H. Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie
Dalam diri H. Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie menyatu ketiga unsur “Tali Tigo Sapilin” menurut adat Minangkabau: ninik mamak, ulama, dan cerdik pandai. Ia bukan hanya wartawan yang pernah menjadi Ketua PWI Sumatera Barat dua periode tetapi juga tokoh ninik mamak pemangku adat sekaligus mubalig yang pacak berceramah agama. Kamardi Rais dipercaya sebagai Ketua Umum LKAAM Sumatra Barat jua dua periode.
Di luar itu semua, ia juga sorang politikus, pernah menjadi anggota DPRD di kampung halamannya (Payakumbuh) serta anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat selama satu setengah periode.
Kamardi Rais, wartawan intelek yang punya pengetahuan dan wawasan luas sehingga digelari sebagai “Kamus Berjalan Minangkabau”. Pengetaannya tentang sejarah, seluk-beluk adat dan kebudayaan Minangkabau sulit dicari tandingannya.
Kamardi dilahirkan di Nagari Aia Tabik, Payakumbuh Timur, Kota Payakumbuh sekarang, pada 12 Maret 1933. Ayahnya seorang wali nagari di kampungnya, memberinya nama Kamardikaan–artinya “kemerdekaan” dalam penulisan menurut huaraf Arab-Melayu. Nama itu sesuai dengan harapan orang tuanya, bahwa Indonesia akan segera merdeka setelah anak itu lahir.
Ibunya memanggil dia Mardi, sedangkan kawan sesama besar memanggil Madi. Tapi ia tidak suka dipanggil Ka-an sebagaimana biasa dilakukan oleh bako (keluarga pihak ayah)-nya. Untuk menghindari sapaan yang tidak disukai itu, setelah masuk Sekolah Rakyat, ia hanya mendaftarkan namanya Kamardi, lalu ditambah nama ayahnya: Rais. Jadilah namanya kemudian Kamardi Rais.
Setelah diangkat jadi penghulu suku oleh kaumnya, lalu menunaikan ibadah haji ke Mekkah, lengkaplah namanya menjadi Haji Kamardi Rais Datuak Panjang Siimulie atau biasa diringkas dengan H.K.R. Dt. P. Simulie.
Pendidikan madrasah hingga SMTA dijalani Kamardi di Kota Payakumbuh. Sejak kecil ia memang sudah punya cita-cita jadi wartawan dan pengarang. Dia juga ikut kursus mubalig, sehingga juga pintar berceramah agama di samping latar pendidikannya sebagai anak madrasah.
Setelah tamat sekolah menengah, ia mengikuti kursus jurnalistik. Lalu meniti dunia kewartawanan pertama kali di Harian Penerangan yang terbit di Padang pada 1954-1955, setelah itu berpetualang ke Mingguan Massa di Palembang (1955-1956), Harian Res-Publika di Padang (1962-1965), Harian AB Edisi Padang (1967-1972), Redaktur Harian Semangat Padang (1972-1987), Harian Pikiran Rakyat, Bandung (1978-1984), Pemimpin Redaksi Harian Semangat, Padang (1987-1990), Pemimpin Redaksi Majalah Adat & Budaya Limbago (1987-1992). Selain itu, pada 1977-1981 sebagai Bendahara PWI Cabang Sumatera Barat dan kemudian terpilih menjadi Ketua PWI Cabang Sumbar selama dua periode (1981-1984 dan 1985-1989).
Terpukau dengan pesona Kolonel Ahmad Husein, pendiri Dewan Banteng dan tokoh PRRI, ketika terjadi Pergolakan Daerah (PRRI) ia pulang ke Sumatera Barat dan bergabung dengan pejuang PRRI. Selama pergolakan itu (1958-1961) ia menerbitkan koran stensilan di pedalaman untuk mendukung perjuangan PRRI.
Selepas pergolakan, ia menjadi wartawan Res Publika di Padang, dan termasuk pemuda dan wartawan yang menentang PKI. Setelah Harian Aman Makmur terbit di Padang, dipimpin Saifullah Alimin dan Marthias D. Pandoe, Kamardi Rais pun bergabung ke surat kabar itu sebagai koresponden untuk Kabupaten Limapuluh Kota di Payakumbuh.
Setelah G30S/PKI dan Orde Lama runtuh digantikan Orde Baru, ia aktif bekerja sama dengan pemerintahan baru untuk memulihkan kondisi psikologis masyarakat Minangkabau pasca-PRRI. Sebagai pemangku adat dan cendekiawan muda, Kamardi Rais ikut mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) pada tahun 1966.
Di awal Orde Baru ia aktif membimbing masyarakat dan mendorong pemulihan pembangunan kampung halamannya. Sebagai pemangku adat yang turut membidani lahirnya LKAAM. ia aktif di organisasi ninik mamak itu sejak awal berdirinya. Tahun 1970, ia diangkat menjadi anggota DPRD Kota Payakumbuh sembari merangkap Sekretaris LKAAM Kabupaten Limapuluh Kota (1966-1979), Humas LKAAM Sumatera Barat (1972-1979), Biro Generasi Muda LKAAM Sumatera Barat (1979-1984), Biro Generasi Muda LKAAM Sumatera Barat (1984-1989). Sekretaris I LKAAM Sumatera Barat (1989-1994), Sekretaris Umum LKAAM Sumatera Barat (1994-1999), Ketua Umum LKAAM Sumatera Barat (1999-2005), dan dipercaya lagi untuk kedua kalinya sebagai Ketua Umum LKAAM Sumatera Barat (2005-2008).
Pada 1947 sebagai HW/Pemuda Muhammadiyah Payakumbuh, anggota Muhammadiyah/Masyumi di Payakumbuh pada 1950-1955, Ketua Pembitmassmed DPD Golkar Sumatera Barat pada 1978
Kamardi Rais juga aktif di politik dan bergabung dengan Golkar sejak 1970. Berbagai jenjang kepengurusan pernah dipangkunya di DPD I Golkar Sumbar. Ia pun pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Barat selama satu setengah periode. Pertama, sepriode penuh 1987-1992, dan separuh masa jabatan sebagai pengganti antar-waktu untuk periode 1992-1997.
Pengetahuan dan wawasannya yang luas terbentuk dari kebiasaan membaca yang sudah ada sejak usia remaja. Apa saja dibacanya. Menurutnya, seorang wartawan harus rajin membaca agar tidak kalah pengetahuannya dengan pembaca koran itu sendiri. Kegemarannya membaca terlihat dari koleksi bukunya yang sangat banyak di perpustakaan pribadinya.
Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie meninggal dunia 25 Oktober 2008 dalam usia 75 tahun di Rumah Sakit Selasih, Kota Padang. Karena ia seorang penghulu kaum, jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya, Nagari Aia Tabik, Kota Payakumbuh.
Selain membaca, tentu ia juga rajin menulis. Ia terkenal sebagai penulis karangan khas yang tulisannya memikat. Di samping menulis banyak artikel dan makalah, Datuak Simulie juga menghasilkan buku, Cabiak-Cabiak Bulu Ayam (1993), berisi kumpulan tulisan sekitar konflik dan dinamika pemilihan Gubernur Sumatera Barat tahun 1992 dan buku Menelusuri Sejarah Minangkabau (editor) tahun 1998. Lalu buku Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan Komentar Wartawan Tua) diterbitkan Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) tahun 2004 yang dieditori Nasrul Azwar. Nasrul Azwar