Kasoema, Dipenjara Tanpa Diadili Semasa Indonesia Merdeka

-

Selasa, 26/09/2023 07:58 WIB
teskasomena

teskasomena

NAMA KASOEMA sangat identik dengan Harian Haluan karena memang dialah yang yang mendirikan surat kabar itu akhir tahun 1948. Sempat dilarang terbit selama 10 tahun saat Pergolakan Daerah Pemerintahan Re­volu­sioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958. Pada tahun 1969, Haluan terbit kembali dan ber­tahan hingga sekarang seba­gai salah satu koran tertua di Indonesia.

Kasoema merupakan seorang wartawan yang menjalani kariernya dalam masa tiga zaman: zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman Indonesia merdeka. Tapi justru di zaman Indonesia merdeka inilah ia dipenjarakan oleh pemerintah negaranya sendiri. Ironis memang!

Sepanjang hidup­nya, sejak mulai mendi­rikan, hingga ia meninggal, Kasoema mengabdikan dirinya untuk memimpin dan membesarkan Haluan.

Kasoema adalah putra Talu, Pasaman, tapi lahir di Pangkalan Berandan, Sumatra Utara, 2 September 1911, dan me­ninggal di Padang pada 23 Maret 2001, menjelang usia 90 tahun. Masa kecilnya dijalani di Kota Medan. Mena­matkan HIS dan MULO (setingkat SMP zaman Belanda), ia memulai karier jurna­listiknya juga di kota itu.

Dikisahkan oleh Soebagjo I.N. dalam buku Jagat Wartawan Indonesia (1981), pada masa pra-perang, Kota Medan merupakan kota kedua di Indonesia, setelah Jakarta, dalam hal jumlah penerbitan surat kabar dan majalah. Berbagai surat kabar bahasa Indonesia, Belanda, Tionghoa Melayu, majalah mingguan baik yang bersifat umum populer maupun yang berasaskan keagamaan, hingga tengah bulanan yang sering dinamakan “roman picisan”, terbit di kota tersebut.

Selain surat kabar Belanda, menjelang datangnya Jepang ke Indonesia (1942) di Medan terdapat tiga buah surat kabar harian, yaitu  Pewarta Deli pimpinan Adinegoro, Sinar Deli di bawah asuhan Mangaradja Ihutan dan Hassan Noel Arifin, dan yang ketiga ialah Pelita Andalas di bawah pimpinan Kasoema.

Pelita Andalas mula-mula adalalah sebuah surat kabar Tionghoa Melayu dan waktu itu dipimpin oleh seorang Belanda bernama J. Koning. Kasoema melamar menjadi korektor di surat kabar tersebut. Karena ketekunannya, Kasoema mendapat kepercayaan dari pimpinan dan kemudian diberi tugas untuk menyalin berita-berita dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia (Melayu). Dari tukang menyalin berita ia dinaikkan menjadi redaktur penuh dan barang tentu hal ini menyebabkan dirinya bertambah gairah lagi dalam menjalankan tugas kewartawanannya.

Sementara itu, Pimpinan Redaksi Pelita Andalas mengalami perubahan. Tuan J. Koning digantikan oleh Yap Gim Sek, bekas Pemimpin Redaksi Sinar Soematera yang terbit di Padang. Kemudian Yap Gim Sek digantikan lagi oleh Tengku Hasjim. Setelah Tengku Hasjim wafat, pada tahun 1940, Kasoema ditetapkan sebagai Pemimpin Redaksi Pelita Andalas tersebut. Ini tentu suatu prestasi yang cukup mengesankan. Dari seorang korektor dalam waktu singkat dia sudah menjadi pemimpin redaksi.

Setelah Jepang masuk, sebagaimana halnya di daerah-daerah yang diduduki, demikian pula di Sumatra khususnya di Medan, Jepang melarang semua penerbitan swasta. Maka ketiga surat kabar di Medan, termasuk Pelita Andalas, sebulan setelah Jepang berkuasa, dihentikan penerbitannya. Sebagai gantinya Jepang menerbitkan satu surat kabar saja yang diberi nama Sumatora Shimbun yang dipimpin Djamaluddin Adinegoro.

Pada masa itu, Kasoema juga pernah menjadi Ketua Badan Penerbit As Syura yang menerbitkan mingguan Islam Pedoman Masjarakat. Ketua Redaksinya ialah Hamka, dan redaksinya Mohammad Yunan Nasution. Pedoman Masjarakat waktu itu merupakan salah satu mingguan Islam yang besar di Tanah Air, di samping Pandji Islam (Medan) yang dipimpin Zainal Abidin Ahmad, dan Adil (Solo) di bawah pimpinan Soerono.

Setelah Pelita Andalas dimatikan Jepang, Kasoema lalu terpaksa mening­galkan pers tulis. Ia berpindah-pindah pekerjaan meskipun masih dalam bidang komunikasi massa. Pada masa Jepang itu dia bekerja pada Pusat Pemancar Radio Jepang yang kala itu disebut Chuo Hoosookyoku, berkedudukan di Bukittinggi, pusat Pemerintahan Jepang di Sumatra.

Segera setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, untuk beberapa bulan lamanya Kasoema memimpin pemancar RRI bekas peninggalan Jepang itu di Bukittinggi. Tak lama kemudian, Kasoema lalu dipindahkan ke Pematang Siantar selaku Wakil Kepala Pusat Peredaran Film Indonesia Provinsi Sumatra yang operasinya di bawah Kementerian Penerangan.

Setelah Pematang Siantar diduduki Belanda pada waktu agresi Belanda yang pertama, para pegawai RRI lalu pindah dari Pematang Siantar ke Bukittinggi yang waktu itu menjadi ibu kota Provinsi Sumatra yang baru. Kasoema pun kembali ke Bukittinggi.

Dalam Agresi Belanda yang kedua, Bukittinggi berhasil diduduki Belanda. Para pegawai negeri yang sejak semula memang tidak bersedia kerja sama dengan Belanda pada waktu pendudukan terpaksa menjadi penganggur. Pada saat itulah, masih dalam bulan Desember 1948, dengan hanya bermodalkan kemauan yang keras serta pengalaman, Kasoema bersama-sama dengan Jahja Jacoeb (bekas kepala Jawatan Penerangan Provinsi Sumatra), Adaham Hasibuan (bekas Wakil Kepala Japensum), Amarullah Ombak Loebis (bekas kepala perwakilan Antara Sumatra), mendirikan surat kabar di daerah pendudukan Belanda di Bukittinggi. Surat kabar itu diberi nama Haluan.

Dalam suasana revolusi, terbitnya Haluan di Bukittinggi yang diduduki musuh, niscaya mengundang rasa curiga dari pihak kaum Republikein sendiri. Posisi koran ini serba salah. Oleh Belanda disangka salah satu alat subversi, sedang oleh kawan sendiri disangka sebagai alat musuh. Tetapi, di samping kesulitan politis dan psikologis tersebut, Haluan yang masih muda itu menghadapi kesulitan lain, yaitu kertas koran yang dapat dibeli di pasaran bebas, akhirnya habis sama sekali. Akibatnya fatal karena tidak ada kertas koran, maka Haluan sebagai pembawa suara kaum Republikein di kota pendudukan Belanda itu terpaksa berhenti terbit.

Berhentinya Haluan terbit di Bukittinggi, bukannya berarti berhentinya semangat para pengasuhnya, termasuk Kasoema. Pada 1 September 1949 surat kabar tersebut hijrah dari Bukittinggi ke Padang. Dapat pasokan kertas lagi, koran yang mula-mula terbitnya masih belum teratur akhirnya berhasil juga menjadi surat kabar terbit teratur tiap hari. Setelah penyerahan kedaulatan dan suasana politik sudah stabil, Haluan cepat berkembang. Oplahnya terus meningkat karena digemari oleh para pembacanya.

Namun dalam perjuangan apapun, termasuk membangun surat kabar, selalu ada tantangan dan masa pasang surut (up and down). Begitu pula yang dialami Haluan. Pada masa pergolakan PRRI, surat kabar ini diperintahkan ditutup oleh Komandan Operasi 17 Agustus, karena dianggap mendukung PRRI. Haluan dilarang terbit, sedangkan percetakan serta harta kekayaannya disita oleh penguasa. Bukan hanya itu, selama masa pergolakan daerah tersebut, empat orang wartawannya ditembak mati oleh pasukan APRI yang disebut Tentara Pusat. Mereka adalah Darwis Abbas (Ketua Redaksi), Tengku Alang Jahja (Wakil Ketua Redaksi), Sjofjan Manan (Redaktur) dan Sjafril Dja’far (wartawannya di Bukittinggi). Sedangkan seorang wartawan muda, Annas Lubuk, ditahan dalam penjara kemudian dipindahkan ke Ambarawa.

Kasoema sendiri sebagai Pemimpin Umum Haluan juga ditangkap dan ditahan oleh Pasukan APRI sebagai penguasa perang daerah. Setelah ditahan selama 9 bulan di penjara Muaro, Padang, lalu dipindahkan ke Ambarawa. Hampir dua tahun lamanya dia disekap di penjara tersebut, baru kemudian dipindahkan lagi ke Rumah Tahanan Militer di Jakarta. Baru pada tahun 1962, atas putusan Penguasa Perang Tertinggi, Kasoema dibebaskan di Jakarta.

Setelah keluar dari penjara Orde Lama, tanpa pernah diadili, Kasoema menghitung-hitung nasibnya. Sebagaimana ditulis dalam buku Jagat Wartawan Indonesia, tiga zaman dia menjadi wartawan: zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman Indonesia merdeka, justru di zaman merdeka inilah ia dipenjarakan oleh pemerintah negaranya sendiri. Ironis memang!

Pulang ke Padang, Kasoema tidak bisa segera kembali menerbitkan Haluan. Selain soal izin, seluruh peralatan cetak dan kekayaan Haluan masih ditahan penguasa militer. Baru pada tahun 1969, atas bantuan Panglima Kodam III Jenderal Widodo, percetakan Haluan yang disita tahun 1958, dikembalikan kepadanya. Surat Izin Terbit (SIT) pun diperoleh kembali, dengan catatan (tak tertulis) nama-nama yang mengelola Haluan lama tidak boleh tercantum dalam daftar pengasuh baru, termasuk nama Kasoema sendiri harus disimpan dulu.

Dapat lampu hijau, Kasoema segera menyusun “pasukan” baru. Sebagai pemimpin redaksi diangkat Chairul Harun, seorang wartawan muda yang bisa diterima oleh pihak Kodam. Maka dengan wajah-wajah baru, seperti Leon Agusta, M. Joesfik Helmy, Syafri Segeh dan Rusli Marzuki Saria, Harian Haluan terbit kembali sejak 1 Mei 1969. Nama Kasoema sebagai pemimpin umum baru kembali muncul sejak tahun 1970-an, setelah Pemimpin Redaksi beralih kepada Rivai Marlaut, teman seperjuangannya di awal pendirian Haluan dulu.

Terbit kembali untuk ketiga kalinya, surat kabar Haluan segera mendapat sambutan masyarakat Sumatra Barat hingga Riau, Jambi dan Bengkulu. Hingga tahun 1990-an, Haluan merupakan salah satu surat kabar terbesar di kawasan Sumatra Tengah.

Kasoema terus memimpin Haluan hingga akhir hayatnya. Di usia lebih 80 tahun, ia tetap masuk kantor secara teratur setiap hari kerja. Cuma hanya setengah dari jam kerja normal. Kasoema, wartawan tiga zaman, meninggal di Padang pada Jumat malam 23 Maret 2001.

Bersamaan dengan kepergian Kasoema, Harian Haluan agak sedikit meredup. Generasi kedua yang mengendalikan surat kabar tertua di Sumatra Tengah ini, kemudian memutuskan menyerahkan pengelolaan Haluan kepada manajemen baru yang dipimpin Basrizal Koto, seorang pengusaha yang juga memiliki beberapa media di Pekanbaru dan Batam pada tahun 2010.

Meskipun berada di bawah pemilik baru sejak bulan Oktober 2010, namun manajemen di bawah Haluan Media Group, tetap mencan­tumkan nama H. Kasoema di boks redaksinya, sebagai pendiri surat kabar bersejarah ini. Seorang wartawan tidak pernah mengenal pensiun tapi bisa mati. Namun dengan penghargaan dari pengelola baru Haluan, nama Kasoema tetap abadi di koran yang didirikannya itu. (Hasril Chaniago dan Nasrul Azwar)

Disadur dari buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)



BACA JUGA