Warung Indonesia di Korea Foto alowisata.com
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Kota Ansan terletak ke arah selatan Kota Seoul. Perjalanan dari Seoul ke Ansan sekitar satu setengah jam. Hampir sepertiga penghuni kota ini adalah pekerja asing; Uzbekhistan, Vietnam, Pakistan, Bangladesh, Philipina, Rusia, China, dan Indonesia.
Restoran dengan menu mancanegara bertebaran hingga sudut kota, melayani selera penghuninya yang beraneka rasa. Toko-toko ditempeli iklan dan pengumuman dalam aksara Latin, Vietnam, Bangla, China, Rusia, Thailand, dan Hangeoul. Sekeliling Kota Ansan terdapat pabrik dan bengkel. Sejak dari pabrik plastik, spare-part mobil, olahan karet, hingga elektronik.
Pertumbuhan ekonomi Korea pada tahun 2008, menurut KBS, situs radio milik pemerintah, mengalami pertumbuhan 3,7 persen. Pertumbuhan demikian tentu saja membutuhkan banyak tenaga kerja. Maka tenaga kerja asing pun mengalir dari Bangladesh, Thailand, Vietnam, Philipina, Pakistan, Uzbekhistan, dan Indonesia.
Gaji pekerja di Korea memang menggiurkan. Pada tahun 2022, UMR Korea sebesar Rp23 juta belum termasuk gaji untuk kerja lembur. Umumnya, para pekerja Indonesia mengambil kesempatan kerja lembur ini. Setiap bulan rata-rata mereka bisa menerima gaji hampir tiga puluh juta rupiah.
Jumlah tenaga kerja Indonesia di Korea Selatan pada tahun 2018 sekitar 33.566 orang, menurut data kedutaan Indonesia. Orang-orang itu bekerja di pabrik, perkebunan, bengkel, hingga usaha perikanan.
Perjalanan ke Ansan sekitar dua jam dari tempat saya tinggal, baik menumpang bus dari Kota Yongin atau naik subway dari Seoul. Ke kota itulah saya suka berkunjung pada hari libur. Selain bisa bertemu warga Indonesia, juga bisa menyantap masakan Indonesia. Ada masakan padang, jawa, dan lombok. Gado-gado dan lontong sayur yang enak ada di restoran dekat pertigaan pasar. Ayam taliwang dengan sambal yang mantap terdapat di restoran yang terletak di gang agak ke dalam. Tapi menu favorit pekerja Indonesia adalah bakso. Di restoran Bakso Bejo, yang terletak di kiri jalan keluar stasiun Ansan. Bakso dihidangkan dalam mangkok besar. Semangkok bakso beserta segelas minuman harganya sekitar dua ratus ribu rupiah. Harga standar untuk makanan restoran di Korea.
Sebuah masjid dengan bangunan beton bercat putih, tiga lantai dan memiliki kubah besar berdiri agak di luar pasar. Nama resminya Masjid Sirathol Mustaqim tapi lebih dikenal dengan masjid IPB, akronim dari negara asal pekerja yang membangunnya; Indonesia, Pakistan dan Bangladesh. Masjid ini ada dua orang yang bertugas bergantian. Satu dari Pakistan atau Bangladesh, satunya lagi dari Indonesia.
Pada 2018-2019, yang diundang menjadi imam di sini adalah Ustad Faisal Kunhi, M.A, alumnus Gontor dan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tak jauh dari pasar, di sebuah komplek perumahan di belakang deretan restoran, terdapat markas pekerja asal Indonesia. Markas itu terletak di lantai tiga berupa kamar ukuran tiga kali empat, lengkap dengan dapur dan kamar mandi. Di kamar beralas karpet tebal itulah pekerja asal Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Barat biasanya berkumpul saat akhir pekan dan hari libur.
Di sinilah saya bertemu urang awak; Yogi Pratama asal Padang dan Toni Raisman asal Pariaman. Yogi Pratama telah bekerja di Korea selama lima tahun. Tamat SMA di kampungnya, ia masuk kursus bahasa Korea di sebuah lembaga kursus di Depok. Setelah tiga bulan, ia ikut seleksi untuk berangkat kerja keluar negeri dan lulus.
Toni lebih beruntung karena ia tidak perlu membayar untuk kursus bahasa Korea ke tempat lain. “Ada sepupu yang pernah bekerja di Korea,” ujarnya. “Jadi saya belajar bahasa Korea saja pada dia.”
Toni adalah chef andalan di markas ini. Ia mahir memasak dari bahan dan bumbu yang terbatas di Korea. Masakan rendangnya paling top, mampu melepaskan kerinduan pada aroma dan rasa masakan padang sesungguhnya.
Kemampuan berbahasa Korea memberikan banyak kemudahan. Begitulah pengalaman Deden, pemuda asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Di papan pengumuman SMK tempat ia belajar, anak muda itu membaca kesempatan kuliah ke Korea. Salah satu syaratnya, bisa berbahasa Korea. Maka Deden mempelajari bahasa Korea di sebuah tempat kursus. Tamat sekolah, ia mengikuti tes, lulus, dan bisa kuliah gratis.
Universitas tempat Deden kuliah, yang terletak di Yongin, memberikan fasilitas menarik bagi mahasiswa asing: bisa tinggal gratis di asrama kampus jika bisa berbahasa Korea dengan baik. Lagi-lagi Deden lolos seleksi dan berhak tinggal di asrama tanpa bayar. Bagaimana dengan biaya hidup? Deden bekerja part time di toko, restoran hingga melayani servis komputer.
“Kerja apa saja, asalkan bisa dapat uang untuk biaya hidup sehari-hari,” ujarnya.
Hasil kerja part time itu ternyata lebih dari cukup. Ia bahkan bisa mengirim oleh-oleh untuk adik-adiknya di kampung. (ivan adilla)