Kang Dedi Mulyadi dan Saya 1980-an

Kamis, 08/05/2025 16:20 WIB
ejumlah siswa di Kota Bandung menggunakan sepeda ke sekolah. foto ANTARA/

ejumlah siswa di Kota Bandung menggunakan sepeda ke sekolah. foto ANTARA/

 

OLEH Wannofri Samry (Generasi Pejalan Kaki dan Pengamat Budaya)

KETIKA Kang Dedi Mulyadi (KDM) melarang pelajar membawa sepeda motor ke sekolah, lalu mendorong mereka untuk berjalan kaki atau bersepeda, berbagai video dan foto tersebar di media sosial dan YouTube. Para siswa tampak gembira.

Pemandangan ini mengingatkan saya pada masa remaja tahun 1980-an, ketika kami beramai-ramai berjalan kaki atau bersepeda belasan kilometer menuju sekolah.

Pengalaman itu tak sekadar kenangan masa sulit, tetapi juga romantis, merefleksikan semangat Indonesia tempo dulu—bahkan seperti di masa revolusi, ketika para pejuang menempuh ratusan kilometer dengan berjalan kaki, melintasi lembah, mendaki bukit, dan menerobos hutan belantara. Apa yang dilakukan KDM sesungguhnya adalah memberi pelajaran sejarah kepada generasi baru yang telah terbiasa dengan kenyamanan.

Generasi "anak papa dan mama" yang menerima segala hal secara instan—makanan, properti, teknologi. Cerita tentang perjuangan bangsa sering dianggap tak masuk akal oleh mereka. Namun dengan melarang kendaraan bermotor dan menggantinya dengan berjalan kaki serta bersepeda, KDM menyajikan sebuah replikasi sejarah. Ia memberikan metode pengajaran sejarah yang segar dan menyentuh, di tengah kebuntuan pendidikan sejarah konvensional.

Saya teringat awal tahun 1980-an, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saya bersekolah di SMP Akabiluru, Nagari Sarik Laweh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat—sekolah yang baru tiga tahun berdiri dan terletak di kawasan perbatasan yang lengang. Karena sistem rayon, saya tidak bisa masuk ke SMP yang berada di kota. Ayah saya mengajar di Payakumbuh, sementara Ibu masih bertugas di kampung. SMP itu berjarak sekitar 14 km dari tempat tinggal orang tua saya.

Kondisi jalan antardesa waktu itu belum baik—banyak jalan tanah dan berbatu. Transportasi umum hanya tersedia satu kali sehari. Motor pun langka. Jalan kaki menjadi hal biasa, baik bagi siswa SD hingga SMA maupun masyarakat sekitar. Karena keterbatasan air dan tempat tinggal, saya dititipkan pada kenalan orang tua yang juga guru, dekat SD Negeri Kotobaru Sarik Laweh, sekitar 4 km dari SMP. Jarak itu kami tempuh setiap hari dengan berjalan kaki.

Saya dan teman-teman berangkat pukul 11.00 untuk masuk sekolah pukul 13.00. Kadang kami menyetop truk yang lewat untuk menumpang. Jika gagal naik, saya berjalan sendiri melewati sawah dan bukit-bukit sepi. Pulang sekolah pukul 16.00, lalu berjalan kaki sekitar 45 menit. Kadang sampai rumah sebelum magrib. Jika pulang kampung pada Sabtu, kami berjalan kaki sekitar 14 km—biasanya tiba malam hari.

Setelah semester pertama, Ibu memutuskan pindah ke Payakumbuh dan mengurus kepindahan sekolah saya. Ayah menyarankan SMPN 1 Payakumbuh, sekolah ternama sejak zaman kolonial dan terkenal di bidang sepak bola. Namun saya menolak. Menurut saya, siswa di sana besar-besar badannya karena sering saya lihat bermain bola. Akhirnya saya masuk SMPN Standar Bunga Setangkai, program unggulan pemerintah yang terletak di perbatasan kota Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota.

Kami tinggal di Tanah Mati, Napa, sekitar 2 km dari pusat kota dan 4 km dari sekolah. Awalnya saya diantar naik motor, tapi kemudian dibelikan sepeda karena sebagian besar siswa bersepeda. Jalanan beraspal mulus dan datar membuat perjalanan menyenangkan.

Saya bahkan sering datang ke sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tanpa perlu diantar. Hanya sekali saya mengalami kecelakaan di jembatan kayu semi permanen; sepeda terpeleset dan ditabrak motor hingga stangnya bengkok. Saya perbaiki di bengkel terdekat dengan uang jajan yang saya tabung—kejadian ini tidak pernah saya ceritakan kepada orang tua.

Saat pelajaran olahraga, guru sering membawa kami ke lapangan sepak bola di Kotobaru, sekitar 3 km dari sekolah. Kami berpacu naik sepeda, termasuk siswa perempuan. Hampir semua murid menggunakan sepeda; hanya sebagian kecil yang berjalan kaki. Sepeda wajib diparkir di dalam sekolah untuk mencegah pencurian, jika tidak, siswa akan dirazia. Informasi ini pernah saya baca di majalah dinding sekolah.

Setamat SMP, saya melanjutkan ke SMPP Payakumbuh (kini SMAN 2), yang terletak di Bukit Sitabuah, Payakumbuh Timur. Lokasinya indah, dekat Gunung Sago. Kami tinggal di Koto Nan IV, sekitar 9 km dari sekolah. Saya biasa naik angkot Sago, namun kadang harus berjalan kaki jika angkot penuh. Saya sering berlari pulang bersama teman yang pemain bola, sejauh 9 km. Kadang saya membawa sepeda ke sekolah, meski tidak rutin, karena di SMA tidak banyak yang bersepeda.

Pengalaman berjalan kaki dan bersepeda belasan kilometer ini jamak bagi remaja hingga tahun 1990-an. Itu bagian dari perjuangan generasi Orde Baru—hidup sehat dan bahagia tanpa gawai, tanpa minuman keras, tanpa narkoba.

Kini saya melihat banyak dari mereka tumbuh menjadi pribadi yang sukses dan orang tua yang baik. Wajar jika generasi ini merasa risau melihat anak-anak zaman sekarang yang terbiasa dengan kemanjaan, serba instan, dan gaya hidup glamor.

Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, tentu termasuk dari generasi yang gelisah itu—dan ia berusaha melakukan sesuatu agar kelak lahir generasi Indonesia yang tangguh. 



BACA JUGA