LBH Padang Sebut Ranperda RTRW Provinsi Sumbar Tanpa Partisipasi Masyarakat

--

Kamis, 05/01/2023 10:55 WIB

Padang, sumbarsatu.com— Masuknya investasi ke dalam suatu daerah harus berdasarkan dengan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang sudah ditetapkan dalam peraturan daerah. Oleh karena itu, untuk menghindarkan konflik yang mungkin akan terjadi, dalam penyusunan RTRW harusnya melibatkan masyarakat.

Sekaitan dengan RTRW itu, pada 2023 ini Provinsi Sumatera Barat akan melakukan revisi Perda No. 13 Tahun 2012 tentang RTRW Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012-2032 dan Perda No. 2 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Barat Tahun 2018-2038 yang disatukan menjadi Ranperda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2023-2043.

“Hingga saat ini pembahasan ranperda RTRW sudah masuk ke tahap pembahasan subtansi dengan Kementerian ATR/BPN pada 26 Desember 2022 lalu,” kata kata Diki Rafiqi, Kepala Bidang SDA LBH Padang kepada sumbarsatu, Kamis (5/12/2023) di Padang.

LBH Padang menilai, ada permasalahan dalam penyusunan ranperda RTRW Provinsi Sumatera Barat tahun2023-2043.

Proses pembuatan ranperda RTRW tak melibatkan partisipasi publik. Apalagi hingga saat ini naskah akademik, ranperda, materi teknis dan lainnya tidak bisa diakses oleh publik.

“Bagaimana publik akan berpartisipasi dokumen yang akan dibahas itu tidak diketahui publik dan tidak terbuka untuk umum. Padahal ini merupakan prasyarat utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” tegas Diki Rafiqi.

Sesuai Pasal 96 UU No 13 Tahun 2022 bahwa Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagai mana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

“Ranperda RTRW 2023-2043 tidak taat UU No 13 Tahun 2022 terkait peran serta masyarakat yang dimana naskah akademik dan rancangannya tidak dapat diakses oleh publik,” katanya

Geothermal Gunung Talang

Berdasarkan Ranperda RTRW 2023-2043 terdapat 16 isu strategis yang masuk dalam pembahasan salah satunya terkait ketenagalistrikan dengan memasukkan lagi rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) Geothermal Gunung Talang Kabupaten Solok.

Padahal, tegas Diki Rafiqi, tahun 2017 sudah terjadi penolakan yang cukup tinggi atas dibangunnya PLTPB oleh PT. Hitay Daya Energi.

Akibatnya terjadi konflik yang cukup tinggi hingga berdampak kepada tiga orang di kriminalisasi saat itu. Selain kriminalisasi juga terjadi konflik sosial, dimana terbelahnya masyarakat akan pembangunan tersebut.

“Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh melihat dan mendengarkan kondisi yang terjadi di masyarakat,” urai Diki Rafiqi. 

Jika mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2O2O yang diterjemahkan dalam UU No. 13 Tahun 2022 terkait memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation), ranperda ini sangat jauh panggang dari api. Walaupun klaim yang diberikan Provinsi Sumatera Barat kepada Kementerian ATR/BPN terkait sudah terlaksana konsultasi publik minimal dua kali.

“Pertanyaannya apakah pernah konsultasi publik tersebut dilakukan kepada masyarakat Gunung Talang? Jika ada, mungkin dengan keras masyarakat sekitara Gunung Talang akan menolak penetapan rencapa PLTPB Gunung Talang itu,” jelasnya lagi .

Maka, atas kondisi memiriskan itu, LBH Padangmeminta Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat untuk membuka akses informasi terkait dokumen yang berkaitan dengan RTRW 2023-2043.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus melibatkan masyarakat luas dan terdampak dalam melakukan penyusunan RTRW 2023-2043 yang tidak formalitas semata.

“Penyusunan Ranperda RTRW 2023-2043 harusnya mengikuti  kaidah yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2022,” tegasnya.

Sepanjang tahun 2022, dalam catatan LBH P di Sumatera Barat masih terus terjadi konflik agraria antara petani atau masyarakat adat dengan perusahaan atau negara.

LBH Padang sebut, terdapat 13 titik konflik agraria dengan seluas 11.930 hektare dan tersebar di 7 Kabupaten di Sumatera Barat. Tipologi konflik agraria yang sedang terjadi di Sumatera Barat  didominasi kasus pertambangan, perkebunan, ibu kota kabupaten, proyek strategi nasional, dan kehutanan.

Konflik agraria yang terjadi tidak lepas dari pertentangan ruang hidup yang terjadi. Penetapan kawasan seperti pertambangan dan kehutanan yang tidak adanya partisipasi masyarakat merupakan titik awal terjadinya konflik-konflik ruang hidup. SSC/MN

Iklan

BACA JUGA