Minggu, 14/11/2021 11:34 WIB

Menangkan Hati Pembaca

STANDAR kompetensi wartawan awal pekan lalu dibicarakan di Padang. Tema ini diusung Dewan Pers. Sejumlah narasumber tampil sebagai pembicara. Kalangan birokrasi mendominasi hadirin. Acara pun berkembang menjadi dialog ke mana-mana.

Berbicara tentang standar kompentensi wartawan, sebetulnya cerita lama yang masih terus diperdebatkan. Ada makna yang tersirat agar wartawan dalam praktik tidak sampai melakukan malpraktik. Tetaplah berpijak pada dua kekuatan moral, Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Satu di antaranya moral force itu terabaikan, berarti telah terjadi pelanggaran. Sebab, keduanya bersenyawa. Kode Etik itu seolah-olah Peraturan Pelaksanaan (PP-nya) UU 40/99 tentang Pers tersebut.
Mengapa saya menyebut cerita lama?

Bagi media yang hadir dengan niat mencerdaskan dan mencerahkan publik, rekrutmen wartawan menjadi kata kunci, yang dilakukan secara ketat. Bahkan, di luar persyaratan formal, ada persyaratan tambahan dan cukup menentukan, siap bekerja di bawah tekanan?

Testing para calon wartawan tidak lagi dilakukan kantor redaksi media bersangkutan namun diserahkan kepada lembaga independen. Kantor media biasanya menekankan pada kebutuhan saja. Misalnya, yang diperlukan ialah wartawan yang siap kerja keras, visioner ataupun memiliki keuletan dan tingkat kesabaran tinggi. Mereka bisa saja dari berbagai latar belakang pendidikan, seperti sarjana hukum, ekonomi, politik maupun bidang eksakta. Setelah lolos dari lembaga penguji independen, barulah masuk ke wilayah redaksi. Disiapkan, disatuvisikan serta disatunapaskan dengan napas jurnalistik media.

Mengapa ada persyaratan siap bekerja di bawah tekanan?
Persoalannya bukan hanya masalah tenggat karena ruang dan waktu tempat berkreativitas wartawan tak terbatas. Bahkan seorang wartawan bisa 24 jam ronda di lapangan. Mengintip, menguntit, melakukan investigasi sampai merampungkan liputan. Terutama berita-berita peristiwa, seperti bencana alam yang harus dibedah di lapangan. Atau bisa juga perburuan terhadap narasumber yang sangat menentukan, sebagai bahan cross check dan konfirmasi kembali. Sehebat apapun bahan pemberitaan yang sudah dihimpun, tanpa keberimbangan informasi, liputan itu akan kehilangan makna. Bahkan berpotensi dipersoalkan secara hukum.

Pada akhirnya, kekuatan dan kelemahan seorang wartawan terletak pada jam terbang ataupun pada goncangan serta kuatnya badai yang dihadapi. Ini akan membentuk watak, karakter serta mentalitas sang wartawan. Setelah rekrutmen, standar kompetensi wartawan akan menjalar ke kesejahteraan wartawan. Ini penting karena menyangkut kenyamanan dalam bekerja. Misalnya, sudah profesional dalam bekerja tapi perusahaan tidak memberikan kenyamanan dalam hal kesejahteraan. Seorang profesional tentunya akan berpikir ulang: apakah ada masa depan saya di sini?

Ada pemandangan yang kasatmata, bahwa wartawan itu datang dan pergi. Seperti, hijrah dari sebuah media ke media lain. Realitas tersebut sesuatu yang lumrah guna menjawab kepuasan diri, ketika standar kompetensi rekrutmen tak termanifestasikan dalam konteks kepuasan: moril dan materil.

Pada akhirnya, wartawan dalam bekerja harus memenangkan hati pembaca. Mampukah hasil produktivitas kita berupa karya jurnalistik menjawab kebutuhan publik?

Mengingat memenangkan hati rakyat tak ada kaitan dengan besar kecilnya media tapi lebih pada berkualitas tidaknya informasi yang dikemas sebagai industri kata-kata.Jauh dari intrik, isu, fitnah, dan gosip tapi dekat dengan kejujuran, penuh kasih sayang menghibur dan mencerdaskan.

Pada hakikatnya kompetisi antarmedia tidak berlangsung dalam bentuk “adu gerobak” namun pada kejujuran, keikhlasan, dan kemampuan mengemas fakta secara santun serta beradab sehingga dipercaya.

Agaknya pers yang dikelola dengan pikiran yang sehat akan menghasilkan produk mencerahkan dan ia akan memenangkan sekaligus merebut hati pembaca. Dan itulah sebetulnya, gol termutakhir dari pentingnya standar kompetensi wartawan. (Wiztian Yutri)

BACA JUGA