Gedung Pertemuan Bagindo Aziz Chan dan Segenap Kenangan Menyertainya

-

Selasa, 08/02/2022 19:21 WIB

OLEH Yeyen Kiram (Warga Kota Padang dan pendiri Perkumpulan Cagar Budaya Kota Padang)

Wali kota Padang Hendri Septa, Senin  7 Februari 2022, meresmikan rencana pembangunan "Youth Centre" ( entah kenapa, pakai bahasa Inggris?) tempat yang sedianya akan menfasilitasi aktivitas dan kreativitas bagi para anak muda. Seharusnya ini kabar gembira bagi warga Kota Paling karena menambah sebuah lagi pusat tempat dalam berkreasi dan aktivitas anak muda. Di samping telah adanya Taman Budaya Sumatra Barat dan GOR H Agus Salim.

Namun pembangunan gedung yang direncanakan tiga lantai tersebut, memerlukan waktu 6 bulan lama pembangunannya, dengan lokasi persis di bekas Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang, tepatnya di gedung yang sebelumnya dikenal dengan nama Gedung Pertemuan Bagindo Aziz Chan, Padang di Jalan Bagindo Aziz Chan.

Uniknya, Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sendiri terpaksa harus menyewa salah satu gedung milik Yayasan Univirsitas Bung Hatta, di Ulakkarang. Sementara Pemerintah Kota Padang malah ternyata mampu membangun sebuah gedung baru?

Bagi mereka yang mengenal Padang, sangatlah mengenal bangunan Gedung Bagindo Aziz Chan ini. Berada tepat di hadapan lapangan Imam Bonjol sekarang. Sebuah bangunan lama, berwarna krem kecokelatan kopi, dengan beberapa tiang tinggi serta teras beranda  memanjang sebagai pelatar.

Bahagian depan halaman, tepat tak jauh di tiang bendera, terdapat patung dada perunggu, siluet wajah Bagindo Aziz Chan, salah seorang Wali Kota Padang.

Gedung ini, nyaris di sepanjang revolusi mengapi, sampai kemudian musibah gempa bumi pada tahun 2007 dan 2009 silam, adalah "saksi' dari ribuan peristiwa yang menandai sejarah kota.

Gedung Pertemuan Bagindo Aziz Chan sendiri adalah sebuah bangunan yang memanfaatkan salah satu warisan bangunan kolonial untuk kebutuhan publik warga kota. Diberi nama Bagindo Aziz Chan pada masa Pemerintahan Wali Kota Sjahrul Ujud. Sebelumnya hanya bernama gedung pertemuan saja, setelah kolonial Belanda selesai berkuasa di kota ini. Bersifat terbuka dan bisa diakses oleh siapapun.

Selain berada di lokasi yang strategis, tepat di pusat kota, dan jarak yang tak terlalu jauh dari kantor Balaikota sendiri (sebelum kemudian kantor dan aktivitas wali kota berpindah kantor ke kawasan Air Pacah, By Pass, Padang)-- membuat bangunan ini menjadi salah satu lokasi paling favorit untuk menunaikan pelbagai kegiatan warga. Mulai dari acara perpisahan sekolah, baralek, pemilihan putra-putri duta kecantikan, fashion show, seminar, penataran, pelatihan, pelantikan pejabat dan masih banyak lagi, pernah memanfaatkan keberadaan bangunan ini. Seolah hampir seluruh aktivitas warga kota, menjadi tumpah di bangunan ini. Karena memang dapat digunakan oleh pihak manapun, dan kapan saja. Asal saja jadwal satu sama lainnya, tidak bersamaan saja.

Namun di balik semua manfaat gedung tersebut, sesungguhnya seberapa banyak pulakah yang mengetahui, bagaimana sejarah memanjang, mengawali pembangunan gedung, serta perubahan-perubahan yang menyertainya?  Hingga kemudian, kita mengenalnya sebagai salah satu dari saksi bisu pertumbuhan sebuah kota bernama Padang?

Dalam banyak catatan sejarah, termasuk yang ditulis oleh Rusli Amran tentang Padang, (Padang Riwayatmu Dulu, 1986 ) sebagai salah satu kota metropolitan dan diperhitungkan di sepanjang kawasan pantai barat Sumatera, periode sepanjang abad-18 hingga akhir abad-19. Indikasinya adalah, dengan kian ramai  berdirinya  beberapa kantor serikat dagang bersifat internasional, bank internasional, dan perusahaan ekspor impor. Ini menjadi sebab kemudian lahirnya beberapa kantor koran sebagai aktivitas media informasi, hotel,  dan bangunan lainnya seperti rumah atau tempat hiburan (sekarang bisa jadi disebut, seperti kafe). Tempat hiburan tersebut dinamakan " ballroom", atau dalam istilah rumah dansa, tempat bersenang-senang, berdansa-dansi bebas.

Mungkin pengggunaan kata "ball" yang diartikan harfiah sebagai "bola", sehingga akhirnya lebih dikenal dengan nama "rumah bola".

Membuat rumah bola di mana-mana, memang ciri khas dari kolonial Belanda. Bahkan di Padang sendiri, diketahui terdapat sekitar 6 buah bangunan rumah bola dengan peruntukan yang berbeda masing-masingnya.

Padahal, pada saat didirikan pada tahun 1847 (namun ada juga yang menulis tahun 1843) tempat tersebut lebih dikenal dengan fungsinya sebagai  bangunan untuk kegiatan persekutuan, komunitas dari kelompok atau ajang sosial, disebut juga " Societeitsweg. " (Freek Colombijn, 2006).

Gedung yang dibangun megah pada masanya, terdiri dari 12 buah pilar kokoh berwarna putih terang di bahagian depan. Pada samping kanan, terdapat semacam selasar terbuka, menuju belakang gedung, sebagaimana bangunan khas masa itu. Sementara, satu pintu utama, kokoh terbuka di bahagian tengah, terbuat dari bahan jenis kayu yang amat kokoh (belum ditemukan data atau catatan khusus tentang material fisik bangunan).

Gedung itu sendiri, dibangun pada masa Pemerintahan Gubernur de Strues atas dasar gagasan dari E Francis, salah seorang residen di Sumatera Barat saat itu (1834-1837), dimaksud untuk memberi tempat bagi kelompok-kelompok sosial yang ada saat itu berdasarkan klas atau kastanya.

Nah, "de eendracht" (persatuan) sebetulnya telah dipakai sejak tahun 1847 sebagai  tempat melaksanakan upacara-upacara dan perayaan-perayaan khusus resmi pemerintah.

Baru pada tahun 1887 kemudian, atas saran Baumer, sang pemilik koran Sumatera Bode, yang cukup berpengaruh saat itu, fungsinya lalu ditambah lagi sebagai rumah hiburan. Tetapi hanya khusus bagi kalangan militer Belanda, buat bersenang-senang. Di samping pejabat pemerintahan dan orang-orang politik, tentunya. Tak dilarang datang, asalkan diundang resmi.

Renovasi yang dilakukan Baumer adalah, menambah bahagian belakang bangunan, ditambah dengan ruangan khusus untuk pesta dansa, lengkap dengan pentas balkon tempat orkestra pemusik yang mengiringi. Segenap biaya renovasi, pembangunan nya ditanggung oleh Baumer.

Setelah huru hara PD II pada tahun 1954, gedung tersebut kemudian digunakan oleh lembaga milik Amerika, USIS sebagai perpustakaan dan pusat kajian dengan nama Lincoln Library. Tak banyak lagi setelah itu ditemukan catatan tentang fungsi dan kegunaan bangunan, selain bentuk fisik bahagian depan yang mengalami perubahan.

Mungkin, huru-hara dan keriuhan revolusi fisik pada masa itu menenggalamkan perhatian publik terhadap keberadaan bangunan secara khusus.

Sungguhpun demikian, tentu saja tak bisa menghilangkan kandungan sejarah yang dimilikinya secara langsung. Kalaupun akan membangun saja, merekonstruksi kembali bentuk lama, dengan fungsi baru yang dibutuhkan adalah sebuah cara lain dalam merawat ingatan kolektif warga kota saat ini.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, khususnya setelah tragedi PRRI, bahagian depan diberi gonjong, penanda gedung itu berada di Sumatera Barat.

Sekarang bukti sejarah tersebut dengan adanya rencana pembangunan pusat kreatif pemuda (saya lebih memilih penamaan ini) -- akan hilang dari memori kolektif generasi berikutnya seiring dengan raibnya fisik bangunan. Atas dasar belum masuknya bangunan dalam daftar Cagar Budaya di Kota Padang.

Padahal berdasarkan UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 5, jelas tercantum bahwa bangunan yang berusia lebih 50 tahun sudah bisa masuk kategori objek Cagar Budaya.

Maka siapakah yang lalai dalam hal ini sebetulnya? Pemerintah dengan instansi terkaitnya kah? Atau organisasi, sebagai representasi warga kota, yang ada?

Pertanyaan berikut adalah, kenapa Pemerintah Kota Padang saat ini harus menghabiskan semua bentuk bangunan dan menggantinya dengan desain yang baru?

Jika benar adanya argumen bahwa, gedung pertemuan Bagindo Aziz Chan yang dibongkar sekarang, bukanlah lokasi asli dari bangunan de eendracht sebelumnya, lalu dimanakah lokasi de eendracht yang sebenarnya? Maka sejak kapankah dibangun lokasi gedung baru tersebut?  Siapakah pihak yang telah membangunnya?

Jika benar ditunjukan ada di sebelah kiri bangunan gedung pertemuan (sebagaimana keterangan Marshaleh Adaz, selaku Kabid Cagar Budaya, di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Padang) tentulah akan ditemui sisa tapak bangunan lama? Adakah bukti yang bisa menunjukkan?

Dan kenapa, bahagian interior dalam gedung bangunan pertemuan, masih menunjukkan kekhasan arsitektur gaya kolonial?

Dengan tiang-tiang yang tinggi, garis plafon serta daun jendela, balkon serta bentuk gantungan lampu tengah yang masih central, semua merupakan ciri khas bangunan tropis khas masa itu. Jika demikian, alangkah gegabah, tanpa melalui uji akademis menyebutkan bahwa lokasi bangunan bersejarah dimaksud, sebetulnya sudah tak ada lagi.

Pemerintah Kota Padang dalam hal ini pun melalui Bidang Cagar Budaya semestinya bisa menahan diri dan bersabar dahulu, mendengarkan pendapat publik lainnya terhadap latar, eksistensi dan nilai bangunan.

Pembangun pusat kreatif anak muda, rasanya belum mendesak di saat media digital masih dalam proses perkembangan. Media industri kreatif yang di sasar pun masih menyediakan alternatif lainya, dibanding pembangunan fisik yang malah menuai kontrovesi dan mudharat.

Alangkah lucunya, jika para pejabat dan petinggi kota ini, gemar pelesir ke luar negeri dengan memanfaatkan bangunan-bangunan tua bersejarah di sana, tetapi malah tanpa pertimbangan yang matang, menghabisi sejarah dari bangunan tua yang ada di kotanya sendiri.

Salam perjuangan.***



BACA JUGA