Laporan Angelique Maria Cuaca (Jurnalis)
MENDENGAR nama Nagari Koto Gadang, IV Koto, Agam, sosok pertama yang terlintas di kepala saya adalah Siti Roehana—sering dipanggil Roehana Koeddoes. Seorang jurnalis perempuan pertama dari Sumatera yang menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Soenting Melajoe (surat kabar perempuan pertama di Sumatera tahun 1911).
Pada tahun yang sama, ia mendirikan Amai Setia, yaitu perkumpulan sekaligus sekolah perempuan Minangkabau di Koto Gadang untuk belajar baca tulis, Bahasa Belanda, menjahit, menyulam, dan menenun serta prakarya yang lainnya. Amai Setia merupakan sekolah perempuan pertama di Sumatera Barat.
Roehana menjadi alasan utama bagi saya ikut berpartisipasi dalam Pejalan Nagari Walk 2025 pada Minggu, 19 Januari 2025. Acara ini digagas oleh Asosiasi Pejalan Kaki Sumatera (Sumatran Walkers Association), yang didirikan pada Februari 2024 di Koto Gadang.
Saya ingin melihat seorang Roehana tumbuh di ranah yang seperti apa. Juga ingin melihat Amai Setia, yayasan yang berdiri sejak awal tahun 1900-an dan masih aktif hingga hari ini.
Berdasarkan jalur rute yang ditentukan oleh panitia pelaksana, letak Amai Setia tak jauh dari check poin 2 dan Rumah Roehana Koeddoes di Km 9. Saya mengajak Jerry, salah satu peserta untuk bertandang ke sana.
Bangunan Amai Setia berada di pinggir jalan, berhadapan dengan hamparan sawah petani Koto Gadang. Untuk sampai di halamannya, kami harus melewati beberapa undak anak tangga. Halaman Amai Setia cukup luas dan tertata rapi, ditanami dengan berbagai jenis tanaman perkarangan. Di tengahnya dibuat jalan selebar 1 meter dari coran beton, menuju tangga dekat pintu masuk rumah. Pada kiri dan kanannya berjejer tanaman daun pucuk merah.
Rumah panggung semi permanen didominasi warna krim dengan arsitektur khas Indisch (perpaduan Eropa dan Indonesia). Pada bagian atas rumah tertulis: Keradjinan Amai Setia 1915. Kami disambut oleh seorang perempuan muda yang menjaga rumah ini. Ia mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah.
Pada ruang depan terdapat etalase yang memajang hasil karya seni perempuan Koto Gadang, mulai dari sulaman dan songket berbagai bentuk seperti kain, baju, tas, hijab, selendang, mainan kunci, dan lainnya. Selain itu juga terdapat berbagai kerajinan perak berbentuk pajangan, cincin, gelang, kalung, hiasan kepala, mainan kunci, dan lainnya. Harganya beragam mulai dari lima ribuan hingga belasan juta rupiah.
Ruang belakang dijadikan tempat pertemuan dan ruang belajar para ibu. Lapik pandan terhampar di ruangan dan sudut kanannya terdapat mesin tenun tradisional. Beberapa foto Siti Roehana juga terpajang di dinding, dari usia muda hingga menjelang tutup usia.
“Seluruh produk yang di pajang adalah hasil karya ibu-ibu Koto Gadang. Amai Setia lebih dari satu abad konsisten memberi kelas menyulam dan menenun bagi perempuan, sekaligus memasarkan karyanya,” ujar seorang perempuan yang tak sempat kami tanyakan namanya Minggu (19/1/2025).
Kami dipersilahkan menuju museum Amai Setia di lantai 2. Museum ini memajang berbagai jenis kerajinan yang diproduksi oleh Amai Setia di tahun awal berdiri. Ada tas penyimpanan beras yang disulam tahun 1911 dan berbagai jenis baju adat Minang yang berasal dari sulaman atau tenun songket Koto Gadang.
Pada pojok kanan terdapat sketsel yang memajang arsip-arsip lama Amai Setia mulai dari sejarah pendirian sekolah, keterlibatannya dalam setiap pameran di pasar malam, foto aktivitas dari keanggotaan Amai Setia, serta berbagai penghargaan yang diterimanya.
Ada pula piagam penghargaan yang diberikan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia kepada Roehana tertanggal 9 Februari 1987 sebagai “Perintis Pers Pertama Indonesia”.
***
Segelintir orang menilai Roehana adalah pembaru perempuan bentukan kolonial. Roehana dianggap mengkritik keras soal tradisi usang yang membatasi perempuan dalam berbagai hal lewat tulisannya di Soenting Melayu. Namun di lain sisi memuja-muja kolonial Belanda sebagai bangsa penjajah yang masyur dan berjasa, yang mereka istilahkan dengan ‘Sajak Salon’.
Mereka berharap Roehana seharusnya berpikir seprogresif para tokoh bangsa laki-laki yang lain saat itu seperti sepupunya Agoes Salim, saudara tirinya Sultan Syahrir, keponakannya Chairil Anwar, atau tokoh lain seperti Hatta yang lahir di Bukittinggi.
Melihat kondisi perempuan dan laki-laki pada masa kolonial dengan melupakan bahwa ada budaya patriarki yang membelenggu saat itu, menurut saya itu adalah cara pandang yang tidak tepat.
Mereka lupa bahwa Roehana punya kesempatan yang berbeda dengan para tokoh lelaki masa itu. Roehana tidak pernah menyentuh bangku pendidikan. Pergaulannya juga sangat terbatas hanya di lingkup keluarga dan tetangganya saja. Ia belajar membaca dan menulis secara otodidak, diajari oleh ayahnya yang menjadi kepala Jaksa di Pemerintahan Hindia Belanda.
Sedangkan para laki-laki dari kalangan ningrat pada masa itu diijinkan untuk menempuh sekolah terbaik punya Belanda, bahkan sampai lanjut ke luar negeri. Mereka punya banyak kesempatan untuk bertemu berbagai kalangan termasuk yang progresif. Kesempatan ini tentu tidak dimiliki oleh lelaki bukan ninggrat. Apalagi perempuan dari kalangan berpunya maupun yang tidak.
Perbedaan akses tersebut yang jadi sebab mengapa gerakan perempuan lebih membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi progresif dibandingkan laki-laki. Ketika sebagian laki-laki telah diperbolehkan sekolah dan mengakses pengetahuan hingga ke ujung dunia, perempuan masih berjuang bagaimana melawan buta huruf akibat tidak diperbolehkan sekolah.
Gerakan perempuan mula-mula berasal dari golongan ningrat karena mereka punya privilage. Namun keistimewaan itu mereka gunakan agar perempuan lainnya yang tidak memiliki privilage bisa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.
Amai Setia berangkat dari kesadaran bahwa posisi perempuan tidak seberuntung laki-laki. Program yang dirancang berupaya agar perempuan bisa setara mengakses pendidikan, bebas dari kebodohan dan kemiskinan. Roehana memandang bahwa tugas perempuan tidak berkutat pada sumur, dapur, dan kasur. Perempuan punya peran yang lebih besar lagi yaitu terlibat aktif dalam pembentukan bangsa.
Perjuangan Roehana adalah proses bagaimana perempuan berusaha keluar dari belenggu paham patriarki usang dan berdialetika terus menerus menjadi gerakan yang lebih progresif. Setelah Soenting Melayu dan Amai Setia dibentuk, secara perlahan mendorong lahirnya pers dan gerakan perempuan di berbagai tempat yang lebih progresif lagi.
Puncaknya adalah kongres perempuan pertama pada 21 Desember 1928 yang diikuti oleh ribuan perempuan di berbagai daerah nusantara. Kemudian makin progresif lagi ketika kongres kedua dan ketiga, sampai pada kesadaran perempuan Indonesia untuk ikut terlibat melawan kolonialisme.
Tulisan Roehana mula – mula memang hanya seputar soal budaya usang di masyarakat adat. Namun tulisan dan pemikiran Roehana terus berkembang. Ia berjuang bersama suaminya Abdoel Koeddoes, seorang jurnalis dari surat kabar Tjahaja Soematra dan anggota Insulinde, organisasi pengganti Indische Partij (IP).
Roehana mengisi pengetahuannya dengan membaca surat kabar pergerakan yang menentang Belanda seperti Fadjar Asia yang didirikan oleh Agoes Salim dan Tjokroaminoto, Modjopahit oleh Tjipto Mangunkusumo, Goentoer Bergerak oleh Mas Marco Kartodikromo, dan Sinar Djawa/Sinar Hindia oleh Semaoen. Surat kabar ini terkenal getol melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda.
Hajar NS menuliskan soal “Siti Roehana Koedoes: Ibu Pers dan Pergerakan Indonesia” (dikutip oleh Petrik Matanasi pada bukunya yang berjudul 7 Ibu Bangsa). Saat agresi militer pascaproklamasi kemerdekaan, Roehana membuat tulisan yang membakar semangat juang para pemuda. Ia juga mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk para gerilyawan.
Bagi saya, Roehana adalah teladan bagi perempuan Indonesia serta kebanggaan Koto Gadang. Ia juga salah satu sosok yang menyemangati saya untuk menulis. Jadi perjalanan kali ini adalah cara saya merayakan perjuangan Roehana.
***
Waktu menunjukkan pukul 11.00. Tak terasa sudah 1 jam kami berada di sana. Saya dan Jerry berpamitan kepada si penjaga Amai Setia dan melanjutkan perjalanan.
Sekitar 100 meter berjalan, kami melewati Oesman Effendi Center. Oesman Effendi merupakan seniman lukis abstrak Indonesia yang lahir di Koto Gadang. Gedung semi permanen berwarna putih pucat itu tampak tidak terawat.
Kami mendekat dan melihat ke dalam dari balik jendela yang berdebu. Gedung itu terkunci. Samar-samar terlihat beberapa foto dan arsip yang terpanjang di dinding, serta ada coretan dengan kuas berisi catatan kuratorial pameran.
“ Sepertinya tempat ini sudah lama tidak dibuka kak,” ujar Jerry. Saya mengangguk. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan yang tinggal 1 kilometer lagi sampai ke garis finish.
Tak lama salah seorang panitia datang menghampiri kami. Seorang lelaki kurus berkulit putih dengan rambut ikal dan kacamata petak hitam yang membingkai di wajahnya. Namanya Imam.
“Hai, kami mencari kalian. Kalian peserta terakhir yang belum sampai finish. Kami fikir kalian tersesat. Ayo cepat,” ujarnya. Langit mulai nampak sedikit mendung dan gerimis.
“Kami tadi tersangkut di Amai Setia,” jawab Jerry dengan mimik wajah yang lucu.
Kami bertiga tertawa. Imam menemani kami berjalan menuju garis finish.
Keuntungan sebagai peserta terakhir, Imam sekaligus menjadi tour guide kami. Ia bercerita banyak tentang Koto Gadang.
“Sebentar lagi kita akan sampai di check poin 2, rumah kelahiran Roehana. Nanti kita akan melewati rumah Agus Salim juga,” jelas Imam.
Imam bercerita bahwa rumah di sini sebagian besar tidak berpenghuni. Sebagian besar pemiliknya merantau ke luar nagari. Jadi Koto Gadang baru ramai saat lebaran. Pemilik rumah biasanya mempekerjakan orang lain untuk merawat rumah. Karenanya beberapa pemuda di sini berinisiasi untuk membuka homestay bagi pengunjung yang ingin berwisata ke Koto Gadang.
“Saya melihat hampir tidak ditemukan rumah gadang khas Minangkabau di sini. Semuanya rumah lama semi beton dengan arsitektur Eropa. Kalaupun ada, tampaknya itu baru dibangun. Bukan rumah lama,“ kata saya.
Imam mengiyakan perkataan saya itu. Ia bercerita bahwa Koto Gadang dulu bekerjasama dengan Belanda untuk urusan perdagangan dan politik. Jadi sangat memungkinkan jika kebudayaan Belanda mempengaruhi desain tempat tinggal orang Koto Gadang. Kondisi itu yang dulu juga menjadi alasan mengapa banyak laki-laki dari golongan atas di sini yang diperbolehkan sekolah.
Alfa Noranda, Arkeolog dari UNAND ketika saya wawancara pada 27 Januari 2025 menyebutkan bahwa pengaruh arsitektur Eropa pada rumah Koto Gadang adalah bentuk asimilasi dan akulturasi budaya antara Minang dan Belanda sejak abad ke-19. Ia menyebutnya Rumah Bheley, percampuran arsitektur lokal dan kolonial.
***
Saya dan Jerry akhirnya sampai di garis finish di Balai Adat Koto Gadang, tempat start sebelumnya. Kami adalah urutan terakhir dari 167 peserta Pejalan Nagari Walk. Rasa penat terbayarkan karena kami mendapatkan medali kayu buatan Komunitas Mato Kayoe.
Ini adalah pengalaman menarik bagi saya. Sebelumnya saya pernah mengikuti jalan santai tapi seringkali kosong makna. Hanya untuk olahraga dan bersenang-senang. Tapi kali ini saya mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan ruang untuk berkontemplasi.
Saya bersama peserta lain melewati 10 kilometer dengan menantang. Kami melewati beberapa titik seperti sawah, hutan, sungai, rawa, serta beberapa titik wisata alam dan sejarah yang terdapat di Koto Gadang seperti Makam Inyiak Karamak, Puncak Taruko, Pondok Bambu, Sawah Sianok, Gedung Amai Setia, Rumah Roehana Kudus, dan Rumah Agoes Salim.
Peserta juga dihibur oleh penampilan musik tradisi seperti Tambua Tansa dan grup musik Batigo pada titik finish, serta grup Ragam Raso di rest area 2.
Pejalan Nagari Walk jadi jeda bagi rutinitas saya yang selama ini hanya berkutat di laptop dan handphone. Perjalanan ini memberi saya waktu untuk berefleksi dengan diri sendiri, sekaligus mengasah kembali kepekaan dan empati terhadap lingkungan.
Dedi Novaldi, yang kerap disapa Chaink, Ketua Asosiasi Pejalan Kaki Sumatera bercerita bahwa kegiatan ini berangkat dari keresahan. Awalnya ia dan Sukra resah karena melihat pariwisata Sumbar seperti stagnan.
Wisatawan kebanyakan hanya dari Riau untuk domestik dan Malaysia serta Singapura. Kalaupun ada iven-nya seringkali hanya sebatas selebrasi. Padahal menurutnya Sumatera Barat berlimpah ruah potensi alam, budaya maupun sosial. Hal ini yang membuat mereka menggagas kegiatan yang tidak hanya memperkenalkan budaya dan sejarah, tapi juga keindahan alam, plus dapat sehatnya.
Mereka juga merangkul pemuda nagari serta UMKM lokal terlibat pada acara ini. Pada garis finish terdapat berbagai jenis kuliner khas Koto Gadang yang dijual oleh UMKM. Semuanya laris manis dibeli oleh peserta kegiatan.
Pada garis finish juga ada workshop menyulam oleh ibu-ibu Koto Gadang. Para peserta diijinkan untuk belajar menyulam kain. Workshop ini seolah mengajak saya memutar waktu ke masa lalu: saat Roehana mulai berjuang untuk memajukan pendidikan dan ekonomi perempuan di Koto Gadang. ***