Padang, sumbarsatu.com —Pementasan teater berjudul Pintu karya Yusril Katil digelar hari ini pada Senin, 10 November 2025 pukul 20.00 WIB di Fabriek Padang. Karya ini didukung oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, ISI Padangpanjang, serta Komunitas Seni Hitam Putih.
Pertunjukan Pintu menjadi bagian dari program Indonesia Performance Camp (IPC) 2025, yang digerakkan secara kolektif oleh Indonesia Performance Syndicate (IPS) bersama Kalabuku, Komunitas Seni Nan Tumpah, Nusantara Art, Komunitas Seni Hitam Putih, Pustaka Steva, Teraseni, dan Fabriek Padang.
Gagasan teater ini berangkat dari refleksi atas dampak pandemi Covid-19 yang telah mengubah cara manusia berinteraksi dan memahami ruang. Pandemi, menurut Yusril, tidak hanya menghadirkan keterbatasan fisik, tetapi juga menandai babak baru dalam cara manusia merasakan kehadiran.
“Pandemi memaksa kita menegosiasikan ulang makna tubuh, ruang, dan perjumpaan. Kita menjadi dekat secara digital, tapi jauh secara emosional,” ujar Yusril Katil, sutradara Pintu.
Perkembangan teknologi digital membuat batas antara realitas dan dunia virtual semakin kabur. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seni pertunjukan dapat tetap relevan di era ketika ruang fisik dan ruang digital saling menembus.
Dalam konteks ini, pintu sebagai konsep dramaturgis mendapatkan interpretasi baru. Jika sebelumnya digunakan untuk menandai peralihan antar-ruang, kini pintu menjadi simbol keterbukaan dan ketidakpastian di tengah arus teknologi informasi.
Pintu tidak lagi sekadar representasi batas fisik, melainkan ruang simbolik tempat berbagai pengaruh lintas budaya saling bertemu. Budaya luar dapat dengan mudah masuk melalui jalur digital, mengaburkan batas antara yang lokal dan global, serta memunculkan bentuk-bentuk baru dalam praktik seni pertunjukan.
Di sisi lain, pergeseran ini juga menghadirkan tantangan bagi seniman untuk menavigasi ruang digital sebagai medium ekspresi yang autentik dan bermakna.
“Pintu dalam teater ini bukan hanya sesuatu yang bisa dibuka atau ditutup, tapi juga sesuatu yang bisa ‘diklik’. Dunia sekarang membuat kita melintas tanpa benar-benar hadir,” jelas Yusril Katil.

Mengusung pendekatan teater postdramatik dan dramaturgi digital, Pintu menolak narasi linear dan menghadirkan pengalaman ruang yang eksperimental. Tubuh aktor menjadi ruang negosiasi antara dunia nyata dan dunia maya, sementara teknologi new media dan visual interaktif menjadi bagian integral dari estetika pertunjukan.
“Saya ingin menciptakan bentuk teater yang tidak hanya menceritakan realitas, tapi juga memeriksa ulang bagaimana realitas itu dibentuk oleh teknologi,” tambah Yusril. “Di era pasca-pandemi ini, kita terhubung oleh algoritma, tapi kehilangan makna kehadiran.”
Melalui riset artistik dan penciptaan eksperimental ini, Pintu diharapkan menjadi model teater kontemporer baru yang memadukan estetika digital dengan refleksi eksistensial manusia modern. Karya ini juga dirancang untuk dapat dipentaskan secara luring dan daring, membuka kemungkinan dialog lintas medium dan memperluas pengalaman penonton di era digital. ssc/mn/