Syofyani Bustamam, Sosok Lembut Bermakna Kekuatan

IN MEMORIAM

Sabtu, 05/03/2022 13:51 WIB
Syofyani  Bustaman

Syofyani Bustaman

OLEH Indrayuda (Koreografer)

 Ibu Ani—demikian kami memanggillnya—menginjakan kaki di Hall SMP/SMA Semen Padang. Para penari berkumpul mendengarkan instruksi asisten Ibu Ani yang berdiri di sampingnya. Saya sendiri berada dalam penari yang berkumpul itu. Ibu Ani kemudian mengarahkan kami dengan lembut mengenai proses latihan dan tentang karya yang akan dibawakan. Saya yang masih wira wiri, acuh tak acuh mendengar paparannya.

Sampailah suatu ketika saya dipanggil ke depan dan dimarahi habis sama Ibu Ani dengan kata-kata yang tegas tetapi tetap lembut. Inilah pertama kali kata lecut seorang Syofiani pada saya:

"Kamu geraknnya bagus tapi disiplin dan keseriusan kamu sangat buruk, kapan kamu menjadi penari yang bagus! Kalau tidak mau ikut latihan silakan tinggalkan ruangan ini," kata Ibu Ani.

Akhirnya saya terdiam tetapi dalam hati saya, ya kalau tidak menari ‘kan saya masih pemain bola? Untuk main bola, di Sekolah Semen Padang saya masih tergolong pemain top. Namun dalam termenung saya dihampiri.

"Kamu masih mau latihan tari? Jika masih mau, saya beri kesempatan. Menurut saya teknik kamu bagus dan apakah kamu pernah latihan silat?"

Saya jawab: “Iya...”

Semenjak kelembutan hadir sebagai kekuatan baik bagi saya. Ibu u Syofyani menjadikan saya sebagai orang yang pada akhirnya serius dengan gerak tari. Meskipun saya juga menjadi seorang atlet dan pesepak bola tetapi dorongan Ibu Syofyani pada saya membuat saya punya obsesi untuk juga menjadi seniman tari.

" In... Kamu punya skil yang bagus dari penari senior. Karakter kamu bagus," kata Ibu Ani dengan kelembutan.

"Sebaiknya In latihan di Padang di sanggar saja!”

 “Insyaallah. Kan masih banyak penari senior Buk," jawab saya.

Dengan tegas Ibu Ani setengah membentak saya. "Kamu mau jadi orang hebat ngak? Harus masuk sanggar di Padang,” katanya.

“Kamu anak ibu yang punya skil. Harus dikembangkan!" Bentaknya

Sayapun terdiam.

Akhirnya sesi proyek Ibu Ani di Indarung (Yayasan Igasar Semen Padang berakhir) dan ia berpesan pada saya. "In nanti ibu tunggu di sanggar di Padang." Maklum waktu itu, kami di Indaruang masih Padang luar kota. Saat itu, kalau ke Pasar Raya masih menyebut ke Padang. Semenjak itu hubungan dengan  Ibu Ani mulai terpisahkan oleh jarak.

Ketika ada tari maasal tahun 1983, Ibu Ani menagih janji lagi untuk bergabung ke Sanggarnya di Jalan Nuri No 7 Air Tawar. " In ayo latihan di sanggar,” katanya. Dengan sungkan saya jawab. “Udah masuk Indojati Buk.” Betapa rawut mukanya berubah. Saya jadi tak enak. Ibu Ani tampak kecewa karena saya lebih memilih Indojati. Padahal ia yang mengasuh saya setelah era Gusmiati Suid di Indarung. Saya terdiam.

“Kok bisa kamu ke situ? Yah nanti kamu kuliah di Sendratasik saja,” tegasnya.

Betapa kecewanya seorang Ibu terhadap anaknya. Singkat cerita, tahun 1984 ketika Ibu Ani mengajar di Universitas Bung Hatta ia bertanya tentag kuliah saya di Fakultrs Ekonomi? Saya jawab: “Biasa2 saja buk.” Akhirnya Ibu Ani menyarankan lagi. “Duniamu di tari In, bukan ekonomi,” katanya.

Akhirnya saya ambil kuliah di dua kampus: IKIP dan UBH. Dan ketemu lagi dengan guru saya Ibu Ani di IKIP. Ia mempromosikan saya sebagai kadernya di IKIP. Ternyata apa yang dikatakan Ibu benar adanya: Dunia saya di tari, bukan di ekonomi.

Ketika saya memenangkan gelar Penata Tari Terbaik dengan karya Terbaik Nasional tahun 1991, Ibu Ani merayakan kemenangan saya sekaligus merayakan ulang tahun saya dengan calon menantu Ibu Ani (Jos/suami Dada) di rumah makan di Sawahan. Alangkah bahagia saya. Padahal saya membesarkan Indojati, b ukan sanggar Syofyani tetapi bagi Ibu Ani (Mama Ani) saya adalah anak kesayangannya di luar anggota sanggarnya.

Banyak wejangan yang keras untuk saya tetapi disampaikan dalam kelembutan. Ketegasannya sangat saya rasakan, ketika kami satu tim dari Indonesia tur Eropa. Saya dan Ibu Ani berposisi sebagai koreograger. Lebih kurang 3 bulan di Eropa saya sering kena tegur soal menempatkan susunan penari. Bersama Dasman Ori selalu kena marah karena Ibu Ani ketika itu sebagai stage manager.

Kelembutan Ibu Ani tapi memendam ketegasan yang sulit ditawar. Buah dari ketegasannya membuat saya menjadi seperti ini.

Ada kata yang tegas beliau katakan. "In.., Kamu anak ibu meskipun kamu secara organisasi bukan berada di bawah sanggar ibu. Jadi kamu jangan anggap ibu orang lain atau sainganmu. Silakan kamu di Indojati. Kesuksesanmu secara pribadi adalah kesuksesan seorang Syofyani,” katanya tegas.

Seperti biasa saya terdiam.

Pada 2 Maret 2022, saya mendapat kabar dari Alvin Joni (kerabat Ibu Ani), bahwa beliau sakit dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Achmad Muchtar Bukittinggi. Dan katanya tidak bisa dilihat secara langsung.  Saya terenyuh dan merasa sedih. Belum bisa berbuat banyak bagi Mama Ani (panggilan sayang saya pada beliau). Terakhir saya ditelepon bulan Oktober 2021, yah menanyakan kegiatan saya dan tentang Kampus Sendaratsik.

Ketika mendengar Ibu Ani masuk dirawat dengan indikasi penyakit perpapar Covid-19, saya selalu berdoa kepada Allah Swt agar diangkat penyakitnya karena masih banyak yang belum saya gali dari dirinya.

Pukul 15.00 pada Jumat 5 Maret 2022, saya ditelepon oleh Alvin Joni. Ia menyampaikan kabar duka Mama Ani telah mendahului kita. Saya tertegun. Saya merasa berdosa padanya. Belum dapat berbuat banyak dan minta maaf atas kenakalan saya masa kecil dulu.

Saat ini saya hanya berdoa agar Mama Ani di tempatkan  di surganya Allah Swt dan husnul khatimah. Amin. Saya janji, sebisa saya akan melanjutkan perjuangan dan cita-citanya yang tertunda.

Selamat jalan Mama Ani. Semoga Allah Swt menempatkan surganya untuk Mama Ani.

Padang, Jumat malam, 5 Maret 2022

Iklan

BACA JUGA