menjadi representasi narasi gelap dan berlapis dari karyanya. Mereka adalah Ahob sendiri, Selfafa, Abela Syahbina, Divaselasazuri, Reyhan, Liando, Aldani, dan Hafiz. Penari ini membentuk ansambel yang bergerak seperti satu organisme emosional: tubuh yang saling menahan, mendorong, jatuh, dan bangkit kembali seolah sedang menjalani pergulatan batin yang sama.
Kekuatan dramatik karya ini diperkuat oleh komposisi musik ciptaan Dimas Hidayatullah, yang dimainkan secara langsung dari atas panggung. Desah sampelong mengalun pelan, menembus ruang seperti hembus mantra. Suasana magis terasa merayap, seakan panggung diselimuti kabut tak kasatmata yang mengikat tubuh-tubuh penarinya dalam lingkaran ritual purba. Musik tidak sekadar menjadi latar, tetapi menjadi “roh pendamping” yang menggerakkan atmosfer dramaturgi.
Penataan panggung dan kostum digarap oleh M. Risky Arafiq, yang memberi identitas visual yang kuat pada pertunjukan ini. Melalui estetika sederhana tetapi simbolik, Risky menghadirkan ruang yang terasa rapuh sekaligus menekan—sebuah dunia tempat kegelapan batin bisa menjelma bentuk. Ia juga menegaskan eksistensi kelompok mereka, Komunitas Rantak Manikam Creation House, yang berdiri sejak 2019 dan berkiprah di dua kota: Payakumbuh dan Padang. Komunitas ini menjadi rumah kreatif bagi para penari muda yang terus mencari kemungkinan baru dalam eksplorasi tari berbasis tradisi dan cerita rakyat.
Kehadiran ketujuh penari, komposisi musik live, serta desain panggung yang menyokong dramaturgi membuat Sirayo Setan bukan sekadar pertunjukan, melainkan pengalaman emosional yang memanggil penonton untuk menelusuri gelap-terang di dalam diri manusia. Tetiba di rentang pertengahan durasi tari, seorang penari perempuan muncul dari tengah kursi penonton. Rambut terurai lepas. Ia melangkah menuju arah panggung. Di pentas, ia disambut komposisi tiga penari perempuan lainnya. Lalu keemopatnya membangun dramaturgu Sirayo Setan. Sosok penari perempuan yang muncul di dari barisan penonton representasi dari perempuan yang kena sijundai.
Perempuan dalam Sirayo Setan digambarkan sebagai sosok yang perlahan kehilangan kuasa atas tubuhnya. Ia seakan terlilit mantra—perpaduan bayangan gasiang tangkurak dan saluang serumpun atau sijundai—yang menyeretnya ke ruang gelap tempat kesadaran tidak lagi berdaulat. Dalam koreografi Ahob, hilangnya kendali itu diterjemahkan sebagai dominasi rasa gelap yang tumbuh dari dalam, sebuah kekuatan gaib yang merasuk dan perlahan merampas hak tubuh atas dirinya sendiri.
Figur perempuan itu tidak berdiri sendiri. Tiga penari perempuan lain mengimitasi geraknya, menjadikan tubuh-tubuh mereka sebagai gema sekaligus bayang-bayang dari korban utama. Mereka menciptakan visual tentang multiplikasi trauma: luka batin yang menyebar, ketakutan yang berlipat, dan tubuh-tubuh yang terseret dalam ritme yang sama tanpa mampu melawan.
Sebaliknya, tiga penari laki-laki menghadirkan figur-figur yang mengesankan “laku kuasa”—kehadiran yang tidak selalu eksplisit, tetapi terasa menekan, mengawasi, atau mengarahkan jalannya ritual gelap itu. Mereka bukan sekadar antagonis, melainkan representasi dari struktur kuasa yang bekerja dalam cerita-cerita tradisi: lelaki yang menguasai mantra, tubuh, dan nasib perempuan melalui ilmu yang tak terlihat.
Koreografi ini tidak menampilkan dominasi secara literal. Ahob justru mengolah tema tersebut dalam bentuk ketegangan ritmis: tubuh perempuan yang ditarik, dilepaskan, lalu kembali terseret; gerak yang tampak seperti upaya meloloskan diri, namun terus dipatahkan oleh sesuatu yang tak kasatmata. Dari sinilah muncul gambaran kuat tentang bagaimana tubuh perempuan dalam narasi-narasi lama sering menjadi medium bagi pergulatan kuasa—baik yang berasal dari luar, maupun dari kegelapan yang tumbuh dalam dirinya sendiri.
Kendati begitu, tari Sirayo Setan bukanlah ilustrasi atas cerita itu atau folklor itu. Ahob mengambil jarak dari folklor secara literal dan menggunakannya sebagai medan simbolis untuk mengulik bagaimana manusia dapat digerogoti oleh rasa yang tidak pulih: luka yang dipendam, kasih yang membusuk, dan amarah yang tidak diucapkan. Pada titik ini, Ahob bergerak dari ranah cerita luar ke konflik batin dalam—sebuah lompatan penting dalam kreativitas koreografi muda Minangkabau hari ini.
Kekhasan Sirayo Setan terletak pada bagaimana karya ini menempatkan tubuh sebagai arsip rasa yang membatu. Teks pengantar karya menggambarkan perempuan yang “diseret ke dalam keadaan paling gelap,” tubuhnya menjadi ringan, kosong, dan tak lagi ia kuasai. Secara dramatik, ini mencerminkan disasosiasi tubuh—suatu kondisi ketika kesadaran tercerabut dari raga akibat trauma atau tekanan psikologis secara tiba-tiba.
Gerak yang "kehilangan arah seperti doa yang tak pernah sampai" menunjukkan pencarian makna yang kandas. Dalam kerangka tari kontemporer Minangkabau, gambaran ini bersifat baru: Ahob mengarahkan pusat konflik ke ranah intim, bahkan psiko-somatik. Tubuh bukan lagi simbol kultur semata, tetapi menjadi ladang gelap di mana rasa berseteru dan melukai.
Musik sebagai Lanskap Psikis
Dengan Dimas Hidayatullah sebagai komposer, musik dalam Sirayo Setan bukan sekadar iringan. Ia menjadi lanskap psikis yang membungkus gerak: atmosfer ketegangan, repetisi yang menghipnotis, atau bunyi-bunyian yang seperti menarik tubuh ke ruang gaib.

Kehadiran tiga pemusik menunjukkan kemungkinan orkestrasi bunyi yang bekerja sebagai “energi tak terlihat”. Musik berfungsi sebagai oposisi sekaligus pendorong gerak. Tubuh penari bukan lagi agen tunggal; ia berada dalam dialog intens dengan suara—kadang melawan, kadang menuruti, kadang tak berdaya.
Menarik melihat Sirayo Setan dalam konteks perjalanan Ahob. Karya-karya sebelumnya seperti Bukit Cibaluik, Balik Pulang, dan Gadih Angik menunjukkan kecenderungan kuat pada narasi kampung, sejarah lokal, dan refleksi identitas. Ahob tampak tumbuh dari akar komunitas dan tradisi di Luhak Limapuluh Koto dan Payakumbuh, terutama rendai, silek serta kisah-kisah lokal yang menjadi sumber energi kreatif.
Pada ujung tari Sirayo Setan, Ahob sebagai koreografer tidak menawarkan jawaban atas kegelapan. Ia tidak menyelamatkan tokohnya; tidak memberi ruang penebusan. Tubuh yang dikuasai bayangan menjadi penanda penting bahwa manusia bisa dihancurkan oleh rasa yang tidak dipeluk, tidak dirawat, tidak diucapkan.
Karya ini penting bukan karena mengangkat cerita gasiang tangkurak, tetapi karena berhasil memindahkan mitos itu ke dalam tubuh manusia hari ini—tubuh yang diam, luka, letih, dan pada akhirnya dikuasai oleh sesuatu yang ia ciptakan sendiri.
Dalam lanskap tari kontemporer Minangkabau, Sirayo Setan adalah karya yang membuka pintu menuju eksplorasi psikologis yang lebih dalam, dan menjadi tonggak berani bagi perjalanan kreatif Ahob di panggung seni pertunjukan Sumatera Barat dan Indonesia.
Terus Mempertajam Diri
Sirayo Setan adalah sebuah karya koreografi yang memperlihatkan keberanian estetik seorang koreografer muda: Ahob, yang mengangkat dua tradisi magis Minangkabau—gasiang tangkurak dan saluang serumpun atau sijundai—sebagai sumber inspirasi utama.

Keduanya merupakan folklor yang telah lama hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Luhak Nan Bungsu dan Luhak Limo Puluah Koto. Namun justru keberanian untuk mengangkat dua mitos besar sekaligus inilah yang membuka sejumlah celah dalam struktur karya, terutama pada aspek dramaturgi, artikulasi tubuh, dan konsistensi konsep.
Dalam Sirayo Setan, Ahob mencoba menghadirkan benturan antara kasih, luka, pengkhianatan, dan gangguan gaib yang merasuki seorang perempuan hingga kehilangan kendali atas tubuhnya. Narasi ini kuat secara emosional, tetapi dalam realisasi panggungnya, garis dramaturgi tersebut belum tergarap dengan tuntas.
Karya terlihat lebih banyak memanggil suasana-suasana gelap, magis, terpikat, atau kerasukan daripada membangun perjalanan batin yang koheren. Lonjakan-lonjakan energi tubuh belum sepenuhnya ditautkan pada alur transformasi si tokoh perempuan. Akibatnya, konflik antara kekuatan baik dan jahat yang dimaksud Ahob sebagai poros makna kehilangan arah dramatiknya.
Kelemahan lain muncul dari keputusan untuk menyatukan dua sumber folklor: gasiang tangkurak dari Payakumbuh dan sijundai dari Pekumbu. Keduanya sama-sama berkisah tentang daya gaib yang dapat menguasai seseorang dari jauh, tetapi pada tataran dramaturgi, penyatuan tersebut belum memberikan dampak estetik yang matang.
Gerak yang mewakili gasiang tidak sepenuhnya memiliki hubungan logis dengan gerak yang menggambarkan sijundai. Dua kekuatan ini tampak hadir sebagai dua dunia terpisah yang diletakkan berdekatan, bukan sebagai dua lapisan mitologi yang bertemu dan saling mempengaruhi. Tanpa jembatan dramaturgis, karya kehilangan keutuhan dan terkesan seperti dua cerita yang dipaksakan untuk berjalan dalam satu panggung.
Dalam tubuh para penari, terutama penari perempuan yang menjadi pusat penderitaan, ekspresi “kehilangan kendali” telah muncul, tetapi masih berbentuk gestur generik: tubuh limbung, kepala terkulai, gerak-gores yang putus arah. Tubuh kerasukan seperti ini mudah jatuh ke pola ekspresif yang berulang, sehingga kekuatan dramatiknya tidak tumbuh secara bertahap.
Padahal, tema kehilangan kuasa menuntut eksplorasi yang lebih presisi: tubuh yang masih mencoba bertahan, tubuh yang mulai retak, hingga tubuh yang benar-benar lepas dari kendali. Tanpa perjalanan kualitas tubuh tersebut, tokoh perempuan tidak berkembang menjadi figur tragik, melainkan sekadar representasi “korban guna-guna”.
Demikian pula kehadiran tiga penari laki-laki sebagai simbol “laku kuasa”. Di atas panggung mereka tampak sebagai figur penekan, namun tekanan itu belum diartikulasikan dalam bahasa tubuh yang membangun hubungan konflik.
Kehadiran mereka lebih bersifat naratif—seakan hanya menunjukkan bahwa “inilah para pelaku”—daripada menjadi sumber gerak yang mengunci, menekan, membayang, atau memanipulasi tubuh perempuan. Jika laki-laki dianggap sebagai pemilik mantra, maka tubuh merekalah yang mestinya membawa struktur ritmis, memicu perubahan energi perempuan, dan menjadi motor dramatik bagi karya secara keseluruhan.
Namun sesungguhnya, potensi besar sudah hadir melalui musik sampelong dan komposisi live oleh Dimas Hidayatullah. Bunyi sampelong memunculkan aura ritual yang kuat. Tetapi musik tersebut masih lebih berfungsi sebagai pencipta atmosfer ketimbang sebagai penggerak dramaturgi.
Gerak penari tidak sepenuhnya merespons atau memantik perubahan struktur musik. Padahal, dalam karya bertema ritual, musik dapat menjadi pemantik transformasi tubuh: suara yang memerintah, bunyi yang merasuk, ritme yang mengacaukan keseimbangan tokoh. Karena hubungan tubuh–bunyi belum digarap matang, maka hubungan magis antara mantra dan tubuh belum terbentuk secara meyakinkan.
Dari segi komposisi panggung, jumlah penari yang mencapai tujuh orang—tiga laki-laki dan empat perempuan—sebetulnya menyediakan kesempatan untuk mengembangkan pola lantai yang dinamis. Namun tata ruang tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk mengarahkan fokus dramatik.
Keberadaan banyak penari justru kadang menutup pusat konflik, terutama ketika tubuh perempuan yang menjadi pusat cerita harus bersaing dengan gerak kelompok yang besar. Jika ruang tidak dikomposisikan dengan hirarki yang jelas, pusat perhatian penonton akan terpecah, dan energi emosional yang seharusnya tertuju pada tokoh utama menjadi melemah. Ini mungkin terkait dengan ukuran panggung di Gedung Manti Menuik yang tidak begitu luas.
Keseluruhan kelemahan tersebut sesungguhnya justru menunjukkan satu hal: Ahob memiliki keberanian untuk menggali tradisi yang selama ini jarang disentuh oleh koreografer muda. Ia berani menyentuh wilayah “gelap”—ritual magis, manipulasi, dan kehilangan kendali—yang menuntut kedalaman riset tubuh, bukan hanya riset naratif.
Ia telah menemukan bahan mentah yang sangat kaya, tetapi belum sepenuhnya mampu mengolahnya menjadi struktur dramatik yang matang. Karya ini seperti pintu yang sudah dibuka setengah: sudah terlihat dunia di dalamnya, tetapi jalannya masih perlu dibersihkan, dirapikan, dan ditata agar penonton dapat memasuki dunia itu dengan jelas.
Lalu, apa yang harus dilakukan Ahob ke depan? Yang paling utama adalah mendalami dramaturgi tubuh: bagaimana tubuh perempuan berubah dari fase awal, menuju benturan konflik, hingga kehilangan kendali sepenuhnya.
Ia perlu memperhalus bahasa tubuh laki-laki agar benar-benar menjadi kekuatan pengendali, bukan sekadar kehadiran simbolik. Ia juga perlu menata hubungan musik dan gerak agar ritual magis itu tidak hanya terdengar, tetapi terasa menembus tubuh. Dan yang paling penting, ia harus memilih akar konsep yang paling kuat—apakah gasiang atau sijundai—agar karya berdiri pada satu pondasi naratif yang tidak terpecah.
Dalam Sirayo Setan, Ahob menunjukkan bahwa ia sudah mampu memanggil bayang-bayang dari dunia magis Minangkabau. Langkah berikutnya adalah memberi bayang-bayang itu tubuh, denyut, dan arah. Dengan kedalaman riset gerak dan ketepatan dramaturgi, karya-karya Ahob kelak dapat menjadi kontribusi penting bagi perkembangan tari kontemporer berbasis tradisi di Sumatera Barat.
Jalan Ahob masih panjang, dan di sanalah sesungguhnya perjalanan kreatifnya baru dimulai. Apa yang telah ia tampilkan di Sirayo Setan menunjukkan bahwa ia memiliki insting tubuh yang kuat, sensitivitas terhadap atmosfer dramatik, serta ketertarikan terhadap narasi-narasi yang berakar pada kepercayaan lokal Minangkabau. Namun insting saja tidak cukup untuk membangun perjalanan panjang di dunia seni—Ahob membutuhkan konsistensi, disiplin, dan keluasan pengetahuan yang terus diperbarui.
Perjalanan panjang itu menuntut Ahob untuk terus membangun kapasitas dirinya, bukan hanya sebagai penari atau koreografer pemula, tetapi sebagai seniman yang utuh. Ia perlu mengasah teknik tubuh dengan lebih terstruktur, memperkaya referensi estetik, melakukan riset yang lebih dalam terhadap tradisi yang menjadi sumber inspirasinya, dan membuka diri pada dialog lintas disiplin. Setiap proses kerja, setiap latihan, setiap kegagalan maupun keberhasilan akan memperkuat fondasi artistiknya.
Di sepanjang jalan itu pula, Ahob perlu terus bekerja dan berproses—dua hal yang tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan seorang seniman. Bekerja mengasah keterampilan; berproses menajamkan cara berpikir. Dari situlah lahir karya yang bukan hanya menarik secara visual, tetapi juga memiliki kedalaman makna.
Membuka pikiran seluas-luasnya menjadi syarat penting agar ia tidak terjebak pada pola tubuh yang itu-itu saja, atau terpaku pada narasi magis hanya sebagai efek panggung. Dengan pikiran yang terbuka, ia dapat membaca ulang tradisi, mengolahnya kembali, dan menghubungkannya dengan isu-isu kontemporer yang relevan.
Perjalanan panjang ini pada akhirnya akan menuntun Ahob untuk melahirkan karya yang lebih matang, lebih terukur, dan lebih personal. Karya yang tidak sekadar “menghadirkan efek”, tetapi karya yang mampu menggerakkan persepsi penonton, memperluas perbincangan, dan menegaskan posisinya sebagai generasi baru koreografer yang tumbuh dari tanahnya sendiri.*
FOTO IKHSAN ABDI