Marantau Cino atau Pulang Kampuang?

Minggu, 11/05/2025 20:38 WIB

Oleh ALFITRI (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unand)

DI sebuah grup WhatsApp (WA), saya membaca artikel yang ditulis oleh Gamawan Fauzi (GF) berjudul "Di Mana Tinggal Setelah Pensiun?" yang diterbitkan di Harian Singgalang.

GF tergelitik memikirkan hal ini setelah bertemu dengan seorang mantan pejabat Sumatera Barat yang memilih tinggal di Yogyakarta setelah pensiun. Alasan mantan pejabat tersebut: biaya hidup di Yogyakarta tergolong murah. Selain itu, masyarakatnya ramah, baik, suka menolong, dan budayanya masih terpelihara. Karena itu, menurut mantan pejabat itu lagi, puluhan mantan kepala daerah—bahkan mungkin ribuan pensiunan pegawai pemerintah dan swasta—memilih untuk menetap di Yogyakarta setelah pensiun.

GF sepakat dengan sebuah artikel yang ia baca bahwa Sumatera Barat juga bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi para pensiunan. Alasannya, alamnya indah, kehidupan sosial-budayanya menarik, masyarakatnya agamis, dan khususnya di pedesaan, biaya hidup masih relatif murah.

GF melihat hal ini sebagai peluang yang bisa mendatangkan manfaat ekonomi bagi Sumatera Barat. Karena itu, ia mendorong gubernur, bupati, dan wali kota di Sumatera Barat agar dapat mengelaborasi peluang ini, sehingga para perantau yang pensiun bersedia kembali tinggal di kampung halaman.

Sekali lagi, GF menekankan daya tarik Sumatera Barat berupa makanannya yang enak, budaya matrilinealnya yang unik, serta masyarakatnya yang agamis dan beradat. Dua kali dalam tulisannya GF menyebut “masyarakatnya yang agamis” sebagai salah satu kekuatan utama Sumatera Barat.

Namun, pengertian “masyarakatnya yang agamis” ini agaknya masih meragukan bagi sebagian orang.

Dalam suatu grup WA, seorang pensiunan wartawan pernah membagikan data BPS 2019 yang menunjukkan bahwa peredaran narkoba dan kasus pemerkosaan di pedesaan Sumatera Barat tergolong tertinggi secara nasional. Ada pula data dari Kemenkes yang menyatakan bahwa jumlah kelompok LGBT di Sumatera Barat menempati urutan kelima tertinggi di Indonesia (Timenews, 22/01/2025).

Tentu banyak pula yang masih ingat viralnya berita tentang seorang Wali Kota Padang yang dimaki oleh sekelompok emak-emak tidak jauh dari Kantor Dinas Kebudayaan Sumatera Barat di Pantai Padang. Pada 6 Agustus 2020, wali kota tersebut terkena "caruik" dari para PKL yang menolak ditertibkan.

Saya pun teringat kisah Buya Prof. Dr. Syafii Maarif yang ingin tinggal di Padang setelah pensiun. Seperti ditulis Prof. Harris Effendi Thahar di Harian Singgalang, 31 Juli 2012, Buya membangun rumah untuk masa tuanya di pinggiran Kota Padang yang sejuk, di lereng bukit dan di tepi sungai.

Namun, hanya beberapa hari tinggal di Padang, Buya langsung rindu suasana Yogyakarta yang adem, ramah, dan bersahabat. “Sakit jantung saya naik angkot di Padang. Bukan apa-apa, tapi mendengarkan dentuman musiknya,” ujar Buya.

Ia pun menambahkan, “Maaf ya, ternyata orang awak itu kasar-kasar. Puluhan tahun saya hidup di tengah masyarakat yang penuh sopan santun. Jadi, saya kaget ketika masuk Pasar Raya dan mencoba tawar-menawar. Wah, merah muka saya mendengar kata-kata tak sedap dari penjual di pasar itu.”

Demikianlah, akhirnya Buya menjual rumah tersebut dan kembali ke Yogyakarta, tempat beliau menjalani sisa hidup dan dimakamkan.

Menurut Prof. Harris, Buya adalah salah seorang yang tidak sesuai dengan pepatah: “Setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya pulang ke kubangan.” Ternyata, yang lebih cocok untuk Buya adalah pepatah “marantau cino”—di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, di situ pula pandam pekuburan.

Sejarah dan waktu yang akan membuktikan ke mana kecenderungan para perantau orang awak. Apakah lebih cocok dengan pepatah “setinggi-tinggi bangau”, ataukah lebih pas dengan “marantau cino.” *



BACA JUGA