Jakarta, sumbarsatu.com— Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda pemberlakuan KUHAP baru yang dijadwalkan berlaku serentak dengan KUHP pada 2 Januari 2026.
Desakan ini disampaikan Koalisi menyusul pengesahan RUU KUHAP oleh DPR dan pemerintah pada Selasa (18/11/2025), yang dinilai terlalu cepat dan tanpa mempertimbangkan masukan publik.
Menurut Koalisi, KUHAP baru berpotensi menimbulkan kekacauan hukum karena membutuhkan sedikitnya 25 Peraturan Pemerintah, satu Peraturan Presiden, satu Peraturan Mahkamah Agung, dan satu undang-undang khusus penyadapan sebagai aturan pelaksana. Hingga saat ini, regulasi turunan tersebut belum disiapkan, sementara masa transisi kurang dari dua bulan dan bertepatan dengan libur akhir tahun.
“Tanpa aturan pelaksana yang lengkap dan sosialisasi kepada aparat penegak hukum, KUHAP berisiko besar menimbulkan kekosongan hukum dan penyimpangan prosedur,” ujar perwakilan Koalisi dalam pernyataan tertulis.
Koalisi menilai pemberlakuan KUHP dan KUHAP secara bersamaan akan membebani aparat di lapangan, yang harus beradaptasi dengan aturan baru di tengah ketidaksiapan institusi. Sebagai perbandingan, KUHP yang disahkan pada 2023 diberi masa transisi tiga tahun, tetapi hingga kini belum satu pun dari tiga PP yang dipersyaratkan berhasil disahkan.
Di luar persoalan teknis, Koalisi juga menemukan sedikitnya 40 catatan masalah substansi dalam KUHAP baru. Salah satunya adalah pemberian kewenangan penuh kepada penyidik untuk mengeluarkan izin penangkapan dan penahanan tanpa mekanisme pengawasan independen oleh hakim. Koalisi menilai model ini bertentangan dengan prinsip judicial scrutiny yang diterapkan di berbagai negara.
Selain itu, kewenangan Polri disebut menjadi terlalu dominan karena seluruh tindakan upaya paksa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) harus mendapatkan persetujuan penyidik Polri. Mekanisme ini dikhawatirkan menghambat penyidikan kasus-kasus sektoral seperti narkotika, obat dan makanan, kehutanan, serta bea cukai.
Koalisi juga mengkritik penerapan restorative justice sejak tahap penyelidikan, yang dinilai rentan membuka ruang pemaksaan damai dan praktik transaksional karena belum ada kejelasan status tindak pidana pada tahap tersebut.
Atas dasar itu, Koalisi menilai langkah paling realistis adalah penundaan pemberlakuan KUHAP melalui Perppu. Koalisi mengacu pada sejumlah preseden, antara lain Perppu No. 1/2005, Perppu No. 2/2006, Perppu No. 1/1992, dan Perppu No. 3/2000, yang diterbitkan untuk menunda pemberlakuan undang-undang yang dinilai belum siap secara regulasi maupun implementasi.
“Keputusan Presiden akan menentukan apakah pembaruan hukum pidana berjalan menuju perbaikan atau justru menimbulkan kekacauan hukum. Karena itu, kami mendesak Presiden segera menerbitkan Perppu untuk menunda pemberlakuan KUHAP,” tulis Koalisi dalam pernyataannya.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah belum memberikan tanggapan resmi atas desakan tersebut. ssc/rel