
Inilah ruas jalan Lintas Tengah Sumatra yang dikerjakan para pekerja dari Korea. Era tahun 1970-an tenaga kerja (buruh) cukup banyak diperkerjakan di Indonesia. Foto liputan6.com
OLEH Ivan Adilla (Dosen Sastra Indonesia, FIB Unand)
Para lelaki merantau untuk menjadi buruh tambang di Jerman dan Inggris. Tidak hanya di benua Eropa, pekerja Korea juga menghuni bedeng-bedeng sederhana di tengah hutan lebat Sumatra. Para pekerja itu didatangkan oleh perusahaan konstruksi yang menebas belukar untuk membangun jalan Lintas Tengah Sumatra yang membelah hutan lebat di sepanjang Bukit Barisan.
Di kota Bangko, Provinsi Jambi, hingga kini ada ruas jalan yang dikenal dengan nama jalan Korea, karena dulu dikerjakan oleh kontraktor dan pekerja dari negeri itu. Perusahaan kontruksi Korea juga mengerjakan proyek-proyek di Timur Tengah yang sedang menikmati boom minyak bumi. Kim Ajusi adalah bagian dari tenaga kerja Korea yang berjuang di wilayah gurun pasir Arab Saudi. Di sana ia berprofesi sebagai sopir alat berat; excavator, bulldozer dan crane.
Roda berputar, musim pun beralih. Empat puluh tahun kemudian, kita menyaksikan kenyataan yang ironis: ribuan orang Indonesia berbondong-bondong bekerja ke Korea untuk memperoleh gaji yang lebih baik. Bagi yang tak bisa mengunjungi Korea, harus puas dengan menyanyikan lagu atau bergaya layaknya artis Korea.
Menyenangkankah di Arab Saudi, Paman Kim?
“Ooo, tidak! Tidak…” jawabnya.
“Kenapa?” tanya saya lagi.
“Tak ada wanita dan alkohol di Saudi, hahaha…” jelasnya sambil terbahak.
Empat puluh tahun yang lalu Kim Ajusi seorang suami dengan gelora muda. Lelaki perkasa itu harus berpisah dari istrinya, yang merawat dua anak mereka, dalam jarak ribuan kilometer untuk hidup. Saya bisa membayangkan pahitnya kerinduan yang harus ditanggungkan Kim muda dalam kepungan belantara padang pasir. Dadanya sesak dan tubuhnya menggigil saat angin gurun mengirimkan aroma tubuh wanita yang merindukannya.
Pada masa itu, di Arab Saudi berbagai aturan untuk wanita masih amat ketat. Hampir mustahil kita menyaksikan wanita muda berjalan di luar rumah tanpa muhrim. Bila keluar rumah, mereka akan menutup tubuh dengan burdah panjang berwarna gelap, dilengkapi dengan jilbab besar yang menutup hingga ke bagian dada.
Apa yang mungkin dilakukan Kim Ajusi pada wanita yang ditutupi cadar itu? Yang jelas, Kim muda tentu tak akan bisa menyentuhnya. Paling-paling hanya bisa membayangkan sosok tubuh semampai berkulit kuning yang bergerak gemulai di balik cadar itu. Mereka-reka gerakan dan aroma tubuh wanita di balik abaya itu justru membuat jarak Saudi– Seoul terasa bagai dua kali lingkar Bumi.
Bagaimana soal minuman beralkohol? Ini adalah kebutuhan harian yang tak mungkin didapat dengan mudah. Di Korea, jenis minuman itu tersedia di mana-mana. Minuman beralkohol dijual di kedai, minimarket, hingga restoran. Alkohol bagi orang Korea layaknya kopi bagi orang Minang, atau tuak bagi orang Batak. Tanpa kopi, pikiran bagai mati dan dunia seakan berhenti. Tanpa tuak, suara jadi serak dan nada bakal kehilangan jiwa. Setidaknya, begitulah menurut pencandunya.
Minuman beralkohol paling digemari di Korea adalah soju, minuman bening yang dibuat dari beras ketan dan ragi. Ya, rasanya manis seperti air tapai. Kadar alkoholnya antara 16-25 persen. Botol dengan tutup warna merah untuk kadar alkohol yang tinggi, dan warna hijau untuk yang lebih rendah. Jenis minuman beralkohol lainnya adalah makgeolli, cairan putih mirip susu encer karena kebanyakan air. Rasanya lebih manis daripada soju karena dalam proses produksinya dicampur dengan gula.
Kedua jenis minuman itu lazimnya dicampur untuk mendapatkan rasa yang lebih nikmat. Namun anak muda Korea justru lebih suka mencampur soju dengan bir asal Indonesia.
“Lebih enak, harum, dan membuat kita lebih cepat melayang…” ujar Jy-llo, sahabat saya, mahasiswi semester akhir yang di kalangan teman-temannya dikenal sebagai peminum kelas berat.
Kita dengan mudah menyaksikan kelompok pengunjung warung atau restoran duduk mengobrol dengan posisi mengitari meja yang dipenuhi botol soju. Saat hari libur Chuesok atau Imlek, anggota keluarga dewasa—lelaki dan wanita—akan berkumpul bersama untuk menikmati soju, bir dan makgeolli sambil bermain kartu sambil sampai pagi.
Soju dan makgeolli juga menjadi menu wajib dalam acara-acara kampus. Sejak dari pengenalan mahasiswa baru, penutupan semester hingga jamuan sehabis seminar ilmiah. Jika diingat betapa lekatnya alkohol dalam kegiatan hidup masyarakat Korea bisalah dibayangkan kerasnya derita yang harus ditanggung Kim Ajusi selama di Saudi. Jangan-jangan, benak Kim Ajusi jadi menggelegak tanpa cairan itu.
Apa boleh buat, meski kesepian tanpa wanita dan alkohol, toh Kim Ajusi bertahan selama enam tahun di negeri Arab. Uang gajinya disimpan dan dikirimkan untuk membiayai sekolah kedua anaknya yang masuk perguruan tinggi. Anak pertamanya berhasil menamatkan sarjana dengan nilai baik dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan hingga Ph.D di sebuah universitas di Amerika Serikat.
Kini anak pertamanya itu menjadi dosen dalam bidang teknologi informasi di sebuah unversitas di Seoul. Anak kedua memilih jurusan ekonomi dan menjalankan usaha sendiri.
Paman Kim kini tinggal bersama istrinya di sebuah komplek apartemn di Yongin-shi. Istrinya membuka toko obat kecil tak jauh komplek apartemen. Sedangkan Paman Kim menjadi sopir taksi.
“Setiap orang harus bertanggung jawab pada hidup mereka masing-masing,” jelas Kim Ajusi ketika saya bertanya kenapa ia masih bekerja dan tak tinggal bersama anaknya. (ivan adilla)