Ekspansi Tambang BUMN Dipersoalkan, Proses AMDAL PT NKA Dinilai Tertutup

Kamis, 18/12/2025 17:43 WIB

Halmahera Timur, sumbarsatu.com — Proses pembahasan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas rencana peningkatan kapasitas produksi tambang nikel PT Nusa Karya Arindo (PT NKA) menuai sorotan tajam.

Sidang Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) serta Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL–RPL) yang digelar Komisi Penilai AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup pada 10 Desember 2025 dinilai hanya bersifat formalitas dan mengabaikan keselamatan lingkungan serta hak warga terdampak.

Pembahasan AMDAL yang dilaksanakan secara daring tersebut dianggap tidak memenuhi prinsip kehati-hatian, transparansi, dan partisipasi publik. Akses masyarakat terhadap dokumen, peta teknis, dan data lingkungan dinilai sangat terbatas, sementara ruang keberatan warga tidak diberikan secara setara.

PT NKA merupakan anak usaha PT Antam Tbk dengan konsesi tambang seluas 20.763 hektare di Halmahera Timur. Perusahaan milik negara itu berencana meningkatkan kapasitas produksi bijih nikel di Blok Moronopo dari 4 juta ton menjadi 7,5 juta ton per tahun.

Rencana tersebut juga mencakup pembukaan lahan baru seluas 206,65 hektare, pembangunan infrastruktur tambang tambahan, serta terminal khusus di Sangaji Selatan.

Ekspansi tersebut dinilai akan menambah tekanan ekologis serius terhadap daratan, sungai, dan wilayah pesisir. Namun ironisnya, proses AMDAL justru berlangsung tertutup. Warga Kecamatan Kota Maba—yang berada paling dekat dengan wilayah tambang—tidak dilibatkan secara bermakna dalam pembahasan.

Pelaksanaan sidang secara daring memperparah ketimpangan partisipasi. Warga disebut tidak memperoleh dokumen AMDAL secara utuh, tidak memiliki akses memadai terhadap data teknis, serta tidak diberi ruang setara untuk menyampaikan keberatan. Kondisi ini dinilai bertentangan dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang demokratis.

Sebagai perusahaan milik negara, PT NKA dinilai seharusnya menjadi teladan dalam keterbukaan informasi dan perlindungan kepentingan publik. Proses perizinan yang tertutup justru memperkuat dugaan bahwa negara tengah melegitimasi praktik perusakan lingkungan dan memperdalam krisis sosial-ekologis di Halmahera Timur.

Usulan strategis warga yang telah disampaikan dalam konsultasi publik sebelumnya juga dilaporkan tidak dibahas dalam sidang AMDAL. Padahal warga telah menegaskan sejumlah wilayah yang harus dilindungi, seperti kebun pala, damar, dan gaharu milik masyarakat Mabapura, wilayah tangkap nelayan, serta ruang hidup masyarakat adat O’Hongana Manyawa. Tidak adanya penerapan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap hak masyarakat adat.

Keabsahan dokumen AMDAL PT NKA turut dipertanyakan. Ditemukan kejanggalan substansial, termasuk penyebutan wilayah administratif yang tidak sesuai dengan lokasi proyek. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap kualitas data dasar lingkungan dan analisis dampak yang menjadi dasar penerbitan izin.

Secara ekologis, wilayah konsesi PT NKA tergolong sangat rentan. Sekitar 35 persen tapak proyek atau seluas 7.339,21 hektare berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tingkat Tinggi, dengan potensi longsor, kebakaran hutan, serta banjir dan banjir bandang. Risiko tersebut dinilai tidak diimbangi dengan rencana mitigasi yang memadai dalam dokumen AMDAL.

Di dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT NKA juga terdapat 5.777,31 hektare hutan lindung. Sebagian kawasan telah dibuka melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), sementara ribuan hektare lainnya masih relatif utuh.

Pembukaan lanjutan dikhawatirkan memperbesar risiko longsor, banjir lumpur, serta kerusakan pesisir Moronopo yang berdampak pada terumbu karang, mangrove, dan wilayah tangkap nelayan.

Hingga kini, PT NKA juga dinilai belum membuka sejumlah informasi krusial kepada publik, termasuk data kualitas air pesisir, peta tambang aktif, rencana teknis penambangan, serta kajian akademik pendukung AMDAL. Penghentian penggunaan geotextile tube tanpa evaluasi terbuka semakin memperkuat lemahnya pengendalian dampak lingkungan.

Atas dasar itu, warga dan organisasi masyarakat sipil mendesak Kementerian Lingkungan Hidup menghentikan proses penilaian ANDAL dan RKL–RPL PT NKA serta mengulang pembahasan secara tatap muka, inklusif, dan transparan.

Kementerian ESDM juga diminta menunda seluruh persetujuan teknis peningkatan kapasitas produksi, sementara Ombudsman RI didorong memeriksa dugaan maladministrasi dalam proses AMDAL tersebut. ssc/jatam

Sumber: Jatam



BACA JUGA