Kita-kita, Kaum Mendang-mending

--

Sabtu, 14/01/2023 07:26 WIB

OLEH Khairul Jasmi (Wartawan Senior)

Literasi didefinisikan sebagai kemampuan memahami, menggunakan, mengevaluasi dan merefleksikan jenis teks untuk mengembangkan kemampuan individu. ( Yenni, Komentar Harian Singgalang, Selasa 03 Januari 2022)

Rasa sakit itu datang, karena berpikir, tapi pikiran sering dibunuh, karena kehidupan yang melelahkan. Padahal, seperti kata Hajjah Syekhah Rangkayo Rahmah el Yunisiyyah, jika sudah berada di puncak maka gunung tertinggi pun berada di bawah telapak kaki. Sekarang, kita-kita ini sedang berbahagia oleh medsos, taka da waktu untuk memikirkan puncak-puncak itu, apalagi gunung. Sedemikian “bahagianya” sehingga bicara politik, tak bisa dihentikan, oleh musibah gempa 6,1 SR sekali pun. Mau gempa, gempa sajalah. Ini pengamatan saya sesudah gempa 25 Februari yang merusak Pasaman dan Pasaman Barat.

Kita-kita ini adalah kaum “mendang-mending.” Mending pakai tol, mending jalan biasa. Mending Taman Budaya ada hotel, mending tidak. Mending makan di sini tidak mahal, mending di sana view-nya bagus. Di situ mahal di sana murah, mending di sana saja. Mending tak pulang kampung, mending sekarang pulang sudah dua tahun tidak. Mending tak makan bakso sebab semangkuak kabasuah 25 ribu.

Wal-bala wal-laba, wal-ota, kian kemari mendang mending. Sekarang kaum mendang mending sedang menguasai lini massa. Mereke bersimfoni dengan hebat. Kaum mendang-mending bisa membunuh usaha orang. Warung makan gulai itiak di Sianok, setelahdihampai tagak oleh netizen, akhirnya bangkrut dan tutup.

Indonesia apalagi Minangkabau sedang diculik oleh dunia digital. Lantas jutaaan orang yang diculik itu terlibat dalam pesta besar kemewahan: melepaskan apa yang terlarang.

Dalam masa penculikkan itu, rumah kita rusak dan tiris. Semua mengaku bisa memperbaiki tapi tak seorang pun yang melakukannya.

Sebagian yang tak berhasil diculik bekerja dalam diam, tapi mereka di-bully. Ada yang patah semangat karena lidahnya tergigit. Semua pekerjaan selesai, sebelum dimulai. Mereka orang-orang miskin yang membunuh hasratnya, membunuh air matanya sendiri.

Sementara itu pesta dunia digital terus berlangsung, memporak-porandakan pikiran. Menyumpal dengan sampah informasi.Hati dan kalbu kian menjauh dari tubuh bangsa kita yang sedang menikmati kemewahan digital itu dengan biaya yang tak masuk akal.  Semua ini menjauhkan Indonesia, Minangkabau, anak negeri,dari hal-hal serius dan membawa ke wilayah instant. Masak malam, mentah lagi kala pagi.

Percakapan di salah satu wilayah digital itu, medsos, banyak yang kurang ajar, jauh dari adab pergaulan. Pintu-pintu adab seperti ditutup. Percakapan tak sopan itusudah bertimbun-timbun. Menggunung lantas menjadi hal biasa.

Lama sekali di dunia nyata seseorang tak berani menyebut orang lain dungu, kini sudah. Di dunia digital, sudah lama biasa kata kasar dari itu berhamburan.Cinta yang selama ini menjadi irama langkah anak negeri, berubah jadi drum band kelompok pencuri. Mencuri pisang, nanas, beras, jengkol, duren, sawah, rimba, sandal jepit, semen, besi, gedung, uang, masa depan dan selera bangsa.

Rakyat Indonesia yang bekerja dengan tangan sendiri itu, berharap, mesti ada cara untuk bisa lepas dari penculikan digital itu. Jika tidak, maka yang tak punya bekal literasi akan semakin lama hilang dan berjalan jauh, entah ke mana.

Ada sedikit orang yang sedang mengibarkan bendera yang diambil dari peti peradaban Indonesia lama, tapi mereka hampir-hampir tak didengar dan sebentar lagi mereka akan dilecehkan oleh urusan politik.  

Rakyat Indonesia membunuh air matanya sendiri, untuk masa depan yang mereka impikan di tengah kebencian pada sejarah kontemporer yang mereka buat sendiri. Juga memuja sejarah yang sama.

Satu-sama lain sudah tak saling mendengar lagi. Indonesia sebenarnya sedang berat bebannya tapi hampir-hampir tak ada yang memperdulikannya.Bangsa besar ini makin lama diculik, makin kehilangan anak-anaknya. Kita sedang diculik dunia digital. Di dunia itu, tiap hari ada pesta. Jangan terkejut, jika ada yang lepas dari penculikan, dia akan kita temukan babak belur, berkelukuran. Bahkan, tewas.

Pertengkaran soal agama lebih hebat lagi di dunia maya dan bahkan menikam ke jantung hati. Ini tentu saja mengkhawatirkan, sebab medsos dengan mazhabnya sendiri, mirip uang, punya ibukotanya sendiri pula. Jika kita membuka medsos atau beralih ke percakapan WAG di telepon genggam, maka banyak sekali ajaran-ajaran agama yang diposting. Mulai dari soal jin dan setan sampai bagaimana memuliakan orang tua. Tentu saja tips masuk surga. Lalu muncul hoaks tentang agama.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho, mencatat dua tahun terakhir hoaks di Indonesia masih jadi kendala yang cukup besar. Setiap bulan kurang lebih 60 sampai 100 hoaks  mengotori ruang publik digital kita. Yang paling masif itu masih politik dan agama. Ketiga, diikuti dengan topik kesehatan yang di dalamnya termasuk isu obat dan makanan,” jelas Septiaji sebagaimana dikutip detikcom, Senin(21/10/2019). 

Kompas.com (5/6/2021)  melansir: Editor in Chief Direktorat Jenderal Bimas Kementerian Agama RI Ahmad Syamsuddin menilai betapa berbahayanya jika hoaks agama, kesehatan, dan politik saling berkelindan karena potensi daya rusaknya luar biasa. “Hoaks yang bertema agama tidak hanya menyerang akal, tetapi juga menancap di hati. Sangat sulit membujuk orang yang sudah termakan hoaks agama. Karenanya, upaya kolaborasi melawan hoaks sangat penting dilakukan.”

Ilmu-ilmu yang semestinya dibahas surau dan di ruang akademis muncul di youtube, sehingga menguncang pemahaman keagamaan khalayak yang rata-rata air. Bak burung, mengirai-ngirai bulu saja, membuat masalah yang beranak pinak.Mazhab youtube ini berkulindan dengan mazhab google, maka lengkaplah ilmu tanpa sanad. Siapa saja bisa memahaminya sedalam atau sedangkal akalnya. Ilmu yang ia dapat itu, dijinjingnya hilir mudik. Mengutip pepatah Inggris, “ilmu yang sedikit menyesatkan.”

Tapi, di sisi lain telepon genggam yang pintar itu, apapun yang diperbuat oleh si pemilik dengan pesan-pesannya adalah bisnis. Data menyebutkan, pulsa telepon seluler di Indonesia sudah menjadi kebutuhan pokok keempat, setelah sandang, pangan dan papan. Nilai bisnis operator seluler setahun Rp 100 triliun (detikcom 21 Desember 2021). Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya di tengah ekonomi yang semakin kusut masai di zaman wabah Covid-19 ini.

Dengan demikian, sebenarnya kita-kita ini adalah pasar yang empuk. Di pasar itulah silang-siur informasi menjadi komoditi. Di sanalah muncul kesadaran kaum terdidik, perlu literasi. Literasi medsos kita lemah, sama lemahnya dengan kesadaran soal “buanglah sampah pada tempatnya.”  Lemah memang, sebab rata-rata pendidikan kita kelas 2 SMP sebagai hasil survei  Indeks Pembangunan Kebudayaan Indonesia (2018).

Rata-rata lama sekolah penduduk 25 tahun ke atas di Sumatera Barat sekitar 8,76 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP. Selisih 0,59 poin dari angka nasional (8,17 tahun) namun masih jauh dari target (15 tahun). Dalam posisi pendidikan semacam inilah, pelajaran agama secara individu dilakukan di media sosial. Jika kemudian hasilnya ada yang bagus, itu sudah pasti, sama pastinya dengan hasil yang tidak bagus. Yang tidak bagus itu berada pada kelompok yang gelisah. Ia gerah saja melihat keadaan, apalagi setelah pilpres.

Literasi Membangun Kebudayaan Minangkabau

Sebenarnya kegelisahan Minangkabau itu positif, karena itu adalah pengayaan cara bertindak, setelah selesai dengan cara berpikir. Minangkabau kontemporer sebaiknya jangan hanyut dalam dunia medsos, tapi mesti memanfaatkannya, masuk lebih dalam ke dunia intelektual. Menemukan hal-halbaru untuk pembangunan kebudayaan kita. Minang mesti melahirkan tokoh hebat, lagi.

Sudahlah, akhirnya berdebat bahkan bertengkar, jika akan menghabiskan kuota saja. Sebagian kita-kita ini, ramai-ramai menyalahkan sistem politik Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan selera Minang. Padahal di rumah sendiri dipakai sistem itu untuk memilih pemimpin, yang setelah dipilih mereka berkelahi satu sama lain.

Kita sebenarnya memang membangun kebudayaan dari pertengkaran pemikiran hebat, tapi tak seperti sekarang yang serba menggantung. Kenapa tak bisa lagi mencontoh zaman lampau dalam keadaan serba kekurangan. Ketika itu, Minangkabau, setelah Perang Paderi atau sejak 1850-an sampai 1930-an, muncul sekolah-sekolah Belanda. Di daerah lain ditolak, di sini diterima.

Minangkabau adalah suku bangsa yang terkenal karena bertutur. Katanya budaya lisan. Dua orang atau lebih, bisa berjam-jam berpidato dalam sebuah acara disaksikan puluhan atau ratusan orang. Pidato itu, disebut pidato adat. Tapi, itu saja tidaklah cukup, sebab kehidupan bukan sepanjang isi pepatah-petitih dan pidato adat itu saja. Banyak sisi lain yang tak terjangkau oleh kedua hal tersebut.

Saya agak menjauh dari topi digital sebentar, yaitu tentang “budaya lisan”. Saya tak yakin itu adalah warisan terbaik kita. Walau menjauh, sebenarnya tetap soal literasi. Warisan terbaik kita adalah “tulisan,” bukan lisan. Itu jebakan belaka, walau ada benarnya untuk beberapa aspek. Sebelum diterbitkan lagi, saya diminta oleh Balai Pustaka membaca dulu Tambo Minangkabau( edisi revisi 2022) yang disusun oleh Ahmad Dt Batuah dibanu Aman Dt Madjoindo. Apa yang saya temukan di sana?

Antara lain Ini:

Tambo-tambo itu galibnya sangat dimuliakan orang, bahkan adakalanya dipandang suatu pusaka keramat. Oleh karena itu, orang yang menaruhnya mendapat kemuliaan pula dari buku tambo itu. Biasanya yang menaruh itu ialah kepala-kepala suku di Minangkabau. Karena buku itu dipandang barang keramat, banyak pantangnya. Buku itu tidak boleh dibaca semua orang, tidak boleh dibaca sembarang waktu, dan harus disimpan dengan baik dan pada tempat yang baik pula. Oleh karena itu, isinya tidaklah diketahui orang

banyak. Adapun yang mengetahui hanya orang yang punya saja dan orang yang terdekat sekali kepadanya. Lain dari orang-orang tersebut, janganlah berharap akan dapat membacanya. Membacanya pun harus menurut beberapa syarat, tidak boleh seperti membaca buku biasa saja. Singkat kata, harus mengadakan beberapa upacara supaya nanti si pembaca jangan dapat tulah karenanya.

Jadi saya agak berubah pikiran, kita terpaksa terjerumus ke budaya lisan, karena nasiah yang ada disembunyikan. Saya sendiri mengalaminya pada 2022, saya diperlihatkan sebuah tambo, tapi orang itu bicara “mahar.”

Lalu saya membaca buku Khasanah Naskah Minangkabau (2018) yang ditulis Pramono. Pendahluan, dimulai dengan: Hampir seluruh wilayah Sumatera Barat (minus Mentawai) merupakan tempat asal (sumber) naskah. Baik di wilayah darek maupun rantau terdapat skriptorium yang pernah menjadi pusat kecendekiaan orang-orang Minangkabau masa lampau. Saat ini, selain sudah banyak yang sudah ‘menyeberang’ ke berbagai negara, seribuan naskah masih dapat ditemukan di berbagai tempat di Sumatera Barat.

….

Sebagian besar naskah Minangkabau kepemilikannya bersifat pribadi dan kaum, maka keberadaan dan pelestarian naskah sangat dipengaruhi oleh sikap pemiliknya. Sikap pemilik naskah dapat dikategorikan dalam empat kelompok. Pertama, pemilik naskah yang masih menganggap naskah-naskah yang dikoleksinya sebagai benda keramat. Kedua, pemilik naskah yang tahu bahwa naskahnaskah miliknya bernilai ekonomi dan dapat diperjualbelikan. Ketiga, pemilik naskah yang tidak paham bahwa naskah merupakan benda penting dan harus diselamatkan. Keempat, pemilik naskah yang paham dan terbuka terhadap upaya pelestarian dan penyelamatan naskah-naskah yang dimilikinya.

Masih banyaknya masyarakat yang menganggap naskahnaskah yang dimilikinya sebagai benda keramat, mengakibatkan peneliti sulit untuk mendapat akses terhadap naskah. Kendati isinya tidak pernah diketahui dan dimanfaatkan oleh khalayak umum, tetapi naskah baru dapat dilihat jika melalui syarat-syarat tertentu.

Oleh karena dianggap keramat, maka naskah biasanya disimpan di tempat-tempat yang agak sulit dijangkau, seperti di atas pagu atau di dalam kotak yang tidak pernah dibuka. Untuk jenis koleksi seperti ini, biasanya peneliti menggunakan pendekatan kultural dan memakan waktu yang lebih lama.

Muhamamd Radjab, alumni Universitas Indonesia, wartawan terkemuka, menyebut, ia mengaji di kampungnya, Sumpur, tapi tak tahu apa arti ayat Al Qur’an, karena tak seorang pun berani mengajarkan maknanya. Itu kenyataan. Lalu, kalau tak bisa dibaca, maka berkisah sajalah rakyat. Ada alatnya, lidah. Lidah punya 17 otot, dipakai untuk mengunyah atau umpamanya mengunyah 2500 kali sehari. Ada 10 ribu titik pengecap. Karena lidah, maka hadirlah 6000-an bahasa di dunia, membentuk puak, suku bangsa dan negara. Lidah adalah salah satu alat yang bekerja untuk hati. Lahi ungkapan-ungkapan yang kemudian dihafal. Idrus Hakimy Dt Rajo Penghulu membubukannya. Dalam pendahuluannya, disebut, ada 500 ribu pepatah-petitih Minangkabau, lebih dari cukup, mungkin melampauaikhasanah suku bangsa Melayu. Idrus hanya bisa membukukan 1.000 petatah-petitih.

Manusia Minangkabau

Ini negeri matriakat. Ini kelebihannya dan ini pula yang mengundang perdebatan paling hebat yang pernah terjadi dalam sejarah. Perdebatan berikut adalah soal pemahaman agama, yang dikenal dengan Kaum Tua dan Kaum Muda. Karena hal tersebut, mendahului suku bangsa lainnya dan bersifat khas, maka tanpa disadari, perdebatan itu menyebabkan munculnya pengetahuan yang mendalam tentang suku bangsanya dan tentang agamanya.

Hal lain yang tak tertirukan adalah, pembahasan secara terbuka berbagai persoalan di awal abad lalu hingga menjelang kemerdekaan di media cetak. Minangkabau adalah daerah paling hebat soal itu di luar Jawa. Hal paling luas dibahas soal agama dan nasionalisme. Hanya di sini, agama danasionalisme disatukan untuk menganyang penjajah Belanda. Di sini pula, kemudian, putera-puterinya dipenjarakan hanya karena berpidato.

Seperti lebih bapak bangsa dari Minangkabau, 2/3 pengarang Balai Pustaka dari Minangkabau. Makanya, roman yang paling banyak dicetak sampai detik ini adalah Siti Nurbaya, Kasih tak Sampai, karya Marah Rusli. Pada sisi lain,di sinilah pertama dalam sejarah Nusantara adalah sekolah muslimah pertama yaitu Diniyyah Puteri Padang Panjang. Ini adalah dapur bagi lebih dari setengah perempuan hebat Minangkabau. Hampir semua perempuan hebat itu adalah jurnalis/wartawati.

Surau dan Madrasah

Literasi dimulai dengan belajar. Surau. Tentu saja sama dengan daerah lain, ulama tradisional punya spesialisasi. Nahwu ada ahlinya, fikih ada ahlinya, falaq pun demikian. Murid pinddah dari surau ke surau untuk mendapatkan spasialiasi yang diinginkannya.

Surau, tersebar di seluruh Minangkabau, yang terbanyak surau tarekat. Hulunya dari Mekkah. Dijemput langsung. Syekh Ismail Al Khalidiyah, misalnya adalah guru teraat terkemuka di Nusantara. Ulama ini orang Minangkabau.

Surau paling hebat itu milik Tuanku Nan Tuo, guru semua ulama Kaum Paderi, walau kemudian ia tak suka kekerasan dan disingkirkan oleh muridnya sendiri. Suraunya di Koto Tuo Balai Gurah, rumah ulama-ulama hebat Minangkabau seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan sepupunya Dr Tahir Jalaluddin guru ilmu falaq yang terkenal di Malaysia.

Surau telah berperan penting dalam membangun pengetahuan, melek huruf dan menyumbang untuk literasi Minangkabau. Surau yang hebat itu, sebagian besar habis perannya ketika Perang Paderi. Baru sehabis perang itu, dibangun kembali jaringan ulama Minangkabau.

Yang pasti, abad XX merupakan abad yang heboh. Riuh. Politik iya, agama iya, kehidupan sosoal kemasyarakat tentu. Sementara itu, inti kehidupannya sesungguhnya, kenyaman, rusak oleh kehadiran Belanda. Manusia abad ini, mungkin tak kuasa hidup di zaman penjajahan yang menjadikan pribumi sebagai budak kekuasaan, budak ekonomi dan budak sesungguhnya. Di zaman seperti itulah literasi dan kehebatan orang Minang justru bisa muncul.

Setelah perang, surau-surau kembali bergairah. Setidaknya ada 15 surau penting, dengan murid terbanyak 1.000 orang, di Surau Taram, Limapuluh Kota, total santri di belasan surau itu hampir 5.000 orang. Belum lagi surau-surau yang tak dicatat Belanda. Itu kondisi sesudah perang. Pengaruh surau terus berlanjut sampai kemerdekaan.

Kemudian madrasah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh modernisasi Islam di Minangkabau dan itu dipicu oleh Kaum Muda. Kaum Muda itu, murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Jadi peran imam besar Masjidil Haram ini, sangat signifikan.

Madrasah Kaum Tua di Minangkabau, setidaknya dimulai oleh Arabiyah School di Ladang Laweh, milik Syekh Abbas. Syekh inilah yang mendesak agar Surau Canduang jadi Madrasah saja meniru sekolah Kaum Muda, jadilah Madrasah Tarbiyah Islamiyah.Madrasah Kaum Muda itu, antara lain, Thawalib Padang Panjang dan Parabek. Juga Darul Fulun di Padang Japang. Banyak sekali ulama dan madrasah yang mesti ditulis, jika ditulis semua, tidak pantas lagi disebut paper. Untuk satu ulama saja, kajiannya bisa panjang. Saya ambil saja sekadar yang perlu.

Thawalib punya murid ribuan orang, bermula dari Surau Jembatan Besi dengan tokoh utama Syekh Karim Amrullah atau Inyiak DR, ayah Hamka. Kawannya, Zainuddin Labay, pendiri Diniyyah School. Adiknya, Rahmah el Yunisiyyah mendiri Diniyyah Puteri. Semua di Padang Panjang. Ada Dr Abdullah Ahmad mendirikan sekolah di kota yang sama kemudian pindah ke Padang, itulah Perguruan Adabiah.

Sumatera Thawalib punya sekolah dimana-mana dengan ribuan murid. Sementara itu Tarbiyah Islamiyah seperti itu pula, bahkan sampai ke Sulawesi. Belum lagi sekolah-sekolah Muhamamdiyah dan madrasah lainnya. Ini tumbuh subur di Minangkabau era 1910 sampai 1940.

Awalnya ada Kaum Putih dan Kaum Hitam, muaranya Perang Paderi dan yang menang Belanda. Ini kesalahan pertama dalam sejarah modern Minangkabau. Kedua ada percaturan pemikiran soal agama, yang sengit, berlangsung sekitar 10 tahun, dipucu oleh surat Dr Abdullah Ahmad pada gurunya di Mekkah. Dibalas oleh Syekh Saad Mungka, dibalas lagi oleh sang guru Syekh Ahmad Khatib al Minangkabau. Diangkis oleh Ismail al Khalidiyah, dibalas oleh oleh Ahmad Khatib. Disambut oleh Datuk Bangkit melalui surat kabarnya Utusan Melayu.

Yang kedua ini tidak salah, tapi bermanfaat. Inti persoalan adalah: banyak sekali renda-berbunga, tambah sini tambah sana dalam pelaksanaan tarekat di Minangkabau. Itu yang diamati oleh kaum cendikiawan muslim di Minangkabau kala itu. Banyak yang tak sesuai syariat Islam. Maka ditanyakan oleh Abdullah Ahmad pada gurunya.  Gurunya menjawab.

Akibat perdebatan 10 tahun itu – memang ada dimana orang berdebat soal agama selama itu di Nusantara?—menyebabkan terjadi pengayaan oleh para mubaligh dan rakyat biasa atas agama yang diamalkannya. Ahmad Khatib sendiri, menulis 45 kitab semua soal ajaran agama Islam dicetak di Mekkah, Damaskus dan di Kairo, dikirim ke Nusantara atau dibawa oleh murid-murid bekennya.

Ahmad Khatib juga melahirkan pemikiran pemisahan harta pusaka tua dan rendah di Minanngkabau. Ini ulah tanya ke tanya tiap sebentar saja lewat surat ke Mekkah sana. Jika semula, semua harta, diwariskan pada ponakan,sejak perdebatan itu, dibagi dua. Pemisahan dilakukan 1914 dalam sebuah siding para ulama di Muaro Labuah. Tapi, ternyata belum jalan maksimal. Maka pada 1954 di Bukittinggi, semua ulama murid Ahmad Khatib, membuat kesepakatan, dikomandoi oleh ayah Hamka.

Harta pusaka yang turun temurun dari nenek ke nenek ke ibu dan seterusnya ke bawah sejak ratusan tahun silam, sehingga tak tahu lagi siapa yang punya dikelompokkan pada Harta Wakaf. Wakaf dalam garis keturunan matriakat.

Harta Pusaka Rendah, pencaharian ayah dan ibu, jatuh pada anak. Hanya anak. Maka selesailah soal harta pusaka itu.

Kemudian juga garis keturunan menurut garis ibu. Dibabat habis pula oleh Ahmad Khatib. Maka kemudian, lahirlah: Garis keturunan menurut garis ibu, bernasab pada ayah. Urusan soal kemasyarakaratan, kaum dan harta pusaka, kepad ibu dan garis keturunan darah serta semua urusan menyangkut itu kepada ayah. Selesai.

Maka perdebatan Kaum Tua dan Kaum Muda, soal khilafiah, selesai, walau tak selesai benar dalam praktik. Literasi ini saya namai, “literasi debat alam takambang jadi guru.”

Sekarang, sekolah sekuler Belanda, diminati di Minangkabau. Ketika hampir semua suku bangsa lain, masih tidur, orang Minang sudah sekolah. Di Foert de Kock, atau Bukittinggi sekarang ada Sekolah Raja atau Kweekschool didirikan 1856. Gurunya antara lain J. A. W. van Ophuijsen,Nawawi St. Makmoer, Abdul Latief, Abdul Gani Rajo Mangkuto dan Moh. Taib Sutan Ibrahim ketiganya amat terkenal karena membuat ejaan pada 1901 untuk seluruh Hindia Belanda, namanya: Ejaan van Ophuijsen. Ejaan itu kemudian diganti dengan EYD.

Murid-murid antara lain, Sjarifah Nawawi, perempuan Indonesia pertama yang mengecap   pendidikan barat. Meningal di Jakarta 1988 (usia 91).  Syekh Ahmad Khatib al Minangkawi (guru ulama-ulama Nusantara), Tan Malaka dan Dahlan Abdullah.

Kita kaum mendang-mending, tua muda, melecehkan kemampuan suku bangsa ini untuk melakukan lompatan quantum untuk mendahului masa depan. Menjahit sayap anak-anak kita, menukar kepala anak dengan kepala orang tua. Lalu anak seperti kebau dicucuk hidungnya, mengikuti kemauan bapak mandehnya. Anak-anak itu, juga kita-kita ini, sebagai kaum mendang-mending, merasa di rumah sendiri, ketika duduk di kafe. Menghabiskan umur, hari demi hari. Tidak kompak, seperti ulama zaman lampau di satu penggalan waktu. Budayawan, tidak punya karya yang “menggemparkan” kelompoknya. Jika pun ada, kawannya tidak memberikan pujian.

Banyak di antara kaum mendang-mending ini, berada paling depan untuk mencemoohkan masa lalu, yang kita sendiri tak mengerti benar. Malas untuk berkaya untuk masa depan. Jika pun berkaya, sokongan tidak ada dari  pemerintah. Kemana saja uang sebanyak itu tiap tahun, ridak tiris untuk kebudayaan, dasar dari kehidupan manusia ini?

Lalu kita dikicuah orang, Taman Budaya dijadikannya hotel. Kecek awak, awak santing juga. *

Padang 13 Januari 2022.

*Disampaikan dalam Panggung Ekspresi dan Orasi Budaya di Taman Budaya Sumatra Barat, salah satu bentuk penolakan terhadap rencana pembangunan hotel di kawasan itu



BACA JUGA