Dilema PDI-Perjuangan

-

Sabtu, 04/11/2023 12:47 WIB
tawa-ceria-jokowi-mega-di-rakernas-pdip_169

tawa-ceria-jokowi-mega-di-rakernas-pdip_169

OLEH Elvi Zein (Pengamat Sosial)

Diam! Itulah sikap yang diambil PDI-P-Megawati terhadap 'konfliknya' dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak atau belum ada hukuman (baca pemecatan) terhadap Jokowi dan Gibran. PDI-P sangat berhitung dan hati-hati dalam mengambil keputusan ini dan ‘diam’ adalah keputusan terbaik yang diambil PDI-P, sekurang-kurangnya untuk sementara waktu. 

PDIP lebih memilih wait and see, tunggu dan lihat, menunggu perkembangan selanjutnya dan pada waktunya mengambil keputusan yang tepat. Memecat Jokowi dan Gibran sangat berisiko bagi partai kaum marhaen dan wong cilik ini. PDI-P akan kehilangan banyak pendukung, yang akan lari ke Prabowo-Gibran; capres-cawapres yang didukung Jokowi. 

Di samping itu PDI-P belajar dari pengalaman sejarah ketika dulu Taufik Kiemas membully SBY. SBY mendapat simpati masyarakat dan akhirnya terpilih menjadi Presiden mengalahkan Megawati pada Pilpres 2004. PDI-P tak ingin hal itu terulang kembali apalagi Jokowi punya pendukung/relawan yang sangat banyak. 

Biasanya PDI-P sangat tegas dalam menjalankan disiplin partai. Banyak tokoh-tokoh terkenal PDI-P yang melanggar aturan organisasi dan atau mengkritik partai (kepemimpinan Megawati) dipecat atau mengundurkan diri. 

Dalam penegakan aturan organisasi, PDI-P pernah mencopot Murad Ismail, Gubernur Maluku pada Mei 2023 dari jabatannya sebagai Ketua DPD PDIP Maluku karena istrinya, Widya Pratiwi, pindah ke PAN. Juga I Made Gianyar, mantan Bupati Bangli, didepak dari PDI-P karena mendukung adiknya, I Made Subrata, yang maju sebagai calon Bupati Bangli dari Partai Golkar. Mundjirin, mantan Bupati Semarang juga dipecat karena mendukung istrinya, Bintang Narsasi yang maju pada pilkada Semarang tahun 2020 dari partai lain.

Kritik dan pembangkangan kader-Kader top PDI-P atas kepemimpinan Megawati yang feodal, tidak demokratis dan tersentralisasi pada dirinya, juga pernah terjadi. 

Eros Djarot mencalonkan diri sebagai Ketua Umum dalam Kongres I PDIP di Semarang pada 2000. Eros gagal dan akhirnya keluar dari PDIP. Dimyati Hartono yang juga gagal menjadi Ketua Umum PDI-P akhirnya juga mengundurkan diri. 

Pada Kongres II 2005 di Nusa Dua Bali, gerakan pembangkangan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat Megawati; Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis. Mereka mengevaluasi kekalahan beruntun PDI-P di pileg, pilpres dan pemilihan pimpinan MPR/DPR pada 2004. 

Mereka juga mengkritik cara gaya lama PDI-P berdemokrasi, yakni pemberian hak prerogatif yang bersifat mutlak kepada Ketua Umum dan penerapan sistem Calon tunggal. Ikut dipecat pada Kongres II itu Arifin Panogoro, Sukowaluyo Mintohardjo, Noviantika Nasution, Pius Lustrilanang, Postdam Hutasoit, Angelina Pattiasina, Didi Supriyanto, Peter Sutanto, Sophan Sophiaan dan Tjandra Widjaya. 

***

#Kaesang Pangarep masuk ke PSI dan dua hari kemudian menjadi ketum partai anak muda itu. Ini adalah pelanggaran berat terhadap AD/ART PDI-P, yang menyebutkan bahwa dalam satu keluarga harus sama partainya, PDI-P. 

#Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, kader PDI-P, menjadi Cawapres Prabowo Subianto. Padahal PDI-P secara resmi telah mencalonkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menjadi pasangan capres cawapres. Penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo sangat menampar muka Megawati. 

Megawati yang sangat 'dikultuskan' kader-kader PDI-P, justru dipermalukan oleh Jokowi. Jokowi menggunakan pengaruh kekuasaannya lewat 'Mahkamah Keluarga' untuk menggolkan putranya Gibran Rakabuming agar bisa “nyawapres”. Walau Megawati masih diam, belum mengambil keputusan resmi atas pelanggaran disiplin organisasi dilakukan Jokowi dan Gibran, tetapi tokoh-tokoh vokal partai itu sudah banyak yang mengkritik bahkan mencela langkah Jokowi tersebut. 

Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu dan bahkan Hasto Kristianto, sang Sekjen ; adalah beberapa tokoh PDI-P yang mencela keputusan MK tersebut. Di rapat DPR Masinton bahkan mengusulkan Hak Angket DPR terhadap MK.*



BACA JUGA