
Segera setelah Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta mengumandangkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat, Sjahruddin, seorang wartawan muda Kantor Berita Domei (kini LKBN Antara), menyelinapkan membawa secarik kertas.
Dia berjalan bergegas tapi harus berhati-hati meninggalkan lokasi karena tentara Jepang masih berkeliaran. Tertangkap, nyawa melayang.
Kertas salinan teks proklamasi itu harus dibawa Sjahruddin ke Gedung Hosokyoku (Gedung RRI sekarang) di Jalan Gambir 4-5 (sekarang Jalan Merdeka Barat) Jakarta agar bisa disiarkan secara luas. Saat itu, Gedung Hosokyoku masih dalam pengawalan tentara Jepang.
Tapi itu bukan pekerjaan mudah. Berbagai strategi dan taktik dilakukannya agar kertas yang sangat bernilai itu bisa sampai ke ruang siaran Hosokyoku. Salah satu usaha yang dilakukan Sjahruddin adalah melompat tembok belakang kantor radio itu. Soalnya, pintu depan tak mungkin dilewati karena Kempetai Jepang masih menjaganya dengan ketat.
Alhasil, Sjahruddin berhasil masuk diam-diam, lalu memberikan secarik kertas itu kepada penyiar Jusuf Ronodipuro. Di balik kertas itu tertulis: “Harap berita terlampir disiarkan!” Kalimat berisi perintah itu ditulis Adam Malik yang saat itu Kepala Kantor Berita Domei.
Tepat pukul 19.00 WIB, Jumat, 17 Agustus 1945, dari salah satu ruang berita luar negeri, Jusuf Ronodipuro membacakan selembar kertas yang diselundupkan Sjahruddin itu dengan suara bergetar tanpa ragu. Berita itu seketika mendunia.
“Republik Indonesia telah merdeka sejak pukul 10 tadi pagi!” pekik Jusuf seperti dikutip dari Majalah Tempo. Berita kemerdekaan Indonesia itu, menyebar luas tak bisa dibendung. Puluhan radio-radio menyiarkan ulang pembacaan teks proklamasi itu, termasuk di luar negeri.
Wartawati SK Trimurti menjelaskan, pada tanggal 18 Agustus 1945, sebuah kantor berita Amerika di San Fransisco telah memberitakan kemerdekaan sebuah negara baru di Asia Tenggara bernama Indonesia.
Cara penyiaran yang dilakukan Sjahruddin dan Juruf karena Jenderal Yamamoto, pemimpin tentara Jepang di Indonesia, memerintahkan berita tentang proklamasi tidak disebarluaskan. Kantor Berita Domei dan Harian Asia Raya yang masih dikuasai Jepang juga dilarang memuat berita proklamasi.
Dua jam setelah Hosokyoku menyiarkan, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara tanpa setahu mereka. Tapi para penyiar itu bertekat terus menyiarkan berita proklamasi itu.
Wartawan pejuang Sjahruddin lahir di Curup, Sumatera Selatan pada 17 September 1919. Dia merupakan salah seorang putra Yasin gelar Datuk Indo Maradjo, guru kepala Gouvernement di zaman Belanda, yang berasal dari Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman.
Sjahruddin merantau ke Jakarta setelah menamatkan pendidikan pada Taman Dewasa Raya (sekolah aman Siswa, setingkat SMA) di Bukittinggi. Galibnya anak-anak Minang, merantau merupakan sebuah pilihan untuk bisa berkembang. Dalam usia 20 tahun, Sjahruddin berangkat ke Jakarta lalu memasuki dunia kewartawanan.
Sjahruddin mengawali kariernya di surat kabar Bintang Timoer. Lalu kemudian pindah ke Barita Oemoem. Dari surat kabar Berita Oemoem, dia menetapkan pilihannya menjadi wartawan Kantor Berita Domei (Kantor Berita Antara) yang dipimpin oleh trio wartawan senior Adam Malik, Soemanang, dan Sipahutar.
H. Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie dalam buku Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan Komentar Wartawan Tua) yang diterbitkan PPIM (2005) menceritakan, setelah Indonesia menyatakan merdeka, pada Januari 1946, Adam Malik, Kepala Kantor Berita Antara menugaskan wartawan Sjahruddin berangkat ke Singapura guna merintis jalan untuk melebarkan sayap Kantor Berita Antara di luar negeri.
“Adam Malik tidak memberi bekal Sjahruddin dengan biaya perjalanan dan biaya untuk tinggal menetap di Singapura,” tulis wartawan senior Kamardi Rais.
Ditugaskan tanpa bekal, Sjahruddin tak kehabisan akal bagaimana berangkat ke Singapura. Bersama Sofyan Muchtar, keduanya berangkat meninggalkan Jakarta menuju Palembang. Tujuan ke Palembang untuk menemui Dr. A.K Gani, Gubernur Sumatera Selatan saat itu. Dr. A.K Gani selaian dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, dia juga seorang pengusaha ekspor berbagai komoditas, terutama karet, ke Singapura.
Aktivitas ekspor yang dilakukan A.K Gani kebanyakan dengan cara diselundupkan. Saat itu A.K. Gani dikenal sebagai seorang smuggler, penyelundup.
“Ia menyelundupkan karet ke Singapura dan dari Singapura menyelundupkan senjata untuk para pejuang, para gerilyawan menghadapi Belanda,” kisah Kamardi Rais.
Bertolak jadi Jakarta, Sjahruddin membawa barang-barang perak buatan Kota Gede Yogyakarta untuk dijual di Singapura. Dia bersama Sofyan Muchtar dari Palembang menumpang kapal yang membawa karet tujuan Singapura. Sesampai di Singapura, karet itu ditampung pedagang penadah.
Tiba di Singapura, Sjahruddin membuka komunikasi dan berkenalan dengan warga Melayu setempat. Mereka sangat senang mendengar Indonesia, negara tetangganya telah merdeka.
Warga Melayu ini bersimpati dan mendukung tugas-tugas Sjahruddin untuk membuka cabang Kantor Berita Antara di Singapura. Selain bertugas sebagai wartawan, Sjahruddin juga mengemban tangung jawab meyakinkan negera-negara lainnya yang punya perwakilan di Singapura untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Hidup di perantauan memang tak semudah di kampung halaman. Hasil penjualan barang-barang perak makin menipis. Ketika penopang hidup sudah nyaris habis, kiriman uang dari A.K. Gani terkadang menjadi “penyelamat” hidupnya.
“Tapi baginya soal keuangan bukan yang utama. Tugas prioritasnya ialah mendirikan kantor perwakilan Antara di Singapura, dengan susah payah berhasil diwujudkan. Kantor cabang Antara berhasil didirikannya di kawasan elite Raffles Square,” papar Kamardi Rais yang pernah menjabat Ketua PWI Sumbar dua periode ini.
Dikisahkan Kamardi Rais dalam tulisan itu, sehari menjelang peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama, 16 Agustus 1946, Sjahruddin meninggal dunia karena terkena ledakan granat di rumah salah seorang temannya di Singapura.
Keesokan harinya, pada tanggal 17 Agustus 1946, jenazahnya dimakamkan di kampung Melayu Singapura. Seorang pejuang telah pergi buat selama-lamanya tanpa dapat menikmati hasil perjuangannya.
“Menurut keterangan, sejumlah senjata yang sudah terkumpul di tangannya siap untuk dikirimkan kepada Dr. A.K. Gani di Palembang. Mungkin karena Sjahruddin tak tahu caranya, sebuah granat telah meledak ketika sedang diamatinya,” papar Kamardi Rais. Nasrul Azwar
Diambil dari buku "121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang dan Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong" (2018)