Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) yang juga seorang jurnalis, Nasrul Azwar berorasi di Panggung Ekspresi Sabtu (29/06/2024) malam.-
Padang, sumbarsatu.com –Kekecewaaan masyarakat seni Sumatera Barat itu kian berlarut-larut. Tak ada penjelasan konkret dan tak ada pula penyelesaian. Bertahun-tahun lamanya. Hingga hari ini, masyarakat seni di Sumatera Barat tidak lagi punya ruang ekspresi. Gedung Kebudayaan terbengkalai. Dan semuanya tumpah pada Panggung Ekspresi Forum Perjuangan Seniman (FPS) Sumbar, Sabtu (29/06/2024) malam.
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) yang juga seorang jurnalis, Nasrul Azwar tampil orasi di depan seratusan masyarakat seni di lapangan parkir Taman Budaya Sumatera Barat. Ia membacakan orasinya yang diberi judul “Manifesto Masyarakat Seni Sumatera Barat Melawan”.
Manifesto ini lahir dari akumulasi pemikiran objektif dan membaca secara saksama perjalanan perjuangan kawan-kawan yang menghimpunkan diri dalam Forum Perjuangan Seniman (FPS) Sumatera Barat selama satu setengah tahun ini.
Selain hasil kontemplatif, manifesto ini disampaikan berangkat dari fakta Petisi Darung yang ia inisiasi pada akhir tahun 2022. Petisi yang dirilis pada aplikasi change.org itu berisi Penolakan Pembangunan Hotel di Kawasan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat. Sampai hari ini sudah ditandatangani 597 orang. Jumlah dukungan ini cukup banyak terhadap tema-tema yang spesifik. Dan ada puluhan komentar dari masyarakat seni Indonesia yang mendukung Petisi ini.
"Kita bersama di sini, di parkiran ini, karena satu alasan yang mengebat kita, yaitu ruang publik dan ekspresi kita direnggutkan pemerintah tanpa bertanggung jawab dan akan menggantikannya dengan hotel,” kata Nasrul Azwar.
Nasrul Azwar yang biasa disapa Mak Naih ini, menyuarakan perlawanan yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, DPRD Sumatera Barat, dan semua pihak yang peduli dan ataupun tidak peduli dengan kebudayaan tapi menerima kemanfaatan juga atas eksistensi budaya dan seni.
“Bentuk perlawanan kami, Masyarakat Seni Sumatera Barat adalah berupa gagasan, ide, dialektika pertukaran pengetahuan, dialog, ekspresi karya-karya seni dan tulisan-tulisan. Hal itu kami lakukan tanpa lelah,” ujarnya.
Perlawanan ini, lanjutnya, bukan saja dimulai sejak semua gedung pertunjukan seni di kawasan Taman Budaya Sumatera Barat dirobohkan pada 2015 tanpa penjelasan yang transparan, tapi sudah dimulai sejak Gedung Teater Tertutup diratakan tahun 2000-an juga tanpa alasan yang jelas.
“Masyarakat Seni Sumbar melawan karena Pemprov Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sudah menebar PHP (Pemberi Harapan Palsu) dan memprank masyarakat seni Sumatera Barat dengan rasa bangga bertahun-tahun lamanya,” katanya.
Adalah omong kosong visi “Sumatera Barat Maju dan Berkelanjutan Berlandaskan Agama dan Budaya” seperti tertuang dalam Rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumbar 2025-2045. Apalagi dalam sasaran pokok RPJPD kebudayaan berada pada nomor 13 dari 16 item yang diprioritaskan, yaitu “Beragama Maslahat dan Berkebudayaan Maju” dengan target Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) 69,70-70,34 pada tahun 2045. Kini IPK Sumatera Barat 57,35.
Dari membaca RPJPD itu, sudah terasa bahwa budaya tidak menjadi hal penting bagi Pemprov Sumbar kendati dalam visi menyertakan frasa budaya.
“Sejauh itu pula, dalam pembacaan saya terhadap penyusunan naskah RPJPD 20 tahun terakhir atau 4 RPJMD—sejak dari Gubernur Gamawan Fauzi, Irwan Prayitno (2 periode), dan Mahyeldi pada periode ini—keseriusan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat bersama DPRD tidak terbukti dalam pengembangan kebudayaan. Padahal menyebutkan berkebudayaan maju sebagai landasan.
Mak Naih juga mengkritisi pengalokasian dana pokok-pokok pikiran (pokir) yang jumlah miliaran setiap tahun kepada masing-masing anggota DPRD Sumbar juga ikut berkontribusi mendorong matinya pembangunan kebudayaan di Sumatera Barat.
“Jika para wakil rakyat itu bersedia membagi dana pokirnya untuk dialokasikan melanjutkan pembangunan gedung kebudayaan, diyakini dalam dua tahun akan selesai. Tapi itu tidak ada dalam pangana mereka,” tandasnya.
Maka, atas kecuekkan dan ketidakpedulian Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terhadap kemajuan kebudayaan dalam arti luas, maka Masyarakat Seni Sumatera Barat Melawan, mengeluarkan menifesto sebagai gugatan :
- Sebagai ruang publik seni, ruang ekspresi , mendesak agar Pemerintah Provinsi Sumatera Barat segera memprioritaskan pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat.
- Kepada 65 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Barat sebagai wakil rakyat, maka Masyarakat Seni Melawan mendesak dan meminta kepada Anda untuk serius memikirkan, mengawal dan mengutamakan agar pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat untuk segera direalisasikan dan dilanjutkan.
- Kepada semua Masyarakat Seni Sumatera Barat agar lebih maksimal mengawal dan tak pernah lelah mendesak agar Gedung Kebudayaan dikonkretkan pembangunannya, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyertakan masyarakat seni untuk terlibat aktif dalam proses pembangunannya.
- Menolak pembangunan hotel di kawasan ini
“Semoga Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan DPRD Sumatera Barat endengar gugatan kita mala mini dan tidak bersipakan saja,” tegas Maknaih.
Penampilan KPJ Sakato di Panggung Ekspresi, Sabtu 29 Juni 2024
Zamzami Ismail, Koordinator Forum Pejuang Seniman Sumatera Barat mengatakan, untuk ke depan, FPS Sumatera Barat akan merealisasikan gagasan dan ide-ide dari hasil orasi dan diskusi selama ini .
“Selain berjuang di panggung ekspresi, kita juga secara intensif akan membicarakannya dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan DPRD Sumatera Barat, dinas-dinas yang berkaitan langsung dengan pembangunan gedung dan juga perencana pembangunan Sumatera Barat. Kita bicara dengan argumentatif, data-data, dan gagasan untuk kemaslahatan masyarakat seni Sumatera Barat,” terang Zamzami Ismail, yang juga sutradara di Teater Size Padang kepada sumbarsatu,
Selain itu, pada Agustus 2024, FPS Sumatera Barat meluncurkan buku yang merupakan akumulasi dan kompilasi selama dua tahun perjuangan masyarakat seni Sumatera Barat.
“Jika tak ada aral melintang, buku kompilasi pemikiran, gerakan penolakan pembangunan hotel di kawasan Gedung Kebudayaan, respons publik Sumatera Barat, dan lain sebagainya, akan kita luncurkan tahun ini. Buku sebagai dokumen sejarah akan diserahkan ke Gubernur, DPRD Sumatera Barat, dan pihak lainnya,” urai Zamzami Ismail.
Monolog Anggel Zal Fitri dari Studio Merah FHUK Unand
Panggung Ekspresi yang dibawakan oleh Jeffenil secara dinamis dengan ucapan-upacan kritis terhadap Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, selain orasi juga dihadirkan KPJ Sakato, Pimpinan Doni Kamardi, tari-tarian dari Grup Cahayo Bundo pimpinan Ade, juga diperkuat oleh monolog Anggel Zal Fitri dari Studio Merah FHUK Unand dengan sutradara Tika, sulap dari Komunitas Mikadzuki, nyanyian ceria Five Rose, penampilan penyanyi Aisha, juga pembacaan puisi oleh Andria C Tamsin, Muhammad Ibrahim Ilyas, dan Herry Goib.
Terlihat hadir Sexri Budiman (Kepala Museum Adtyawarman), semua presedium FPS Sumatera Barat, Aprimas, Herisman Tojes, Rizal Tanjung, Ade Efdira (Taman Budaya), dan para aktivis dan pelaku seni budaya baik dari kalangan Gen Z dan milenial, juga para pengelola sanggar. SSC/Like