"Jariah Manantang Buliah", Catatan Perjalanan ke Vietnam dan Kamboja

BAGIAN 2

Jum'at, 02/05/2025 13:47 WIB

 

OLEH Alfitri (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unand)

JARIAN MANANTANG BULIAH manantang buliah” adalah ungkapan dalam bahasa Minangkabau yang berarti jerih payah akan berhadapan dengan imbalan. Ungkapan ini mengandung makna bahwa setiap usaha atau kebajikan yang dilakukan akan mendapatkan balasan atau ganjaran (reward), baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam perspektif sosiologi Homans, balasan atau imbalan dalam proses interaksi sosial tidak selalu bersifat ekstrinsik, seperti berupa uang atau materi lain yang bernilai ekonomi. Imbalan juga bisa bersifat intrinsik, seperti penghargaan atau kehormatan yang menimbulkan rasa puas dan bangga, serta fasilitas berupa atensi, kemudahan, dan lain sebagainya (Ritzer, 2012).

Pada pagi hari kedua di Ho Chi Minh City (HCMC), saya, Prof. Rudi, dan Febrian sepakat untuk jalan pagi. Aktivitas ini tentu bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh, sekaligus menjadi kesempatan untuk mengamati kehidupan di sekitar kawasan Hotel Aluna HCMC.

Usai salat Subuh, sekitar pukul 06.00, kami turun ke lobi hotel. Kami kemudian melangkah keluar dengan kecepatan sedang menuju taman kota yang terletak persis di depan Hotel New World Saigon—salah satu hotel bintang lima yang mewah dan mahal di HCMC. Jaraknya tak sampai 1 km dari Hotel Aluna, tempat kami menginap.

Kami mengitari taman kota tersebut dan melihat cukup banyak warga yang juga melakukan aktivitas jalan pagi. Terlihat pula dua kelompok ibu-ibu yang tengah melakukan senam kesehatan. Taman kota yang rindang dengan pepohonan tinggi ini menjadi ruang publik yang bersih dan nyaman bagi warga untuk berolahraga.

Sementara Febrian sibuk mengambil foto, saya dan Prof. Rudi terlibat diskusi tentang indikator kemajuan kota, salah satunya adalah keberadaan taman kota yang fungsional, bersih, dan nyaman. Di bagian lain taman tersedia berbagai jenis alat kebugaran dan toilet umum yang dapat digunakan pengunjung.

Menariknya, kami tidak melihat satu pun pedagang yang berjualan di dalam maupun di sekitar taman. Ini menandakan bahwa peraturan tentang pemanfaatan ruang publik seperti taman kota ditegakkan dengan baik.

Setelah menyusuri sejumlah jalan di sekitar taman, aplikasi di ponsel Prof. Rudi menunjukkan bahwa kami telah menempuh jarak 2,98 km dalam waktu 57 menit 14 detik. Sekitar pukul 07.00 kami kembali ke hotel untuk sarapan dan bersiap menuju Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di HCMC.

Untuk menghindari konsumsi makanan non-halal, saya memilih sarapan dengan aneka buah, salad, ubi rebus, dan jagung rebus. Pukul 08.30, rombongan sudah berkumpul di lobi. Setelah mobil Grab yang dipesan Febrian tiba, kami pun berangkat ke KJRI HCMC, yang ternyata hanya berjarak 2,2 km dari hotel.

Di KJRI, kami disambut hangat oleh Bapak Agustaviano Sofjan selaku Konsul Jenderal, didampingi dua stafnya. Prof. Ardi berbincang akrab dengan Pak Konjen karena mereka sudah cukup sering bertemu. Salah satu staf, Ibu Merlyna, kebetulan adalah urang awak asal Batusangkar.

Prof. Ardi menyampaikan perkembangan kerja sama Unand dengan beberapa universitas, termasuk pembangunan Masjid Salamat Indonesia di Long Xuyen City. Ia juga menyampaikan apresiasi atas dukungan Duta Besar RI di Hanoi dan KJRI selama ini. Secara khusus, Prof. Ardi menginformasikan bahwa sekitar 40 persen mahasiswa program pertukaran pelajar yang belajar di Vietnam melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri setelah lulus. Sebaliknya, mahasiswa Vietnam yang kuliah di Unand juga mendapatkan pekerjaan dan karier yang baik setelah kembali ke negaranya.

Pak Konjen menyambut baik perkembangan tersebut dan merasa terbantu dengan semakin eratnya hubungan kerja sama antarlembaga. Sebelum pertemuan berakhir, beliau memberikan kejutan berupa plakat penghargaan kepada Prof. Ardi atas jerih payah dan dedikasinya selama 12 tahun merintis dan mengembangkan kerja sama antaruniversitas Indonesia–Vietnam.

Tak menyangka mendapat penghargaan, mata Prof. Ardi tampak berkaca-kaca menahan haru. Kami pun ikut merasa bangga. Jerih payah beliau selama ini ternyata mendapat penghargaan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebab, niatnya sejak awal hanyalah PMA (Penanaman Modal Akhirat): membuka akses bagi mahasiswa kedua negara untuk maju dan berkembang, serta membangun masjid bagi komunitas Muslim di Vietnam—sebuah amal baik yang, insya Allah, akan mendapatkan balasan di dunia dan akhirat.

Setelah berfoto bersama Pak Konjen dan para staf, kami pun pamit untuk kembali ke hotel. Siangnya, kami akan check-out dan melanjutkan perjalanan ke Long Xuyen City yang berjarak sekitar 186 km dari HCMC. *



BACA JUGA