Musibah gempa bumi yang melanda Sumatera Barat cukup menyentakkan. Peristiwanya terjadi persis di siang bolong. Ketika orang sedang sibuk bekerja dan pelajar bersekolah. Begitupun korban yang berjatuhan cukup membuat kita miris. Puluhan ribu rumah dan sekolah pun hancur berantakan.
Di tengah-tengah deraan bencana alam itu, ada yang terasa kurang memainkan peran. Setidaknya kami di redaksi Padang Ekspres menerima keluhan dua kepala daerah yang berharap pemberitaan tentang sebuah kabupaten yang menghadapi kehancuran cukup berat namun kurang terekspos?
Bicara tentang ekspos, tentu saja pikiran kita akan menuju pada sebuah lembaga yang bernama humas atau inforkom. Bukan memuji Kantor Inforkom Pemkab Tanahdatar yang begitu tanggap, ketika kebakaran istano. Media tidak hanya mendapat informasi secara cepat. Juga di back-up dengan foto-foto malam kejadian itu, esoknya juga tersedia dokumentasi lengkap peristiwa kebakaran dalam bentuk CD. Tak pelak, setidaknya pembaca mendapat suguhan liputan yang lengkap.
Terus terang ketika setiap kali musibah bencana alam, beban paling besar itu berada di pundak kantor yang mengurus informasi dan dokumentasi. Pertanyaan akan bergulir ke sana, apalagi bagi media, selain realitas lapangan yang menjadi fakta liputan, data-data pendukung lain, termasuk kebijakan cepat yang diambil pihak pemerintah untuk mengatasi kondisi darurat, informasinya biasa berada pada lembaga humas dan inforkom.
Itulah sebabnya, orang-orang yang bekerja di lembaga humas dan inforkom dituntut bekerja cepat dan proaktif. Terutama dalam mensinergikan informasi dan visualisasi lapangan sehingga akan menggambarkan secara komprehensif kejadian yang sesungguhnya.
Sekiranya ada peristiwa yang tidak terangkum secara utuh, menyebabkan terisolasi dalam hal informasi, wajar memang kepala daerahnya bereaksi karena itu adalah sesuatu yang memprihatinkan. Dan ketika harapan untuk diberitakan langsung disampaikan kepala daerah bersangkutan ke redaksi surat kabar, sekaligus menjadi sinyal humas dan inforkom tidak memainkan peran secara optimal.
Terus terang, meskipun kantor-kantor redaksi surat kabar sudah membuka diri 24 jam untuk berbagai kalangan yang ingin menyampaikan kabar, masih ada lembaga-lembaga yang belum memanfaatkan. Padahal tinggal telepon, tinggal ngefax, atau meng-email saja, selesai. Bahkan foto tak perlu cetak ke studio karena kita sudah hidup di abad digital, cukup di-scan dan langsung bisa dikirim via e-mail (surat elektronik).
Adalah wajar, kepala-kepala daerah yang berlatar belakang humas jadi gemas ketika melihat ada momen bagus bahkan bencana yang telah merenggut banyak korban ternyata humasnya atau inforkomnya tidur alias tak beraksi ke media?
Kepada teman-teman kepala humas dan inforkom secara berseloroh saya pernah bilang: “Hati-hati, Pak Gub, Bupati atau Sekda Anda adalah orang humas. Dia bisa saja tanpa setahu Anda langsung berkomunikasi dengan redaksi. Jangan sampai tertidur...”
E..., ternyata seloroh saya itu, pada saat-saat tertentu terbukti. Banyak kepala humas dan inforkom ketika pagi hari melihat koran kaget baca ekspos “sang bos”, yang bicara dengan wartawan semalam. Tapi tentu itu tidak berarti humas atau inforkom kecele. Setidaknya, inilah salah satu kenyataan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Humas dan inforkom bisa di-by pass.
Berangkat dari ilustrasi di atas, kepala humas dan inforkom pemerintah daerah, perlu menjadikanya sebagai studi kasus, agar kelak tidak menjadi humas yang melempem. Perlu aktif dan proaktif. Bantuklah tim kerja yang dinamis, dapat melihat masalah secara cepat dan menghimpunnya. Menjadi humas harus dinamis, kreatif, serta inovatif.
Jangan hanya bangga dengan “keahlian” menyiapkan album foto-foto, membuatkan VCD acara-acara, atau pidato-pidato pengarahan pimpinan. Mestilah lebih bangga dengan “kemampuan” menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah dan merespons aspirasi publik untuk selanjutnya menumbuhkan kemandirian lokal dan partisipasi aktif menuju kesejahteraan anak negeri. (Wiztian Yutri)