
Oleh ALFITRI (Departemen Sosiologi FISIP Unand)
DARI dermaga kecil di tepi Sungai Mekong itu, kami dipandu Kim Hong menuju kedai makan halal di tengah kota Phnom Penh. Hanya sekitar 10 menit, kami pun sudah sampai.
Jam makan siang baru saja usai, sehingga hanya rombongan kami yang di kedai itu. Kedai makan berupa ruko itu dikelola berupa usaha keluarga. Kami dlayani oleh ibu-ibu berjilbab, termasuk oleh anaknya yang tampaknya baru pulang sekolah.
Keluarga Khmer muslim itu menyediakan berbagai makanan olahan seafood dan ayam. Saya memesan nasi goreng seafood dan teh tawar es. Terasa lezat, apalagi perut memang sudah lapar.
Selesai makan siang kami check in di hotel. Hanya sempat menaruh koper, ganti baju dan shalat jamak qashar. Kami pun bersegera ke Kementerian Urusan Perempuan Kamboja.
Persis pukul 4 sore, kami sudah sampai di sana. Di lobby kantor kementerian itu kami dijemput oleh Faizah Sen, gadis berjilbab yang merupakan staf kementerian. Faizah, sewaktu kuliah adalah salah seorang peserta inbound program di Unand.
Di ruang meeting, kami diterima dengan ramah oleh Dato' Man Chinda (Umi Kalsum), Sekretaris Menteri Urusan Perempuan Kamboja, seorang muslimah keturunan Champa yang masih muda (40-an tahun). Beliau banyak membantu program kerjasama Unand dengan beberapa universitas di Kamboja.
Dari percakapan dalam pertemuan, ia tampak smart, visioner dan outward looking. Kendati, salah seorang putranya kini disekolahkan di Paris, Perancis, ia sangat menghargai perkembangan pendidikan di Indonesia. Bahkan secara pribadi, ia juga ingin melanjutkan studi di Unand. Namun, karena kesibukan tugas di Pemerintahan Kamboja, kesempatan belum memungkinkan.
Prof. Ardi pun menyampaikan terima kasih ke Dato' Man Chinda atas berbagai bantuannya untuk kerjasama dengan Unand dan beberapa universitas di Sumatera Barat selama ini. Termasuk kali ini menyiapkan dua orang calon mahasiswi untuk Prodi Kebidanan di Universitas Baiturrahmah. Kedua puteri dari Kamboja tersebut akan menerima beasiswa penuh dari Yayasan Universitas Baiturrahmah.
Sore menjelang senja, setelah foto bersama dengan Dato' Man Chinda, kami pun meluncur menikmati panorama senja dan malam di tepian Sungai Mekong. Dalam perjalanan di mobil, saya mengerinyitkan dahi mendengar permintaan Prof. Ardi ke Kim Hong untuk makan jangkrik goreng. Teman-teman anggota rombongan yang lain menyambut dengan antusias.
"Baik Pak," jawab Kim Hong.
Tak jauh dari tempat mobil parkir, kami menemukan penjual jangkrik goreng. Selain jangkrik goreng, ia pun menjual belalang goreng, dan beberapa jenis serangga yang lain.
"Enak nih Pak Al, rugi kalau tidak ikut memakannya...," kata Prof. Ardi. Hanya saya Febrian yang tidak ikut di pesta makan jangkrik goreng ini.
Belakangan saya tahu bahwa, jangkrik goreng ini pun ada dijual di online shop seperti tok*pedia dan shop*e. BBC 28/02/2022, misalnya, menuliskan bahwa makan serangga di Asia Tenggara bukanlah hal baru. Karena itu, pada masa paceklik pada akhir 1970-an, di Kamboja serangga ini dianggap menjadi salah satu sumber protein, asam amino, dan zat gizi mikro yang murah dan berlimpah.
Ikut bergabung di sekitar gerobak penjual jangkrik goreng ini adalah Kimlang Ly, (Fatimah), gadis campuran Khmer dan Cina yang sudah 4 tahun ini menjadi mualaf. Gadis manis berjilbab ini di tahun 2023 juga pernah ikut inbound program di Unand.
Malam itu Fatimah tidak hanya sekadar menemani makan jangkrik goreng. Rupanya, ia juga sudah memesan tempat untuk makan malam kami di restoran halal favorit komunitas muslim Phnom Penh.
"Mari bapak-bapak, ibu-ibu kita makan malam..." kata Fatimah. "Baiklah..." jawab saya yang dari tadi hanya memperhatikan teman-teman makan jangkrik goreng.*