
-
OLEH Alfitri (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)
BAJALAN BA NAN TUO adalah ungkapan dari kearifan lokal Minangkabau yang mengingatkan bahwa dalam bepergian bersama, sebaiknya ada seseorang yang dituakan. Ia menjadi pemimpin dalam perjalanan karena diakui oleh yang lain sebagai sosok yang lebih berpengalaman, baik mengenai tempat, pihak, maupun maksud tujuan. Dengan demikian, perjalanan diharapkan dapat berlangsung lancar, sukses, dan menyenangkan.
Sebagai pembelajar Sosiologi Pembangunan, sudah cukup lama saya ingin berkunjung ke Vietnam, negara yang kini banyak dibicarakan terkait pembangunan dan perkembangan industrinya yang mengesankan serta menarik minat investor (lihat misalnya: Kompas.com, 4/8/2020). Karena itu, saya dan teman-teman merasa beruntung bisa bergabung dalam rombongan ke Vietnam yang dipimpin oleh Prof. Ardi, yang telah 28 kali berkunjung ke negara tersebut.
Sejak tahun 2014, beliau aktif mengembangkan kerja sama antara Universitas Andalas (Unand) dengan beberapa universitas di Vietnam. Belakangan, Prof. Ardi juga turut memfasilitasi pengembangan kerja sama serupa dengan beberapa universitas lain di Sumatera Barat dan juga Universitas Lampung. Selain di bidang pendidikan, dalam tiga tahun terakhir beliau juga sibuk melakukan PMA (Penanaman Modal Akhirat) dengan menginisiasi pembangunan Masjid Salamat Indonesia di Long Xuyen City, Vietnam.
Bukan hanya ke Vietnam, sejak menamatkan studi di University of Hawaii, AS, pada tahun 1986, Prof. Ardi telah mengunjungi banyak negara di berbagai belahan dunia. Termasuk bersama saya sendiri ketika mendampingi Rektor Universitas Andalas saat itu, Prof. Musliar Kasim, dalam kunjungan ke Deakin University, Melbourne, Australia, empat belas tahun yang lalu.
Demikianlah, pada Minggu pagi pukul 08.25, kami bersama Prof. Rudi Febriamansyah dan Dr. Widya Fitriana (Kaprodi di Sekolah Pascasarjana Unand) berangkat dari Bandara Internasional Minangkabau menuju Ho Chi Minh City, transit di Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur, bergabung pula Dr. Eka Candra Lina (Kaprodi di Fakultas Pertanian Unand), Dr. Moh. Gamal R. (Dosen Universitas Sebelas Maret, Solo), dan Febriyan.
Dr. Gamal sengaja ikut dalam rombongan karena ingin merintis dan mengembangkan kerja sama dengan universitas di Vietnam. Beberapa tahun lalu, ia pernah menjadi rekan Prof. Ardi dalam kunjungan akademik ke beberapa universitas di Amerika Serikat. Sementara itu, Febriyan adalah alumni Unand yang ingin "napak tilas", karena tujuh tahun lalu saat masih mahasiswa ia menjadi peserta KKN di Vietnam. Tiga tahun terakhir ini, Febriyan tinggal dan bekerja di sebuah perusahaan konsultan IT di Kuala Lumpur.
Pukul 14.40 kami bertujuh terbang ke Ho Chi Minh City dan mendarat di Bandara Internasional Tan Son Nhat sekitar pukul 16.00. Bandara ini berada di dalam kota, dikelilingi lalu lintas dan aktivitas ekonomi yang cukup padat. Antrean imigrasi cukup panjang, diwarnai beragam wajah dari mancanegara—tanda bahwa Vietnam telah menjadi tujuan wisata dan bisnis yang menarik. Tempo.co (6/2/2025) melaporkan bahwa pemulihan pariwisata Vietnam pascapandemi adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Tahun 2024, misalnya, negara yang dijuluki Negeri Naga Biru ini mencatatkan 15,6 juta kunjungan turis asing, meningkat 39,5 persen dari tahun sebelumnya.
Di bandara, rombongan dijemput oleh Phan Thi Ngoc Tu, yang senang dipanggil Tu. Ia adalah mantan mahasiswi bimbingan Prof. Ardi di Program S2 Agronomi, Fakultas Pertanian Unand. Tu menempuh studi di Unand dari 2017 hingga 2020, dan kini bekerja di sebuah perusahaan di Ho Chi Minh City.
Sebelum menuju hotel, kami terlebih dahulu membeli kartu SIM dan menukar uang di money changer bandara. Saya sendiri masih menyimpan sisa Baht dari kunjungan ke Bangkok delapan tahun lalu. Lumayan, masih bisa ditukar menjadi 781.000 Dong Vietnam. Selesai urusan kartu SIM dan penukaran uang, kami memutuskan tidak memesan taksi bandara karena tarifnya lebih mahal. Cukup berjalan sedikit ke luar area bandara, kami bisa memesan Grab yang dibantu oleh Tu.
Dari bandara menuju hotel, lalu lintas cukup padat dan beberapa ruas mengalami kemacetan karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sore menjelang magrib, kami tiba di Hotel Aluna di Jalan Nguyen An Ninh. Hotel ini terletak sangat dekat dengan Ben Thanh Market, salah satu landmark Ho Chi Minh City peninggalan kolonial Prancis.
Setelah istirahat sejenak dan melaksanakan salat magrib dan isya dengan jamak qasar, kami bersama Tu keluar hotel untuk makan malam. Sebenarnya ada beberapa restoran halal dekat hotel, mengingat kawasan ini banyak dikunjungi wisatawan asal Malaysia. Namun, Prof. Ardi mengajak kami ke restoran langganannya, The Daun Restaurant, yang hanya berjarak dua belokan dan sekitar 200 meter dari Hotel Aluna.
The Daun Restaurant—yang konon dimiliki oleh warga Melayu asal Singapura—menyediakan aneka makanan halal khas Vietnam, Thailand, Melayu, Korea, Jepang, dan Barat. Prof. Ardi dan teman-teman memilih menu Vietnam dan Thailand. Sementara saya, seperti biasa, memilih nasi goreng kampung.
Selesai makan malam, kami berjalan-jalan di sekitar Pasar Ben Thanh. Menjelang pukul 22.00, beberapa pedagang cendera mata, kerajinan tangan, dan kaus masih buka. Beberapa pedagang kaki lima bahkan menerima pembayaran dengan Ringgit Malaysia. Ada juga beberapa toko yang menjual telekung, tudung, dan baju kurung. Tampaknya memang banyak wisatawan Malaysia di kawasan ini.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya dan beberapa teman membeli buah segar seperti mangga, nangka, sawo, dan melon. Sebagian buah itu kami nikmati di lobi hotel. Pak Gamal sangat terkesan dengan rasa buah nangka dan bahkan ingin membawa bijinya ke Solo. “Mudah-mudahan bisa tumbuh dan berbuah,” katanya.
Sudah lewat pukul 22.00, Tu pun pamit pulang karena esok pagi harus bekerja. Sejak menjemput kami di bandara, saya terkesan dengan sikap hormat dan santun Tu kepada Prof. Ardi maupun kepada kami semua. Sebelum kembali ke kamar, di lobi hotel, Prof. Ardi mengingatkan bahwa besok pagi pukul 09.00, rombongan sudah memiliki appointment untuk kunjungan kehormatan (courtesy visit) ke Konsulat Jenderal RI di Ho Chi Minh City.
"Ok, Prof... Siap!"