OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Angin barat awal Desember berhembus mengabarkan musim gugur yang segera berakhir. Musim gugur telah mengubah daun yang semula hijau menjadi coklat kering. Angin dingin membuat dedaunan meluruh, menyisakan julangan dahan dan ranting yang meranggas. Hutan kini dipenuhi pohonan botak tanpa daun, layaknya kepala bocah sehabis dicukur licin. Penduduk Korea menyiapkan diri menanti datangnya musim dingin.
Supermarket memajang barang model terbaru untuk kebutuhan musim dingin; penghangat ruangan, baju tebal, sarung tangan, sepatu, penutup telinga, hingga jaket bulu angsa. Juga peralatan untuk ski dan skateboard.
Toko-toko kebutuhan harian menumpuk karung-karung besar daun sawi dan bawang putih, dua bahan utama untuk membuat kimchi, sayuran sepanjang musim dingin. Sayuran fermentasi itu dipercaya mengandung banyak protein yang dibutuhkan tubuh. Tentu juga menghangatkan, terutama bila dimakan bersama bersama soju.
Musim dingin adalah musim yang paling menyiksa bagi orang Korea. Tak banyak ada yang bisa dilakukan pada musim itu. Berladang tak bisa, ke sawah tak mungkin, bepergian pun tak leluasa. Tak ada tumbuhan yang bisa hidup sepanjang musim dingin dengan suhu minus sepuluh hingga dua puluh derajat Celcius. Orang lebih suka tinggal di rumah dengan penghangat ruangan.
Tapi makhluk dari daerah tropis seperti saya malah menunggu musim dingin itu layaknya anak muda Indonesia lagi menyongsong artis Korea; bersorak riang dan penuh semangat. Salju pertama turun saat sore hari. Begitu salju pertama turun, saya segera menuju halaman asrama untuk menyambut sosok tipis lembut, bagaikan kapas yang ditumpahkan dari langit. Berdiri sambil tengadah dan mengangkat tangan untuk menikmati suhu dingin yang menyentuh lengan, wajah, hingga leher. Dinginnya salju merayapi tubuh, bahkan pori di sekujur tubuh.
Salju menutupi apa saja yang ada di ruang terbuka; genting, rumputan, pohon dan tanah. Jalanan memutih ditutupi salju. Begitu juga pohon cemara yang tumbuh di taman asrama. Di ujung ranting cemara, lelehan salju menjuntai kaku. Menjelang senja, tumpukan salju menebal.
Saya mencomot dan mengepalkannya menjadi gumpalan-gumpalan kecil. Gumpalan bola salju yang berwarna putih itu kemudian saya susun di atas bangku kayu di tengah taman. Senja itu, hanya bangku dan boneka salju yang ada di halaman asrama.
Burung-burung telah bermigrasi ke wilayah selatan yang lebih hangat. Kampus lengang. Mahasiswa pulag ke kampung masing-masing, atau bertualang ke negeri asing mengisi libur musim dingin. Minimarket dan kedai minuman sepi tanpa pembeli. Asrama mahasiswa kosong melompong. Bila malam, kamar-kamar gelap tanpa penerangan dan bangunan bertingkat itu terlihat bagai rumah hantu.
“Bapak, ayo kita beli pakaian dan keperluan lain untuk persiapan musim dingin…,” ujar Bu Song, suatu siang.
Saya dan Pak Heru kemudian menuju toko pakaian langganan Bu Song.
“Saya sudah telepon tokonya. Katanya hari ini masih ada diskon,” ujar Bu Song sambil menyetir.
Di toko pakaian itu saya membeli semua kebutuhan pakaian untuk musim dingin; sejak dari sepatu, baju dan celana panjang tipis yang hangat, celana panjang tebal dari bahan campuran kapas dan karet yang tahan air, sarung tangan tebal, penutup telinga, dan topi.
“Bapak, kenapa tidak beli jaket?” tanya Bu Song.
“Saya punya jaket tebal dari Indonesia,” jawab saya.
“Oh, itu tidak cukup. Bapak harus punya jaket bulu angsa atau bebek. Jaket biasa tak bisa menahan dingin.”
Akhirnya saya membeli sebuah jaket dari bahan bulu angsa. Untung sekali Bu Song memaksa saya membeli jaket itu. Kalau tidak, saya tentunya akan merana sepanjang musim dingin. Bu Song juga menemani saya dan Pak Heru membeli penghangat ruangan, bahan dan bumbu makanan, hingga pakaian khusus musim dingin ke sebuah supermarket. Semua kebutuhan harian harus disiapkan agar pada musim dingin tak perlu terlalu sering keluar rumah.
Suhu berkisar antara minus sepuluh sampai dua puluh derajat Celcius pada musim dingin. Jauh lebih dingin dari freezer di kulkas. Seluruh pintu dan jendela harus ditutup rapat sedangkan pemanas ruangan selalu dihidupkan. Jika salju turun pada malam sebelumnya, kita harus ekstra hati-hati bila keluar rumah.
Salju yang telah bermalam itu akan mengeras. Jalanan pun berubah layaknya balok es yang dingin, licin, dan keras. Jika saja sempat terpeleset, tak ada apa pun yang bisa digunakan untuk berpegangan. Banyak orang yang terkilir, patah, bahkan meninggal karena terjatuh di jalanan salju yang keras itu.
Saat keluar rumah, kita harus memakai tiga-empat lapis pakaian sekaligus; celana dan baju dalam panjang-tipis berbahan linen, kemeja, jas dan celana tebal, serta mantel bulu tebal. Tak ketinggalan penutup telinga dan hidung. Dalam pakaian lengkap itu, tampilan saya tak ubahnya astronot yang lagi berjalan-jalan di planet Bumi. (ivan adilla)