LBH Padang Laporkan Penyidik Polres Mentawai ke Propam Polda Sumbar

Selasa, 21/10/2025 16:36 WIB
Dua warga adat Mentawai, Nulker dan Rusmin, telah ditahan selama delapan hari tanpa kejelasan status hukum, meskipun kedua belah pihak telah sepakat berdamai melalui mekanisme restorative justice sejak 13 Oktober 2025.

Dua warga adat Mentawai, Nulker dan Rusmin, telah ditahan selama delapan hari tanpa kejelasan status hukum, meskipun kedua belah pihak telah sepakat berdamai melalui mekanisme restorative justice sejak 13 Oktober 2025.

Padang, sumbarsatu.com— Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melaporkan penyidik Satreskrim Polres Kepulauan Mentawai ke Propam Polda Sumatera Barat karena dianggap melanggar prinsip kepastian hukum dan mengabaikan semangat keadilan restoratif, Selasa (21/10/2025)/

Dua warga adat Mentawai, Nulker dan Rusmin, telah ditahan selama delapan hari tanpa kejelasan status hukum, meskipun kedua belah pihak telah sepakat berdamai melalui mekanisme restorative justice sejak 13 Oktober 2025.

Alih-alih menghentikan perkara, penyidik justru memperpanjang masa penahanan terhadap keduanya.

Kasus ini bermula dari sengketa adat terkait denda (tulo) terhadap dua warga yang dituduh melakukan santet. Persoalan tersebut difasilitasi oleh seorang pejabat publik dan berujung pada hilangnya tanah milik kelompok adat Tatubeket. Keputusan itu menimbulkan kekecewaan sehingga sejumlah warga mendatangi Kantor Camat Sipora Utara pada 6 November 2024.

Dalam pertemuan tersebut, Nulker dan Rusmin sempat berdebat dengan pejabat publik, memegang kerah, dan mengibaskan beberapa alat di meja. Tidak terjadi luka atau kerusakan, namun peristiwa itu dilaporkan ke polisi dengan pasal berlapis: Pasal 211, 212, 214, dan 170 KUHP.

Selama proses hukum berjalan, telah dilakukan mediasi yang difasilitasi tokoh masyarakat dan keluarga. Kedua pihak sepakat berdamai, dan pelapor menyerahkan surat pencabutan laporan kepada Kepala Polres Kepulauan Mentawai c.q. Penyidik Satreskrim, disertai surat kesepakatan damai tertulis bertanggal 13 Oktober 2025.

Namun setelah surat pencabutan laporan diterima pada 14 Oktober 2025, penyidik hanya menjanjikan akan melakukan gelar perkara. Dua hari kemudian, Kasat Reskrim justru menyatakan akan melakukan klarifikasi ulang terkait “ganti rugi”, meski dalam surat damai dijelaskan bahwa istilah tersebut hanya bersifat administratif—bukan kewajiban hukum.

Kuasa hukum LBH Padang bahkan telah memberikan penjelasan langsung melalui sambungan telepon dan menyarankan agar penyidik mempertemukan kembali pelapor dan terlapor tanpa pendampingan hukum bila diperlukan. Pertemuan itu akhirnya digelar pada 16 Oktober 2025, dan pelapor menegaskan kembali bahwa perdamaian telah tercapai.

Namun hingga 19 Oktober 2025, penyidik belum memberikan kepastian hukum dan justru memperpanjang penahanan kedua tersangka.\

Menurut Adrizal, Kepala Divisi Advokasi LBH Padang sekaligus kuasa hukum Nulker dan Rusmin, langkah penyidik tersebut menunjukkan lemahnya profesionalisme dan pengabaian prinsip restorative justice.

“Hingga kini tidak ada kepastian hukum terhadap proses perdamaian yang telah disepakati. Klien kami masih ditahan, padahal pelapor telah mencabut laporan secara resmi. Kami menduga ada praktik unfair trial yang menunda penyelesaian perkara dan mengesampingkan semangat perdamaian,” ujar Adrizal.

Ia menilai penolakan penyidik terhadap surat perdamaian dengan alasan tidak mencantumkan klausul ganti rugi merupakan kekeliruan logika hukum.

“Ini tidak masuk akal. Surat damai telah disetujui dan ditandatangani langsung oleh pelapor. Bahkan sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud hanyalah biaya administrasi, seperti cetak dan materai. Dengan memperpanjang penahanan, penyidik justru menggantung kebebasan warga adat tanpa dasar hukum yang kuat,” tegasnya.

Adrizal juga mempertanyakan sikap penyidik yang bersikeras ingin bertemu langsung dengan kuasa hukum pelapor, padahal klarifikasi tertulis telah dilakukan.

“Kalau semua sudah dijelaskan, apa sebenarnya yang diinginkan penyidik? Publik patut bertanya, apakah ada kendala internal yang membuat proses restorative justice tidak segera ditindaklanjuti?” ujarnya.

LBH Padang menegaskan bahwa penyidik wajib segera menindaklanjuti pencabutan laporan dan melaksanakan gelar perkara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Jika hal ini terus diabaikan, LBH Padang akan menempuh langkah hukum dan etik lanjutan untuk memastikan akuntabilitas serta profesionalisme aparat penegak hukum.

“Keadilan tidak lahir dari rasa takut, tetapi dari keberanian untuk menghormati hukum dan mendengar suara rakyat,” tutup Adrizal. ssc/rel



BACA JUGA