Gubernur Gyeonggi, Korea Selatan, Nam Kyung-pil memiliki kartu nama dengan menggunakan huruf Braille untuk tunanetra. Betapa pentingnya sebuah kartu nama itu di Korea Selatan > foto teguhtimur.com
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unand)
Pagi di bulan Mei. Kelas “Bahasa dan Media” yang saya ampu sedang berlangsung, ketika tiba-tiba terdengar ketokan di pintu. Ini hal yang tak biasa. Jadi saya bergegas membukanya. Beberapa mahasiswa senior minta izin masuk kelas untuk menyampaikan pengumuman penting. Begitu pengumuman dalam bahasa Korea itu disampaikan, mahasiswa bertepuk tangan.
“Bapak. Hari ini adalah hari guru di Korea. Kami akan mempersembahkan hadiah kecil untuk Bapak di hari istimewa ini,” ujar Won-Jae, mewakili teman temannya.
Saya diminta berdiri di depan kelas. Seorang mahasiswa senior kemudian menyematkan rangkaian bunga kecil di jas yang saya pakai. Setelah itu seluruh mahasiswa berdiri dan membungkukkan badan memberi hormat. Dengan canggung saya membalas penghormatan itu. Mahasiswa kembali duduk, sedangkan mahasiswa senior pamit ke luar kelas. Peringatan hari guru di kelas kami pun selesai.
Sampai di apartemen, karangan bunga kecil yang disematkan di jas itu, saya buka. Hadiah itu kemudian saya bingkai dengan kertas flano berwarna hijau muda dan ditempelkan di dinding kamar. Pada peringatan hari guru tahun berikutnya, selain mendapat karangan bunga kecil, saya juga mendapat ucapan selamat dari mahasiswa melalui surat yang ditulis tangan. Surat itu ditulis di atas kertas merah jambu dan dimasukkan ke dalam amplop bermotif bunga yang diberi pita kecil di pinggirnya. Mengingatkan saya pada surat cinta masa remaja.
Fungsi Kartu Nama
Minggu pertama bertugas, pegawai adminitrasi universitas menghubungi saya untuk mengkonfirmasi data pribadi yang akan dicantumkan di kartu nama. Seminggu kemudian, kartu nama—berwarna biru gelap dengan lambang universitas itu—selesai dicetak. Kartu nama itu menggunakan dua aksara sekaligus. Aksara Hangeoul untuk Bahasa Korea di satu sisi, dan aksara Latin untuk bahasa Inggris di sisi lainnya. Di kartu nama itu dicantumkan nama, jabatan, alamat, email, dan nomor telepon institusi.
Mula-mula menerima kartu nama itu, saya tak begitu paham apa fungsinya kartu itu bagi pengajar asing seperti saya. Maklumlah, ketika di Indonesia, saya jarang membuat dan membawa kartu nama. Di tempat asal saya, kartu nama merupakan kelengkapan untuk kalangan bisnis, bukan untuk dosen dan lingkungan akademik.
Akan tetapi, kartu nama yang diterbitkan universitas di Korea ternyata ampuh digunakan untuk banyak hal. Jika sedang berada di luar kampus dan perlu naik taksi untuk pulang, misalnya, saya cukup memberikan kartu nama itu untuk memberitahu alamat yang dituju. Sopir taksi segera saja membaca bagian yang bertuliskan aksara Hangeoul, mencari alamat melalui aplikasi dan menyetel panduan menuju alamat yang tertera. Manfaat lainnya, adalah sebagaimana pengalaman berikut ini.
Saya sedang mengikuti tabligh akbar yang berlangsung di kampus Jangan University di Hwaseong. (Ini nama universitas, bukan kata larangan untuk kuliah di sini). Pengunjung ramai sehingga aula univesitas penuh oleh peserta. Usai ceramah, seorang polisi yang bertugas untuk acara itu, ikut bergabung dan mendekati saya.
“Sudah lama di Korea?” tanya polisi itu ramah.
“Baru dua tahun,” jawab saya.
“Anda bekerja di mana?” tanyanya lagi.
“Saya bekerja di Mohyeon, Yongin… “ jawab saya sambil memberikan kartu nama berlogo universitas.
“Oh, Anda seorang professor? Maaf, Seonsaengnim…” Refleks saja polisi itu membungkukan badan menunjukkan rasa hormat. Saya pun membungkukkan badan untuk membalas penghormatan itu. Polisi muda itu kemudian memberikan kartu nama balasan, sambil berpesan agar menghubunginya jika perlu bantuan. Setelah itu ia pun berlalu ke arah lain.
Seorang jamaah memberitahu saya bahwa polisi Korea biasanya curiga jika ada orang asing yang berusia lanjut bekerja di negeri mereka. Usia maksimal pekerja asing adalah empat puluh tahun. Maka jika ada orang asing berambut putih bekerja di sana, akan dicurigai sebagai pekerja illegal yang telah overstay, habis masa izin tinggalnya.
“Makanya polisi itu mendekati Bapak…”, ujarnya. Untunglah saya membawa jimat ampuh berbentuk kartu nama itu.
Pasar Namdaemun di Seoul merupakan pasar tua yang menjadi pusat berbelanja oleh-oleh untuk pelancong. Di tempat itu saya bersahabat dengan seorang pedagang barang souvenir. Saya menyapanya Mr. Park, sesuai nama keluarganya. Sedangkan dia selalu memanggil saya Seonsaengnim, guru dalam bahasa Korea.
Jika saya berbelanja, Mr. Park selalu memberi diskon. Kadang potongan yang diberikan mencapai tiga puluh persen. Lumayan, kan? Lebih menyenangkan lagi, Mr. Park selalu menyediakan minuman botol yang dingin untuk saya.
“Apa kabar, Bapak?” sapa Mr. Park suatu kali dalam Bahasa Indonesia. Saya kaget mendengar Mr. Park bicara dalam bahasa Indonesia yang terpatah-patah. Biasanya kami selalu berkomunikasi dalam bahasa Inggeris.
“Kok, belajar Bahasa Indonesia?”, tanya saya heran.
“Karena saya punya teman professor dari Indonesia,” ujarnya tersenyum lebar dan tangan terbuka. Rupanya ia belajar Bahasa Indonesia secara privat pada seorang mahasiswa Korea yang bisa berbahasa Indonesia. Ditambah dari buku-buku untuk belajar bahasa asing yang diterbitkan pemerintah.
Beberapa tahun terakhir, jumlah wisatawan dari Indonesia dan Malaysia meningkat cukup tinggi. Di Namdaemun atau Myeongdong, dua pasar yang disukai turis asing, mudah terlihat wanita berjilbab yang bicara dalam bahasa Indonesia, Jawa, atau Melayu. Pelancong Melayu itu suka mengenakan topi lebar sambil menenteng tas-tas belanja besar yang dipenuhi aneka barang. Mr. Park dan pedagang lain di Namdaemun tampaknya sedang menyiapkan diri menyambut gelombang pasang wisatawan dari Asia Tenggara. Sayang sekali, tak lama kemudian pandemi melanda dunia. Sejak itu saya tak pernah lagi mengunjungi Mr. Park.
Begitu ajaibnya jabatan dosen dan kartu nama berlogo universitas di rantau orang, ada kerinduan dalam hati untuk memperoleh kartu nama di negeri sendiri. Tapi tampaknya kerinduan itu hanya sebatas angan. Meski telah bertugas hampir tiga puluh tahun, rasa-rasanya saya belum pernah dibuatkan kartu nama oleh universitas tempat saya mengajar. Jikapun ada yang mengenal profesi saya sebagai dosen, tentulah karena ia pernah bertemu saya di kampus. Atau dari menduga-duga, setelah melihat tampang saya yang makin hari semakin lelah dihimpit beban adminitrasi yang kian menumpuk bagi dosen di Indonesia. (ivan adilla)