Festival Pekan Nan Tumpah 2021 Dibuka dengan “Sajak Sebatang Lisong”

KEMERIAHAN PERAYAAN SENI

Sabtu, 02/07/2022 16:16 WIB
Rangkaian pembukaan pembukaan Pekan Nan Tumpah 2021

Rangkaian pembukaan pembukaan Pekan Nan Tumpah 2021

….

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

Padang, sumbarsatu.com—Penggalan “Sajak Sebatang Lisong” di atas pembuka Pekan Nan Tumpah 2021, Jumat (1/7/2022) yang dilangsungkan dalam kawasan Taman Budaya Sumatra Barat. Festival yang digelar hingga 7 Juli 2022 ini terlaksana atas prinsip kerja kolaborasi antarkomunitas di Sumatra Barat.

“Sajak Sebatang Lisong” penuh kritik terhadap pemerintah dan juga pelaku seni yang munafik itu ditulis WS Rendra di ITB Bandung 45 tahun lalu, dibacakan Yeyen Ibrahim yang disebut pembawa acara sebagai “Head of Night Culture Park” atau “Kepala Taman Budaya Malam”.

Setelah pembacaan sajak itu level atas panggung dengan suara khasnya, lalu ia berkarta: “Maka, dengan pembacaan sajak ini, sayaHead of Night Culture Parkmembuka secara resmi Pekan Nan Tumpah 2021 ini, terima kasih,” kataHead of Night Culture Park ini.

Sorak-sorai pun membahana dari ratusan penonton yang memadati halaman depan Taman Budaya ini. 

Sebelum dibuka oleh Head of Night Culture Park, Undri, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatra Barat, Aprimas, mewakili Kepala Dinas Kebudayaan Sumatra Barat, dan Tenku Raja Ganesha, Ketua Pelaksana Pekan Nan Tumpah 2021 memberikan aprisiasi dan dan sambutan terhadap iven dua tahunan ini.

Arah baru pembangunan kebudayaan menempatkan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa. Usaha ke arah tersebut tidak bisa dilaksanakan secara pribadi, namun bersama

dalam bingkai ekosistem kebudayaan. Dan ini yang sedang dilakukan dalam Pekan Nan Tumpah yang sudah digelar yang keenam kalinya,” kata Undri.

Ia katakan lebih jauh, ekosistem kebudayaan tidaklah dapat tumbuh dengan sendirinya, melainkan dengan adanya rangsangan untuk dapat tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyararakat.

“Ruang-ruang terbuka harus digerakkan untuk tumbuh dan berkembang sehingga dapat memastikan ekosistem tersebut berjalan dengan baik. Dalam kerangka itulah sebenarnya, Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) melaksanakan Pekan Nan Tumpah dengan festival dua tahunan ini. Jejaring dan kerja sama lintas komunitas pun direkat, dalam pondasi ke arah mewujudkan ekosistem kebudayaan itu sendiri,” terangnya.

Sebagai salah sebuah organisasi perangkat daerah di Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, kata Aprimas, yang juga Kepala Bidang Warisan Budaya dan Bahasa Minangkabau (WBBM) di Dinas Kebudayaan Sumatra Barat mengatakan, Fesival Pekan Nan Tumpah 2021 memberikan makna yang cukup besar dalam kerangka pemajuan kebudayaan di Sumatra Barat.

“Konsistensi KSNT melaksanakan program dua tahunan ini dengan “militansi” yang tinggi, layak diapresiasi. Jarang atau malah tak ada komunitas seni di Sumatra Barat yang memiliki napas panjang menggelar festival yang sudah jalan selama 12 tahun ini. Saya pribadi mengikuti saksama perjalanan kegiatan ini. Dinas Kebudayaan mendukung kegiatan ini,” sebut Aprimas.

Sementara Tenku Raja Ganesha, menguraikan lebih jauh pola kerja kolektif dan kolaboratif pelaksanaan Pekan Nan Tumpah 2021 ini.

Pekan Nan Tumpah kali ini merupakan penyelenggaraan ke-6 yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2021. Namun batal terlaksana karena banyak hal, salah satunya pandemi Covid-19. Untuk tetap mempertahankan konsistensi, maka Pekan Nan Tumpah kali ini tetap dinamakan Pekan Nan Tumpah 2021 yang mengusung tema “Pandemi HahaHihi; Lain Sakit Lain Diobat” meski dilaksanakan pada tahun 2022.

“Pekan Nan Tumpah 2021 dikelola secara swadaya. Melibatkan setidaknya 45 partisipan (seniman dan kelompok) serta menjaring lebih kurang 30 pelaku UMKM lokal,” ujar Tenku, yang juga seorang pemusik ini.

Selain itu, struktur kepanitiaan melibatkan setidaknya 40 kreator lintas sektor. Pekan Nan Tumpah tidak akan berdiri kokoh oleh satu atau dua punggung. Ia ditopang oleh banyak punggung. Sebagaimana layaknya Pekan Nan Tumpah sebelumnya, selalu disambut sebagai sebuah perayaan oleh setiap individu yang terlibat di dalamnya.

“Segala kendala dan ketiadaan tetap disambut baik sebagai bagian dari proses berhaha-hihi. Keadaan membuat punggung-punggung yang menopang Pekan Nan Tumpah terbiasa bernegosiasi dengan keadaan. Kolektivitas, militansi, serta komitmen untuk tetap mengedepankan kepentingan bersama membuat Pekan Nan Tumpah tetap ada dan akan terus ada,” urainya.  

Orasi "Filsafat", Musik dan Instalasi

Malam hangat dengan panggung utama yang artistif dan estetif—panggung ini ‘bekas’ properti pementasan “Catatan Si Padang” tahun lalu—semakin hidup  ketika debut Kelompok Musik Naramajas tampil membuka tirai panggung. Ada 6 lagu—yang sebelumnya berupa puisi berbagai penyair—dibawakan Naramajas dengan vokalis Eci.

Malam pun kian semarak setelah penampilan musik Naramajas, penyelenggara menyilakan semua tetamu menuju ruang Geleri Rupa untuk jadi saksi peristiwa budaya berikutnya.

Di teras Galeri Seni Rupa itu, sebelum penyaksi dipernankan masuk menyaksikan karya-karya rupa yang dipajang, mereka disambut “orasi filsafat” yang disampaikan Kamal Guci, seorang “filsuf” seniman. Kamal Guci menyampaikan orasi filsafatnya sembari dengan santaii berjalan-jalan dan kadang memegang tonggak gedung itu.

“Pada akhirnya, kesenian itu—kita tak bisa pungkiri dan tolak—ketakjubannya akan bermuara kepada Sang Ilahi. Seniman sebagai pencipta karya tak akan bisa sampai kapan pun menggeser keagungan karya Sang Pencipta,” sebut Kamal Guci dengan suara bariton yang serak.

Setelah 10 menit berfilsafat, yang ditutupnya dengan seuntai sajak, penyaksi memberi aplus lalu pintu galeri dibuka. Karya rupa instalasi dan performing art menyambut penonton. Lalu, disambut bau randang, makanan khas Minangkabau, yang ternyata di sudut kanan ruang pameran itu, sebagain perupa dan tetamu sedang basijadi makan bajamba. Mereka menciptakan sebuah pertunjukan pula dengan makan bajamba. Randang ini dimasak anggota Komunitas Rupa Belanak di halaman Gedung Galerim yang sduah mulai diolah sejak pukul 10.00 pagi.

“Ini randang khas dari Agam, pakai ubi,” kata tukang masak randang itu.

Sekitaran  lokasi Pekan Nan Tumpah 2021, puluhan pelaku usaha kecil dan menengah telah melakukan aktivitas jual belinya. Bermacam-macam varian minuman, kue-kue dijual dan makanan ringan disediakan.

“Sebuah helat budaya yang sesungguhnya itu yang begini inilah. Ada efeknya kepada masyarakat kendati. Ekosistem kebudayaan yang dibangun memberi kemanfaatan pada sektor lain,” kata Ary Sastra, pegiat seni di Padang . SSC/MN



BACA JUGA