
Pada Festival Tanggal 3 Nan Jombang, “The Mighty Malin Kundang" menghadirkan sosok Mandeh (Ibu), yang diperankan Venny Rosalina
OLEH Angelique Maria Cuaca (jurnalis sumbarsatu)
KOMUNITAS Payung Sumatera menampilkan pertunjukan The Mighty Malin Kundang pada Festival Tanggal 3 Nan Jombang, Minggu, 3 Mei 2025, di Gedung Menti Menuik–Ladang Nan Jombang.
Sebelumnya, The Mighty Malin Kundang telah dipentaskan oleh Payung Sumatera dalam Alek Teater VIII 2024 Taman Budaya Sumatera Barat dan berhasil meraih predikat penampil terbaik.
Pada saat pementasan di Alek Teater, The Mighty Malin Kundang dimainkan oleh lima performer laki-laki. Pada Festival Tanggal 3 Nan Jombang, Payung Sumatera menghadirkan sosok Mandeh (Ibu), yang diperankan langsung oleh Venny Rosalina. Ia adalah performer sekaligus koreografer karya ini. Ada perbedaan bentuk garapan dan narasi yang disampaikan.
Perbedaan utama terletak pada sudut pandang dan pendekatan pertunjukan: pada Alek Teater 2024 berfokus pada tubuh dan konflik laki-laki (Malin), sementara pada Festival Tanggal 3 Nan Jombang 2025 menambahkan dimensi naratif dan reflektif melalui tokoh Mandeh yang memberi tafsir baru dan lebih dalam terhadap legenda Malin Kundang.
The Mighty Malin Kundang pada Alek Teater bentuk garapannya ditekankan pada eksplorasi tubuh kolektif laki-laki sebagai representasi Malin Kundang dalam konteks relasi kuasa, pemberontakan, dan konflik dengan tradisi. Tidak ada tokoh Mandeh (ibu Malin) secara eksplisit. Nuansa pertunjukan lebih simbolik dan abstrak, menyoroti konflik internal dan sosial Malin dalam bahasa tubuh kontemporer yang koreografinya maskulinitas, dinamis, dan fisikal.
Sementara The Mighty Malin Kundang pada Festival Tanggal 3 Nan Jombang, tetap diperankan lima orang tapi 3 laki-laki dan 2 perempuan. Penabahan elemen narasi monolog Mandeh terkesan reflektif, kritis, empatik dan filosofis. Koreografi uang digarap Venny Rosalina lebih bersifat intertekstual, menggabungkan tubuh tari dengan pendekatan teater (narasi verbal, ekspresi emosi, dan monolog. Estetika pertunjukan menonjolkan kehadiran perempuan sebagai simbol cinta, maaf, dan kebijaksanaan dalam lanskap patriarkal Minangkabau.
“Tokoh Mandeh itu wujud kasih sayang tanpa batas seorang ibu kepada anaknya. Mandeh tetap membela Malin meskipun telah dilukai. Bagi Mandeh, tak satu pun manusia yang tidak pernah durhaka,” jelas Venny Rosalina saat diwawancarai sumbarsatu.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa selama ini orang-orang sering mengutuk Malin karena dianggap durhaka. Namun, mereka lupa bahwa diri mereka pun pernah atau sedang durhaka—terhadap sesama, lingkungan, alam, bahkan kepada bangsa dan negara. Seolah-olah melempar batu kepada seorang pendosa, padahal diri sendiri juga memikul dosa.
Pesan ini berulang kali ia sampaikan dalam monolog Mandeh:
Betapa durhakanya kita hari ini, tapi kalian selalu mengutuk Malin, anakku.
Malin memang ingkar akan keberadaan ibunya,
tapi masyarakat hari ini juga mengingkari banyak hal.
Hati kalian telah menjadi batu,
jemari kalian telah menjadi batu,
mulut pun telah menjadi batu,
dan mata pun telah menjadi batu.
“Dalam legenda Malin Kundang, Mandeh dikisahkan mengutuk Malin Kundang menjadi batu. Namun, dalam pertunjukan ini kami menawarkan sudut pandang yang berbeda. Mandeh adalah sosok yang bijaksana. Ia mampu memahami dan memaafkan. Tokoh Mandeh menyadari bahwa setiap orang adalah Malin Kundang, pernah durhaka dan punya kesempatan untuk memperbaiki diri,” ujar lulusan pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang ini.
Venny Rosalina memulai karier sebagai penari dan koreografer sejak menempuh pendidikan tari di ISI Padang Panjang 17 tahun lalu. Ia banyak belajar dari keterlibatannya sebagai performer dalam karya para koreografer ternama seperti Ali Sukri, Susas Rita Loravianti, Rasmida, dan Tom Ibnur.
Tak hanya di ranah tari, sutradara teater Yusril Katil juga melibatkannya dalam pertunjukan berskala nasional dan internasional. Bersama Yusril Katil dan Komunitas Seni Hitam Putih, Venny Rosalina berkesempatan tampil di panggung dunia seperti di Beijing, Singapura, dan Jepang.
Tahun 2016, ia mewakili Indonesia dalam pelatihan keaktoran yang dipandu oleh Tadashi Suzuki, maestro tari asal Asia. Kelas tersebut berlangsung selama dua tahun, dalam program kerja sama Jepang–Indonesia yang diselenggarakan oleh Bumi Purnati Indonesia.
Venny Rosalina juga pernah belajar langsung dari Robert Wilson, sutradara ternama asal Amerika, pada tahun 2022 di Bali. Pengalaman itu memperkaya pemahamannya tentang seni teater. Ia tidak hanya mengembangkan bahasa tubuh dalam tari, tetapi juga mendalami pendekatan artistik melalui dasar-dasar teater. Ketekunan ini menjadikannya seorang koreografer sekaligus performer dengan wawasan lintas disiplin.
“Ini kali pertama saya kembali tampil sebagai performer. Terakhir kali saya naik panggung pada tahun 2022, dalam pertunjukan Under the Volcano karya sutradara Yusril Katil di Jakarta. Setelah itu, panggung hanya menjadi kenangan, digantikan oleh lembaran akademis dan ruang kelas,” ujar dosen tari Universitas Negeri Padang ini.
Kesibukan sebagai dosen membuatnya harus membagi waktu antara panggilan jiwa sebagai seniman dan tanggung jawab di dunia akademik. Meski tidak selalu tampil di panggung, ia tetap aktif dalam kerja-kerja koreografi. Pengetahuan dan pengalamannya mengenai teknik ketubuhan dibagikan kepada mahasiswa serta anggota Payung Sumatera—organisasi yang didirikannya bersama Fabio Yuda dan Robby Ferdian pada tahun 2016.
Selain sebagai performer, Venny Rosalina juga merupakan seorang koreografer. Beberapa karya koreografinya antara lain:
- Perempuan di Bangku Usang (2012)
- Kedurai Imbang Semato Alam (2014)
- Behind the Ampera Bridge (2015)
- Sailing Bidder (2015)
- Come and Go (2017)
- Kendurai (2018)
- Geometri (2016, 2019)
- Spirit of Pasambahan (2019)
- Negeri Air Mata (2020)
- Beta Manusia Pala (2021)
- Roh (2021)
- Chaya Al-Quran di Alam (2023)
- The Mighty Malin Kundang (2024, 2025)
Beberapa karya tersebut telah dipentaskan di panggung nasional dan internasional, termasuk di Jakarta, Karawang, Palembang, Myanmar, dan Thailand.
Saat ini, ia tengah menempuh studi S3 di Universitas Negeri Padang. Menurutnya, pengalaman ketubuhan saja tidak cukup. Ia merasa perlu memperdalam pengetahuan teoretik.
“Saya sedang mengembangkan metode integrasi antara gerak silek dan Suzuki Method. Semoga tahun depan, metode ini bisa diajarkan kepada mahasiswa atau penggiat seni yang ingin mempelajarinya,” ungkap Venny Rosalina.
Tanggal 3 Mei 2025 lalu adalah hari ketika panggung kembali memanggil perempuan berjiwa tari itu. Venny menyambut panggilan tersebut dengan langkah penuh kerinduan. Ia kembali menari tampil pada The Mighty Malin Kundang di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang.
“Tubuh saya adalah tubuh tari. Saya hidup untuk tari hingga hari ini,” jelasnya dengan mata berbinar.
Fabio Yuda, sutradara Payung Sumatera, mengaku senang atas kembalinya Venny Rosalina ke panggung.
“Venny punya karakter gerak yang khas, dinamis, dan eksploratif. Ia menghadirkan energi berbeda saat mulai menginjak panggung. Performanya kuat, termasuk dalam berdialog di pertunjukan,” ujar Fabio Yuda.
Ia menjelaskan bahwa pertunjukan The Mighty Malin Kundang berlangsung sekitar 40 menit dan dimainkan oleh tiga aktor laki-laki serta dua aktor perempuan: Sania Lovela, Denny Setiadi, Afriandi, Leryano Wardana, dan Venny Rosalina. Komposer karya ini adalah Robby Ferdian. Proses penggarapannya berlangsung selama kurang lebih dua bulan.
“Keberadaan sosok perempuan dalam The Mighty Malin Kundang menjadi simbol bahwa kaum perempuan juga memiliki peran penting dalam budaya Minangkabau,” jelas Fabio Yuda.ssc