 
                    -
Padang, sumbarsatu.com —Di Ladang Tari Nan Jombang, panggung kembali menyala. Cahaya lampu, ruang yang sederhana namun hangat, dan semangat yang tak pernah padam menjadi penanda bahwa usia bukanlah batas, melainkan perjalanan.
Nan Jombang Dance Company, kelompok tari kontemporer yang lahir dari tanah Minangkabau, merayakan usia 42 tahun dengan menggelar KABA Festival XI 2025 pada 1–2 November di Gedung Manti Menuik, Padang.
Sejak awal berdiri, Nan Jombang selalu membawa cerita dari tubuh, tanah, dan ingatan kolektif. Empat dekade lebih mereka menari dari Padang menuju panggung-panggung dunia, menembus batas tradisi dan kontemporer, personal dan sosial, lokal dan global. Tahun ini, festival kembali hadir sebagai ruang berbagi karya, emosi, dan refleksi, baik bagi penonton yang hadir langsung maupun yang menyaksikan melalui siaran langsung YouTube.
Direktur festival, Angga Mefri, menyebut perjalanan panjang ini bukan hanya soal mempertahankan nama besar, tetapi merawat keberanian untuk terus melangkah.
“Warisan bukan hanya tentang nama, tapi tentang siapa yang berani terus bergerak dan berproses,” ujarnya, menegaskan bahwa kontinuitas seni lahir dari tubuh yang tak berhenti belajar dan generasi yang terus bertumbuh.
“Pada festival ini, sejumlah karya lintas daerah hadir membentuk lanskap pengalaman yang kaya: dari Solo, Ponorogo, hingga Padang. Setiap karya membawa napas zaman, membawa kegelisahan, kejujuran, dan kehangatan dalam tubuh senimannya. Ada tubuh yang jatuh dan bangkit, tubuh yang menertawakan getir, tubuh yang mencari bahasa untuk generasi berikutnya, hingga tubuh yang menjadi tempat bertahan di tengah sempitnya ruang bagi kesenian lokal,” urai Angga Mefri.
Atmosfer festival tidak sekadar menonton. Ada ruang diskusi, ruang pemulihan melalui art therapy, dan ruang belajar tubuh lewat workshop tari. Bahkan secangkir kopi menjadi medium kehangatan, ketika penonton dijamu kopi manual brew oleh Dapue Kopi Roestary — simbol bahwa seni bukan menara gading, melainkan pertemuan manusia biasa yang membawa cerita masing-masing.
KABA Festival tidak pernah membatasi jarak. Bagi yang tak sempat datang, layar digital menjadi jembatan. Bagi yang hadir di ruang fisik, lantai kayu dan udara padat energi menjadi saksi. Semuanya bersatu dalam keyakinan bahwa seni dapat tumbuh dari akar budaya yang kuat, namun tetap merangkul dinamika zaman.
Di tengah kondisi ekosistem seni yang kerap fluktuatif, KABA Festival berdiri sebagai pengingat: bahwa ruang seni bisa tetap menyala, selama ada tubuh yang bergerak, suara yang berani, dan komunitas yang merawat.
Empat puluh dua tahun telah berlalu. Namun di Ladang Tari Nan Jombang, waktu seolah menjadi teman. Setiap langkah adalah doa, setiap napas adalah warisan, dan setiap festival adalah janji bahwa cerita ini belum selesai — karena seni, seperti hidup, adalah proses yang terus menari. Berikut kilasan gagasan penampil dalam KABA Festival XI 2025.
Waroeng Oemoek: Tawa, Tubuh, dan Perlawanan dari Warung Kopi
Di sebuah warung kopi sederhana, tawa kerap menjadi cara paling jujur rakyat kecil melawan kerasnya hidup. Dari ruang keseharian itu, koreografer Dedy Satya Amijaya menemukan inspirasi untuk karya tari berjudul “Waroeng Oemoek”, yang akan dipentaskan pada KABA Festival XI 2025 di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang, Padang, 1 November 2025 pukul 20.00.
 Karya ini lahir dari percakapan yang sering terdengar di warung kopi—tempat tukang ngarit, pengemudi becak, pengecer togel, kuli bangunan, dan warga lain saling berbagi cerita hidup, menertawakan nasib, dan menyeruput kopi hitam sebagai jeda dari realitas yang tak selalu ramah.
Karya ini lahir dari percakapan yang sering terdengar di warung kopi—tempat tukang ngarit, pengemudi becak, pengecer togel, kuli bangunan, dan warga lain saling berbagi cerita hidup, menertawakan nasib, dan menyeruput kopi hitam sebagai jeda dari realitas yang tak selalu ramah.
Terinspirasi dari spirit Penthul & Tembem dalam kesenian Reyog Ponorogo, Dedy tidak berupaya merekonstruksi tradisi lama. Ia memilih menghidupkan kembali semangat keluguan, kejujuran, dan keberanian dalam menertawakan keadaan. Tubuh-tubuh di panggung hadir apa adanya—tidak heroik, namun kuat dalam kesederhanaannya.
Melalui gerak, jeda, dan tawa yang sesekali berubah menjadi diam panjang, Dedy menghadirkan refleksi tentang bagaimana rakyat bertahan di tengah dunia yang carut-marut. Menurutnya, tertawa bisa menjadi cara paling sederhana sekaligus paling tajam untuk tetap waras dan menyuarakan perlawanan.
Di panggung, seperti di warung kopi, tubuh ikut bicara. Kadang lewat kelakar, kadang lewat keheningan—dua wujud yang sama-sama membawa makna. ssc
Frau Troffea: Tubuh yang Menolak Berhenti di Tengah Bisingnya Zaman
Ia menari bukan karena ingin, melainkan karena tubuhnya menolak berhenti. Itulah gagasan utama dalam karya tari “Frau Troffea” yang akan dipersembahkan Muslimin Bagus Pranowo (Imin) pada KABA Festival XI 2025, di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang, Padang, 1 November 2025 pukul 20.00 WIB.
 Terinspirasi dari kisah nyata wabah “tari paksa” yang melanda Eropa pada abad ke-16, Imin menghadirkan tubuh yang bergerak di antara batas kesadaran dan kelelahan—sebuah tubuh yang bukan sedang menari untuk menunjukkan keindahan, melainkan berjuang untuk bertahan.
Terinspirasi dari kisah nyata wabah “tari paksa” yang melanda Eropa pada abad ke-16, Imin menghadirkan tubuh yang bergerak di antara batas kesadaran dan kelelahan—sebuah tubuh yang bukan sedang menari untuk menunjukkan keindahan, melainkan berjuang untuk bertahan.
Melalui karya ini, Imin mengajak penonton menatap cermin zaman: di tengah dunia yang bising dan menuntut produktivitas tanpa jeda, manusia modern pun seakan terus “menari” tanpa pilihan, tak sempat berhenti, bahkan kerap tak tahu lagi apa yang sedang diperjuangkannya.
Gerak dalam “Frau Troffea” bukan ritual estetika, tapi pergulatan eksistensial. Setiap napas, setiap hentakan, menjadi perlawanan terhadap batas fisik dan psikis. Hingga akhirnya tubuh jatuh diam—namun bahkan dalam diam, ia masih berbicara tentang letih, tentang hidup, dan tentang ketidakmungkinan untuk benar-benar berhenti.
Di panggung, Imin menghadirkan ruang bagi penonton untuk merasakan keheningan yang sama kerasnya dengan gerak; menyadarkan bahwa dalam kehidupan hari ini, mungkin kita semua adalah Frau Troffea, terus menari agar tidak hilang ditelan waktu.
“The Next”: Estafet Tubuh dan Cinta dalam Keluarga Nan Jombang
Di ruang latihan sederhana, tanpa sorotan lampu atau tepuk tangan, dua tubuh berlatih menemukan ritme bersama. Rio Mefri dan Hawa Mefri tidak berbicara dengan kata-kata, melainkan dengan jeda, napas, dan gerak. Dari ruang sunyi itulah lahir karya tari “The Next”, yang akan dipentaskan pada KABA Festival 2025, di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang, Padang, Sabtu, 1 November 2025 pukul 20.00 WIB.
 Karya ini bukan sekadar penampilan, melainkan percakapan lintas generasi—sebuah dialog tubuh antara ayah dan anak. Setiap langkah menjadi ingatan, setiap diam menjadi cara cinta bertahan. “The Next” menghadirkan keheningan yang mengajarkan kedalaman, dan gerak yang merawat tradisi.
Karya ini bukan sekadar penampilan, melainkan percakapan lintas generasi—sebuah dialog tubuh antara ayah dan anak. Setiap langkah menjadi ingatan, setiap diam menjadi cara cinta bertahan. “The Next” menghadirkan keheningan yang mengajarkan kedalaman, dan gerak yang merawat tradisi.
Dalam 42 tahun perjalanan Nan Jombang Dance Company, karya ini menandai keberlanjutan bukan sebagai simbol kejayaan, tetapi sebagai warisan nilai dan keberanian. Warisan di keluarga ini tidak berupa gelar atau panggung, melainkan cara tubuh menghadapi hidup.
Di sela tawa kecil, keringat, dan napas yang terengah, tersimpan doa yang tidak pernah diucapkan lantang:
 semoga tubuh ini terus bergerak,
 dan kabar ini tidak berhenti di generasi kami. Ssc
“Pagi Bening”: Kisah Getir Seniman yang Terus Menunggu Panggungnya
Kadang, yang paling menyakitkan bagi seorang seniman bukan kegagalan, melainkan penantian yang tak kunjung berakhir. Itulah napas utama yang menghidupi pertunjukan “Pagi Bening” garapan KSST Noktah, yang akan dipentaskan pada KABA Festival XI 2025 di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang, Padang, 2 November 2025 pukul 20.00.

Naskah ini disadur dan diberi tafsir baru oleh Syuhendri, melahirkan kisah yang merekam realitas seniman hari ini: tentang panggung yang hilang, ruang kesenian yang tak kunjung selesai dibangun, dan mimpi yang terus ditunda—seperti nasib Gedung Kebudayaan Sumatera Barat yang berdiri abu-abu di antara harapan dan ketidakpastian.
Bagi KSST Noktah, teater bukan sekadar tontonan; ia adalah cara bertahan. Di tengah minimnya ruang dan perhatian, mereka terus bekerja, berlatih, dan percaya bahwa tubuh dan kata masih layak diperjuangkan di negeri yang kerap abai pada keduanya.
“Pagi Bening” bukan nostalgia, melainkan pengingat: di balik tawa dan cahaya panggung, ada getir yang pelan tapi pasti ditulis oleh para seniman. Bahwa tidak semua kenangan manis, namun justru di situlah seni menemukan kejujurannya.
“Art Therapy”, Ruang Bernapas Lewat Seni
“Kadang yang kita butuhkan bukan solusi, tapi ruang untuk bernapas.”
Di tengah hiruk-pikuk panggung dan rutinitas hidup, KABA Festival 2025 menghadirkan sebuah program yang menawarkan keheningan dan pemulihan batin: “Art Therapy”. Program ini merupakan kolaborasi antara Nan Jombang Dance Company dan Dangau Studio, yang digelar 1–2 November 2025, pukul 13.30–17.00 WIB di Ladang Tari Nan Jombang, Padang.

Berbeda dari pertunjukan panggung, “Art Therapy” dirancang sebagai ruang terbuka bagi siapa pun—penonton, seniman, pelajar, hingga mereka yang sekadar ingin duduk diam. Melalui warna, garis, dan gerak sederhana, peserta diajak merasakan bagaimana seni dapat membantu tubuh menenangkan diri dan pikiran bernafas lebih lapang.
Tidak diperlukan kemampuan menggambar atau menari. Peserta cukup hadir, membiarkan tangan dan pikiran bergerak dengan alamiahnya. Di sini, setiap goresan adalah napas, dan setiap warna menjadi bentuk keberanian untuk merawat diri.
Sebab kadang, yang kita butuhkan bukan lagi tepuk tangan penonton, melainkan ruang yang bersedia mendengarkan.
Berikut versi narasi jurnalistiknya, tetap bernada puitik namun memenuhi unsur 5W+1H dan kaidah media:
Workshop Tari: Belajar Mendengar Bahasa Tubuh
“Tubuh punya bahasa sendiri — kita hanya perlu mendengarkannya.”
Sebagai rangkaian KABA Festival 2025, Nan Jombang Dance Company membuka panggung lebih pagi untuk sebuah pengalaman berbeda: Workshop Tari yang mengajak peserta memahami tubuh sebagai ruang pengalaman dan ekspresi.

Program ini akan berlangsung pada Minggu, 2 November 2025, pukul 09.00–12.00 WIB di Sanggar Seni Cahayo Bundo, Sawahan, Padang. Kegiatan ini menghadirkan dua koreografer lintas daerah, masing-masing dengan pendekatan artistik yang kuat dan personal.
Muslimin Bagus Pranowo (Solo) akan berbagi perspektif tubuh sebagai ruang perlawanan dan kejujuran, terinspirasi dari karyanya Frau Troffea. Sementara itu, Dedy Satya Amijaya (Ponorogo) mengajak peserta melihat gerak rakyat kecil sebagai bahasa kehidupan paling jujur melalui refleksi karya Waroeng Oemoek.
Workshop ini menekankan kesadaran tubuh, bukan kelenturan atau hafalan gerak. Peserta diajak menggali cerita, beban, dan kebahagiaan yang disimpan tubuh, lalu menerjemahkannya menjadi gerak yang autentik.
Pendaftaran dapat dilakukan melalui @sanggar_senicahayobundo, dan kegiatan ini merupakan bagian dari perayaan 42 Tahun Nan Jombang Dance Company, didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation.
Peserta diundang hadir apa adanya, membawa tubuh sendiri tanpa syarat. Sebab di ruang ini, setiap langkah adalah pelajaran, dan setiap gerak menjadi cara tubuh mengatakan, “Saya masih hidup.”
Kopi Manual Brew Gratis dari Dapue Kopi Roastery
Di banyak cerita, kopi sering bukan sekadar soal pahit atau manisnya, tetapi tentang tempat dan perjumpaan yang menyertainya. Begitu pula atmosfer yang akan hadir di Ladang Tari Nan Jombang pada 1–2 November 2025, ketika KABA Festival 2025 kembali digelar.
Dalam festival seni pertunjukan yang menandai 42 tahun perjalanan Nan Jombang Dance Company ini, pengunjung tak hanya diajak menyaksikan tari dan teater, tetapi juga menikmati secangkir kopi manual brew gratis persembahan Dapue Kopi Roastery Padang.
Kopi akan diseduh langsung di lokasi, meracik aroma yang menyatu dengan udara lembap Ladang Tari, ritme gerak para penampil, serta percakapan hangat antarpenonton yang baru saling mengenal namun terasa dekat. Bagi Dapue, kopi yang disajikan bukan sekadar minuman, melainkan cerita tentang proses, kesabaran, dan ketekunan dalam setiap tetesnya.
Datanglah, biarkan tangan para peracik kopi bekerja, aromanya bercerita, dan kita semua menjadi bagian dari kisah yang baru diseduh di KABA Festival tahun ini.
Program ini terbuka untuk umum dan hadir sebagai bagian dari pengalaman festival, memberi ruang istirahat dan obrolan setelah menyimak pertunjukan malam hari. Dukungan kegiatan ini berasal dari Bakti Budaya Djarum Foundation bersama Nan Jombang Dance Company. ssc/mn
 
                             
                                         
                                         
                                         
                                        