Yasril, petani yang dulu ikut berjuang merebut kembali tanah ulayat nagari, kini bisa bertahan hidup berkat dua petak kecil tanah ulayat nagari
Reportase RANDI RAIMENA
Kamuyang, sumbarsatu.com—“Tanah ulayat ini menyelamatkan kami. Kalau tak ada tanah ulayat (nagari) ini, saya dan istri saya tidak tahu mau tinggal di mana.”
Sukri mulai berkisah soal bagaimana tanah ulayat menyelamatkan hidup keluarganya.
Pria 56 tahun berbicara terbata-bata tentang dia dan istrinya yang digusur dari rumah mereka sebelumnya setelah kalah di pengadilan dalam suatu perkara adat.
Sukri lahir dan besar di Jorong Subaladung, Nagari Sungai Kamuyang. Ia menikahi Raudhatul Jannah (50 tahun), dan tinggal di perumahan sang istri. Di perumahan itu juga tinggal kakak Raudhatul bersama suami dan tiga anaknya.
Sukri, istrinya, dan keluarga kakak iparnya awalnya belum tahu akan tinggal dimana. Itulah satu-satunya lahan yang mereka punya.
“Saya ini orang tak bertanah,” ujar Sukri pedih. “Begitu juga istri saya, ipar saya, tidak ada tanah lain lagi setelah perumahan itu diambil alih,” ceritanya kepada sumbarsatu, Jumat, 10 November 2023. Lalu, mata Sukri menatap saya penuh kesungguhan.
Petani lainnya, yang berkerabat jauh dengan Sukri, kemudian menawarkan sepetak tanah untuk ditinggali Sukri dan Istrinya. Tanah itu sendiri merupakan tanah ulayat nagari yang dikelola kerabatnya itu. (Begitu juga dengan kakak ipar Sukri yang juga diselamatkan warga lainnya yang mengelola tanah ulayat nagari. Keluarga itu kini tinggal di bagian atas tanah ulayat di atas sepetak lahan ulayat nagari).
Dari seperempat (¼) hektare lahan yang dikelola kerabat Sukri, ia memperoleh sepetak tanah untuk dia dan Istrinya. Di sanalah kini Sukri dan Istrinya membuka warung kopi kecil, di mana saya mewawancarai mereka pada Jumat 10/11/2023.
Mereka menjaga warung bergantian. Saat Sukri mendapat kerja di ladang warga lain, maka istrinya yang menjaga warung. Begitupun sebaliknya: Raudhatul juga sering ‘maambiak upah’, memburuh di ladang warga lainnya yang mengelola tanah ulayat nagari dengan upah antara 60-75 ribu rupiah sehari kerja.
Belum sembuh trauma setelah digusur, kini mereka dihadapkan pada potensi dikuasainya tanah ulayat nagari oleh perusahaan atau negara di masa depan. Setelah terbitnya HPL Tanah Ulayat Sungai Kamuyang, hari-hari suami istri itu kembali tidak tenang. Sama seperti masa-masa ketika mereka menjalani persidangan dan sudah tahu akan kalah.
“Saat dengar soal HPL ini, hati saya berdebar kencang sekali, apakah kami akan digusur lagi? Kemana lagi kami akan pindah? Jadi bahan pikiran terus,” kata Raudatul.
Petani Pejuang dan Dua Petak Lahan Ulayat
Tak hanya Sukri dan istrinya serta kakak ipar Sukri yang merasakan manfaat tanah ulayat sebagai orang tak bertanah. Di depan warung kecil Sukri, berdiam laki-laki tua di rumah kayu sederhana di atas sepetak kecil tanah.
Sepetak tanah itu juga tanah ulayat yang dikelola kerabatnya. Kerabatnya membagi tanah itu agar ia bisa mendirikan hunian bersama istrinya yang telah renta, karena ia tak punya lahan lain. Yasril nama lelaki 67 tahun itu.
Sukri, warga Jorong Subaladung, Nagari Sungai Kamuyang yang tergusur karena sengketa adat. Kini ia tinggal di warung pada sepetak kecil tanah ulayat nagari
Yasril memang tak punya lahan ¼ hektar sebagaimana kerabatnya. Namun petani lainnya membagi tanah ulayat yang dikelolanya untuk Yasril dan kelompok taninya membuka peternakan sapi dan sebidang lagi untuk menanam rumput. Luas tanah yang dibagi oleh petani lain itu sekitar 30 x 30 meter.
Kini Yasril bersama kelompok taninya, memelihara sembilan ekor sapi di atas lahan yang dibagi oleh petani lain tersebut. Berkat dua bidang tanah ulayat itulah Yasril bisa bertahan hingga kini.
“Suyukurlah masih ada ulayat nagari ini, daripada bekerja mengambil upah seperti dulu,” katanya.
Yasril sendiri merasakan masa-masa ketika ulayat Lakuak nan Godang dikuasai secara paksa oleh perusahaan pada 1970. Ketika itu ia tak bisa membuka lahan sendiri. Ia bekerja sebagai pembersih kandang kuda di Yenita Ranch. Saat perusahaan mulai menanam lengkuas, maka ia jadi buruh di kebun tersebut seperti kebanyakan petani lainnya.
Lahan Lokuak nan Godang begitu asing bagi mereka saat itu. Perusahaan memagari lahan, mendirikan gerbang, mencurigai bahkan mengintimidasi petani yang beraktivitas di sekitar pagar-pagar itu. Padahal sebelumnya lahan itu telah dikelola oleh orang-orang tua mereka. Dari hasil tanah itulah mereka tumbuh besar.
Petani mulai bangkit dan merancang rencana untuk merebut ulayatnya di pertengahan 1990-an. Ketika itu Orde Baru mulai goyang. Kemungkinan untuk menang sangat kecil. Mereka sedang berhadap-hadapan dengan rezim bengis yang mau tenggelam yang akan melakukan apa saja agar terus berkuasa. Gejolak di berbagai daerah di Indonesia dipadamkan dengan brutal. Namun mereka tetap maju karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Dan Yasril ada dalam barisan itu.
Para petani tua yang saya wawancara, mengenang masa-masa itu dengan penuh kebanggaan. Bagi mereka tersedianya lagi lahan untuk digarap bagaikan mimpi yang jadi kenyataan. Setelah lebih dari 20 tahun dikuasai perusahaan, dan Lokuak nan Godang akhrinya mereka kembali duduki pada 1998.
Seperti Terkicuh di yang Terang
Tanah ulayat nagari yang kini ditempati Sukri, Raudhatul, dan Yasril memang belum disertifikasi. Yang telah diterbitkan sertifikat HPL-nya adalah bagian lain tanah ulayat Sungai Kamuyang yang letaknya berdekatan. Lahan seluas 66 hektar (dikenal warga sebagai lahan Lokuak nan Godang) itu telah dikelola warga selama kurang lebih 20 tahun, yang sebelumnya dikuasai dan kemudian ditelantarkan sebuah perusahaan. HGU perusahaan bernama PT. Yenita Ranch tersebut masih tersisa 3 tahun lagi.
Inilah yang menyebabkan 66 hektar tanah itu tidak jadi disertifikasi yang kemungkinan besar berbentuk HPL. Namun setelah HGU perusahaan itu habis 3 tahun lagi, warga menduga ulayat Lokuak nan Godang kemungkinan besar akan disertifikasi HPL pula.
Dugaan itu bukan tanpa sebab, karena ternyata sejak awal yang jadi sasaran sertifikasi memanglah ulayat Lakuak nan Godang. Seperti dikatakan Jasrizal Sutan Maliputi, salah satu anggota Tim Pendamping Pelaksanaan Pemasangan Tanda Batas Pilot Project Tindak Lanjut Data Tanah Ulayat Nagari Sungai Kamuyang.
“Jadi setelah pengukuran dan pendataan ulayat selesai, termasuk Lakuak nan Godang ini, pada 24 Agustus 2023, kita diundang ke Padang oleh PAgA Unand untuk workshop,” kata Jasrizal saat ditemui di Subaladuang, Sungai Kamuyang, Kamis, 8/11/2023.
Dalam ‘workshop’ tersebut itu Jasril dan Ketua Bamus Ismail Datuak Siomoa Palawan menyampaikan kendala-kendala di ulayat nagari Sungai Kamuyang, terutama soal adanya HGU di Lokuak nan Godang dan telah dikelolanya lahan itu selama puluhan tahun oleh anak nagari.
Saat pembahasan dirasa mulai mengarah ke rencana sertfikasi, Sutan Maliputi dan Ketua Bamus menyatakan keberatan dan penolakan sertifkasi tanah ulayat dengan alasan-alasan di atas.
“Sesampai di Padang, kami sampaikan masalah di lapangan dan menyarankan agar sertifikasi ditunda dulu, karena belum jelas dampaknya bagi nagari,” kata Ismail Datuak Siomoa Palawan saat diwawancara di kesempatan berbeda.
Selain Sutan Maliputi dan Ketua Bamus, workshop di Padang itu juga diikuti oleh Wali Nagari, Ketua LPM, dan pengurus KAN Sungai Kamuyang versi Mubeslub yang legalitasnya belum jelas, termasuk Ketua Kan versi Mubeslub Irmaizar Datuak Rajo Mangkuto.
Keberatan itu diterima oleh perwakilan Kementrian ATR/BTN yang ikuti workshop melalui Zoom. Menurut Sutan Maliputi, pihak kementrian mengatakan akan menunda dulu pembahasan terkait sertifikasi. Sutan Maliputi, Ketua LPM, dan Ketua Bamus pun kembali ke Sungai Kamuyang membawa berita baik pada warga,
Tapi sebagian rombongan lainnya, yaitu Walinagari dan pengurus KAN Sungai Kamuyang versi Mubeslub, tidak ikut kembali ke Sungai Kamuyang. Mereka tetap di Padang. “Katanya beliau-beliau itu masih ada urusan penting,” kata Sutan Maliputi.
Dan beberapa waktu kemudian terbitlah sertifikasi HPL untuk bagian lain tanah ulayat nagari Sungai Kamuyang yang dikenal sebagai ulayat Baliang setelah Ketua KAN versi Mubeslub Irmaizar Datuak Rajo Mangkuto mengajukan permohonan sertifikasi HPL Ulayat ke Kementerian ATR/Kepala BPN pada 7 September 2023—beberapa hari setelah workhsop dan ‘urusan penting’ di Padang.
“Seperti terkicuh di yang terang kita,” kata A Datuak Mogek Mangkuto yang terkejut dengan terbitnya HPL Ulayat secara tiba-tiba itu. Padahal, niniak mamak yang terlibat dalam Tim Pendamping Pelaksanaan Pemasangan Tanda Batas Pilot Project Tindak Lanjut Data Tanah Ulayat Nagari Sungai Kamuyang seperti dirinya, lebih berharap ulayat Nagari cukup terdaftar di BPN, tidak perlu disertifikasi.
Itulah yang dicemaskan Sukri, Raudatul, Yasril, sebagian kecil petani tak bertanah di Sungai Kamuyang dan 200-an petani penggarap ulayat nagari seluas 66 hektar itu. Jika mereka tidak menolak dan menggugat HPL Ulayat di Baliang, mereka menganggap hal yang sama bisa terjadi atas lahan yang kini mereka garap dan telah beri banyak manfaat.
Kini mereka merasa akan dipisahkan lagi dari tanah garapannya lewat HPL Ulayat. Mereka telah pernah dipisahkan dari tanahnya, merasakan langsung janji-janji kosong ‘invenstasi’, merebutnya kembali dengan gagah berani, dan akan tetap mempertahankannya.
“Kita tak butuh HPL, jangan mau jadi buruh di negeri sendiri, seperti kami dulu,” kata Yasril mengakhiri obrolan untuk bersiap-siap berangkat Jumatan ke mesjid. SSC/RAN