Rusli Marzuki Saria Terima S.E.A. Write Award Tahun 2024 dari Kerajaan Thailand

Senin, 18/11/2024 07:50 WIB
Rusli Marzuki Saria

Rusli Marzuki Saria

 

Padang, sumbarsatu.com—Sastrawan Rusli Marzuki Saria, yang kini memasuki usia 89 tahun, menerima penghargaan S.E.A Write Award atau anugerah bagi Penulis Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand untuk tahun 2024 ini.

“Kepada Saudara Rusli Marzuki Saria. Selamat atas penghargaan S.E.A. Write Award. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dengan senang hati kami informasikan bahwa upacara penyerahan S.E.A. Write Award untuk tahun 2022-2023 akan diselenggarakan pada 24-27 November 2024 di Bangkok, Thailand. Kami ingin mengundang Anda untuk menghadiri upacara penyerahan penghargaan dan gala dinner bersama para penerima penghargaan dari negara-negara ASEAN lainnya,” kata Tipsuda Chaichana, Asisten Sekretariat Komite Penyelenggara Penghargaan S.E.A. Write dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Rusli Marzuki Saria yang salinannya diperoleh sumbarsatu, Minggu, 16 November 2024.

Penerima penghargaan S.E.A. Write Award, ditulis dalam surat itu, akan menerima antara lain Plakat Penghargaan S.E.A. Write Award yang diberikan oleh Yang Mulia Putri Sirivannavari Nariratana Rajakanya dan honorarium S.E.A. Write Award.

“Panitia S.E.A. Write Award mengganti biaya untuk tiket pesawat pulang pergi dan akomodasi lainnya,” tambahnya.

Pihak keluarga Rusli Marzuki Saria merasa bahagia menerima kabar baik ini. Namun, untuk berangkat ke Hongkong diwakilkan kepada anaknya, Satria, mengingat kondisi fisik dan usia Rusli Marzuki Saria yang tidak memungkinkan perjalanan jauh.

“Kehadiran Papa diwakilkan kepada anaknya, Satria. Mengingat kondisi fisik dan usia Papa yang sudah menginjak 89 tahun, tidak memungkinkan melakukan perjalanan jauh. Keluarga besar Papa RMS sangat bahagia atas penghargaan ini. Dan kami mengucapkan terima kasih atas dukungan semua pihak,” kata Bastian, menantu Rusli Marzuki Saria, Minggu, (16/11/2024).

S.E.A Write Award merupakan penghargaan yang ditujukan kepada penulis, sastrawan di Asia Tenggara yang diberikan oleh Kerajaan Thailand. Tradisi pemberian penghargaan ini telah berlangsung sejak 1979.

Buku kumpulan puisi bilingual (dua Bahasa) "One by One Line by Line" yang diterbitkan Kabarita Padang tahun 2014 merupakan buku yang mendorong Rusli Marzuki Saria meraih S.E.A Write Award pada tahun 2024 ini.

“Tahun ini merupakan tahun penuh kebahagiaan bagi Sumatera Barat dan Indonesia tentunya: Perayaan 100 Tahun AA Navis yang salah satu kegiatannya dilakukan di Paris, Perancis, kantor pusat UNESCO dan juga di Indonesia, serta penghargaan bergengsi S.E.A Write Award yang diberikan Kerajaan Thailand kepada Papa Rusli Marzuki Saria. Dan ini layak kita syukuri dan apresiasi dalam bentuk kegiatan dan iven, misalnya,” kata Ivan Adilla, kritikus sastra dan dosen FIB Unand.

Sebelum Rusli Marzuki Saria, S.E.A Write Award sudah pernah diraih penulis dan sastrawan dari Sumatera Barat, yaitu AA Navis tahun 1988, Wisran Hadi (2000), Gus tf Sakai (2004).

“Tampaknya butuh waktu 20 tahun untuk raihan S.E.A Write Award ini. Terakhir diterima Gus tf Sakai pada 2004. Setelah itu, baru tahun 2024 ini diraih sastrawan dari Sumatera Barat,” kata Sudarmoko, pengamat budaya dan juga seorang kurator..

Penghargaan S.E.A Write Award tahun 2024 dari Kerajaan Thailand yang diterima Rusli Marzuki Saria ini sekaligus mengklarifikasi dan membantah berita dan kabar yang dilansir beberapa media daring dan media sosial bahwa Rusli Marzuki Saria menerima S.E.A Write Award pada tahun 2017.  

“Atas pemberian S.E.A Write Award kepada Papa RMS tahun 2024 ini, maka ini sekaligus membersihkan dan menganulir berita yang beredar sebelumnya di media daring yang menyatakan Rusli Marzuki Saria menerima penghargaan yang sama tahun 2017. Padahal saat itu RMS baru diusulkan,” terang Sudarmoko.

Menonjol sebagai Sastrawan

Rusli Marzuki Saria familiar dipanggil “Papa” adalah seorang war­tawan yang namanya lebih mencuat secara nasional sebagai sastrawan dan penyair. Ia “guru besar” para penyair muda dari Sumatra Barat dan Riau. Selama 28 tahun, ruang “RMI” dan “Budaya Minggu” di Haluan, menyemai benih-benih yang kelak mereka bernas mendalami kepenulisan kreatif.

Ia lahir di Nagari Kamang Mudiak, Tilatang Kamang, Agam, pada 26 Februari 1936. Ayahnya Mardjuki Datuak Radjo Pangulu, Wali Nagari Kamang Mudiak dan pengusaha bendi.

Rusli Marzuki Saria menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Labuah Silang, Payakumbuh. Lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) Bagian "A" Sandhyakala, yang lokasinya di gedung PSM Atas Ngarai Bukittinggi sekarang ini. Setamat SMA, ia masuk Korp Kepolisian RI dan ditugaskan sebagai anggota Mobbrig (Mobile Brigade, sekarang Brimob). Namun ketika terjadi pergolakan daerah tahun 1958, ia justru bergabung dengan pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dipimpin Mayor Sofjan Ibrahim. Hampir tiga tahun ia berada di hutan-rimba bersama pasukan PRRI. Ia bergabung dengan Kompi Mahasiswa “Mawar” yang dipimpin Saidal Baharuddin. Selama berada di hutan, ia tetap menulis puisi dan membaca buku-buku, antara lain novel Ibunda karya Marxim Gorky terjemahan Pramoedya Ananta Toer.

Ia lebih dulu mengenal dunia sastra (fiksi) ketimbang jurnalistik (fakta). Ia sudah berkiprah di kepenulisan kreatif sejak perte­ngahan tahun 1950-an ketika masih di bangku SMA. Ia sudah mengirimkan puisi ke majalah kebudayaan yang terbit di Jakarta, seperti majalah Konfrontasi dan Indonesia.

Papa Rusli Marzuki Saria menerima buku Ensiklopedia 1001 Orang Minang dari Yulizal Yunus dan Rahmat Irfan Denas. Papa RMS salah seorang yang masuk dalam buku ini

Maka memasuki dunia kewartawanan, ia tak menemui kendala berarti karena telah mengenal dunia tulis menulis sebelumnya. RMS diajak A Kasoema pemilik harian Haluan bergabung bersama dengan Chairul Harun, Syafri Segeh, Leon Agusta, Annas Loeboek, Sy. Datuak Tuo F untuk menerbitkan kembali harian Haluan setelah dilarang terbit oleh pemerintah pusat selama 10 tahun karena mendukung PRRI.

Sebulan disiapkan, tepat pada 1 Mei 1969, harian Haluan lahir kembali dengan sambutan mengembirakan dari masyarakat. Ia ditempatkan sebagai Sekretaris Redaksi.

Pada 1971, Rusli Marzuki Saria dipercaya sebagai penanggung jawab sastra dan budaya dengan rubrik “Remaja Minggu Ini” (RMI) dan “Budaya Minggu (BM).” Rubrik ini cukup fenomenal dalam kancah kepenulisan, terutama di Provinsi Smatera Barat, Riau, Bengkulu, dan Jambi. Ia pensiun tahun 1999 dari harian Haluan,

Kendati disibukkan dengan rutinitas di ruang redaksi, tapi ia tidak pernah meninggalkan sosoknya sebagai panyair dan budayawan.

 

Di harian Haluan, ia punya rubrik tetap “Monolog dalam Renungan”, esai-esai kontemplatif. Setelah pensiun tahun 1999, ia tetap menulis di rubrik “Parewa Sato Sakaki” (1999-2007), yang menggunakan bahasa Minangkabau dengan varian dialeknya. Tulisannya pada dua rubriknya itu sudah diterbitkan menjadi buku: Monolog dalam Renungan (2000) dan Parewa Sato Sakaki (2018).

Pada tahun 1966, bersama empat penyair Sumatra Barat: Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, dan Zaidin Bakry menerbitkan buku antologi puisi Monumen Safari (1966). Buku ini diterbitkan ulang tahun 2016. Setelah itu, buku puisi tunggalnya terbit Sembilu Darah (1995), Parewa –kumpulan puisi 1960-1962 (1998), dan Mangkutak di Negeri Prosa Liris (2010). Ada lagi antologi Tonggak—bersama Linus Suryadi AG (1987), Antologi Puisi Asean bersama Dewan Kesenian Jakarta, dan kumpulan puisi bilingual One by One Line by Line (2014) yang sempa nominasi meraih hadiah sastra bergengsi S.E.A. Write Award tahun 2017 dari Kerajaan Thailand.

Pada tahun 2017, Rusli Marzuki Saria menerima “Penghargaan Sastra Indonesia”  dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tahun 2021, ia menerima Anugerah Kebudayaan Sumatra Barat dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat.

Atas  ketekunan dan loyalitas pada profesinya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberikan Piagam Penghargaan 30 Tahun Kesetiaan Profesi pada 2006 dan penghargaan Tuah Sakato dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Pemerintah Jerman Barat pada 1978 memberi penghargaan dari Friedrich Ebert Stiftung (FES), Jerman Barat.

Ia menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI—pada 4 Mei 1963 dan memiliki empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes dan 10 orang cucu. Kini, ia sudah memasuki 89 tahun, hari-harinya selain berolahraga ringan, menimbun dirinya bersama ribuan buku di rumahnya Jalan Bangka Wisma Warta Padang. SSC/MN



BACA JUGA