Padang, sumbarsatu.com—Menyedihkan, ternyata pers cetak yang terbit di Sumatera Barat—taruhlah yang terbit dalam rentang sejak reformasi (1998) hingga sekarang—tidak terarsipkan dan terdokumentasikan dengan baik, yang jumlahnya ratusan dengan pelbagai format.
Sementara, jika dirunut ke belakang semenjak era revolusi atau awal abad ke-20 atau pengujung abad ke-19, tentu semakin sukar ditemukan bentuk fisik pers cetak yang pernah diterbitkan di Sumatera Barat ini. Maka problem ini pula, muncul gagasan untuk menghadirkan semacam pusat data pers Sumatera Barat atau museum pers yang representatif.
Demikian terungkap dalam diskusi kelompok terpumpun (DKT) yang dilaksanakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pusat Informasi dan Dokumentasi Kesejarahan) LPPM Pusindok Universitas Andalas, Selasa, 29 Oktober 2024 di Padang.
DKT mengangkat tema "Pers Sumatera Barat dari Revolusi hingga Pascareformasi” dihadir sejumlah mantan-mantan pengelola dan wartawan media cetak di Sumatera Barat dengan narasumber Khairul Jasmi (Pemimpin Redaksi Harian Singgalang), Wannofri Samry (Ketua Pusidok), dan moderator Nasrul Azwar (sumbarsatu.com).
“Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan komprehensif terhadap pers cetak yang terbit di Sumatera Barat, terutama pers cetak yang terbit sebelum reformasi, apa visi dan ideologi beritanya, bagaimana penyelenggaraan penerbitannya, pembiayaan, dan pasarnya, lalu mengapa saat itu, masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) saat itu suka membaca dan tingkat literasinya cukup bagus dibandingkan dengan provinsi lainnya,” kata Khairul Jasmi, yang juga seorang novelis ini.
Menurutnya, juka dilihat dalam kurun era revolusi sampai pasca-Proklamasi, kontribusi pers Sumatera Barat tidak perlu diragukan lagi. Kehadiran pers cetak memberi makna dan penyemangat dalam gerakan revolusi dan mengisi makna kemerdekaan.
Syofiardi Bachyul Jb, jurnalis yang pernah mengelola Mingguan Bukittinggi Pos dan Puailiggoubat mengatakan, perjalanan pers di Sumatera Barat ini termasuk terlama di Indonesia dan lumayan banyak, umumnya dimiliki dan dikelola pengusaha dan wartawan lokal.
“Ada yang bertahan dari sejak terbit, seperti Haluan dan Singgalang (juga kemudian koran-koran grup Jawa Pos, seperti Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, dan Posmetro Padang). Ada juga yang berumur pendek. Tulang punggung sejarah pers adalah produk pers itu sendiri. Celakanya, di Sumatera Barat pengarsipan pers cetak tidak begitu bagus. Jangankan digitalisasi, arsip cetaknya saja banyak yang tidak lengkap. Inilah tantangan terberat. Ini memang kerja berat karena kita tak begitu telaten mengarsip dan mendokumentasikan,” katanya merespons paparan narasumber.
Ia menilai, apa yang dilakukan Wannofri Samry ini perlu didukung sebab jika tidak dimulai dari sekarang, dipastikan semakin banyak media pers cetak yang akan lenyap seiring zaman.
Eko Yanche Edrie, wartawan senior dan Pemimpin Redaksi Harian Khazanah memaparkan perbedaan pers yang menjaga idealisme dengan pers yang dekat dengan kekuasaan (pemerintah).
“Kini perbedaan itu sudah sirna. Sekarang sudah tidak lagi bisa dibedakan media pers yang diidealis dengan yang bukan. Tapi yang jelas, banyak faktor yang menyebabkan lunturnya idealisme dan ideologi pers antara lain, turunnya daya baca masyarakat sehingga berdampak ke semua aspek, termasuk minat pengiklan turun drastis,” katanya.
Yurnaldi, Pemimpin Redaksi Tabloid Editor dan mantan wartawan Kompas, menyarakan agar para pengelola media pers cetak di Sumatera Barat untuk menuliskan pengalaman ketika mengelola media cetak secara detil. “Tulisan mereka mungkin bisa jadi fakta Sejarah.”
Montosori dan Firdaus Abie, keduanya mantan Pemimpin Redaksi Padang Ekspres mengusulkan agar tim riset bukan semata mengumpulkan dan mendata nama-nama pers cetak yang terbit di Sumatera Barat tetapi juga menjelaskan orientasi media dan latar belakang terbitnya.
Harris Effendi Thahar, mantan pengelola Mingguan Canang juga berharap agar penelitian ini bisa berkembang ke arah hadirnya museum pers dan pusat data pers di Sumatera Barat.
Dari rilis yang dilansir Pusindok Unand, ada ratusan media yang terbit pascareformasi yang masuk daftar yang sebagian besar belum ditemukan bentuk fisiknya.
“Sebagian besar sulit ditemukan bukti cetaknya. Para pemilik dan pengelola media umumnya kurang memprioritaskan pengarsipan. Di lembaga perpustakaan dan pengarsipan yang dikelola pemerintah daerah, juga tidak lengkap. Banyak yang rusak pascagempa bumi 2009 lalu kata pengelolanya,” terang Wannofri Samry.
Maka, tim peneliti menghubungi secara personal para pengelola penerbitan media. “Kita berharap mereka ini menyimpan arsip-arsip media yang pernah dikelolanya tetapi ternyata tidak seperti yang kita harapkan. Sebagian besar mengaku arsipnya hancur karena banjir,” terang Wannofri.
Selanjutnya, tambah doktor sejarah pers ini, mengontak perusahaan cetak media, seperti Graindo milik grup Padang Ekspres karena banyak media-media yang mencetak korannya di perusahaan ini.
“Tapi, apa mau dikata pergelola percetakan koran ini ternyata juga tidak punya arsip media yang pernah mereka cetak. Hal serupa juga terjadi di Genta Singgalang. Perusahaan percetakan ternyata juga tidak punya arsip,” sebut Nasrul Azwar, yang terlibat dalam pengumpulan dan pendataan media cetak ini.
“Produk pers tidak hanya berisi kekayaan intelektual, tetapi juga bukti sejarah. Sejarah suatu daerah sangat tergantung kepada berita-berita dan dialektika yang pernah dipublikasikan pers. Jika arsip persnya hilang, maka sebagian sejarah daerah itu akan ikut hilang. Akibatnya, generasi berikutnya akan kehilangan informasi masa lalu daerah dan nenek moyangnya,” tambah Syofiardi Bachyul Jb.
DKT intensif ini juga diikuti Fitri Adona (mantan wartawan Harian Semengat), Armaidi Tanjung (Padang Pos), Atviarni (mantan wartawan Harian Mimbar Minang), Emil Mahmudsyah (Tribun News) dan beberapa orang mahasiswa. SSC/MN