
Abdoel Madjid Usman
ABDOEL MADJID USMAN adalah seorang tokoh wartawan Indonesia yang aktif menulis dan memimpin surat kabar di Padang. Dalam sejarah tercatat bahwa Abdoel Madjid Usman bersama Gaus Mahyuddin asal Pariaman, adalah pemuda pribumi Indonesia pertama yang menjadi mahasiswa di Jepang.
Beristrikan seorang putri bangsawan Jepang, Abdoel Madjid Usman memainkan peranan penting di Kota Padang dan Minangkabau pada tahun-tahun terakhir masa kolonial Belanda dan di zaman pendudukan Jepang. Kedudukannya sebagai pemimpin pergerakan di Sumatra oleh Jepang dipandang setara dengan kedudukan Soekarno sebagai pemimpin di Pulau Jawa.
Wartawan pejuang ini lahir di Padang, 26 Mei 1907 dan meninggal di Jakarta 25 Mei 1955, sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-48. Abdoel Madjid Usman berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Oesman Pandoeko Rajo, adalah Hoofddjaksa (jaksa kepala) di Padang tahun 1920-an, berasal dari keturunan Pagaruyung di Tanah Datar. Sedangkan ibunya, Siti Ralian, adalah keturunan bangsawan yang memiliki harta dan tanah sangat luas di Sungai Barameh, Kota Padang.
Sebagai anak pejabat tinggi Hindia Belanda, Abdoel Madjid Usman berhak bersekolah di sekolah-sekolah yang dikhususnya untuk anak-anak Belanda dan pejabat tinggi pribumi. Pendidikannya dimulai dari Europesche Lagere School (ELS) dan MULO (SMP) Padang. Setelah itu melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS, setingkat SMA zaman Belanda) di Batavia hingga tamat tahun 1927.
Kembali ke Padang, Abdoel Madjid Usman bekerja sebagai griffier (panitera) di Landraad (Pengadilan Negeri) Padang. Pada masa itu, ia sudah memiliki sebuah Harley Davidson, motor besar yang hanya dimiliki segelintir orang Belanda dan kaum pribumi kaya saja di Kota Padang.
Tak lama setelah ayahnya meninggal, tahun 1932, Abdoel Madjid Usman berhenti sebagai pegawai Belanda. Ia berangkat ke Jakarta dan mulai terlibat dengan kaum pergerakan. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904 dan perkenalannya dengan Ichiiro Saadachi, pegawai konsulat Jepang di Batavia, mendorongnya untuk menuntut ilmu ke negeri Matahari Terbit itu.
Atas sokongan biaya dari keluarganya, Abdoel Madjid Usman berangkat ke Jepang akhir tahun 1932 dan sampai di Jepang awal Januari 1933. Kedatangannya ke Jepang untuk melanjutkan studi menarik perhatian wartawan di sana. Berita kedatangannya bersama Gaus Mahyuddin sebagai pribumi Hindia Belanda pertama di Jepang, bahkan diberitakan secara khusus oleh suratkabar Kobe Shimbun.
Abdoel Madjid Usman mengambil keliah ekonomi dan politik di Universitas Meiji. Selama kuliah, ia tercatat mendirikan Serikat Indonesia, organisasi mamahiswa dan pelajar Indonesia di Jepang (1933). Selain itu, ia juga aktif berceramah dan mengikuti berbagai forum mahasiswa asing di Tokyo untuk mempromosikan cita-cita Indonesia merdeka. Beberapa kali ia menjadi wakil Indonesia dalam forum antar-bangsa. Bukan hanya di Jepang, tapi sampai ke Manchuria, wilayah China yang waktu itu diduduki Jepang. Ia memiliki pergaulan luas di kalangan elite politik Jepang.
Menjelang selesai kuliah (1936), Abdoel Madjid Usman berkenalan lalu jatuh cinta dengan Tsuyuko Osada, seorang putri bangsawan samurai Jepang tamatan Tokyo Joshidaigaku (Tokyo Womens University). Karena tertarik dengan cita-cita Abdoel Madjid Usman untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, putri Jepang itu bersedia menikah dengan Madjid, ikut dengannya ke Indonesia,menjadi pemeluk Islam, lalu berganti nama menjadi Siti Aminah Madjid Usman – Hiroko Osada.
Pulang ke Padang menjelang akhir 1936, di kota kelahirannya Madjid langsung mendapat pekerjaan sebagai Hoofdredacteur (Redaktur kepala, semacam pemimpin redaksi, di suratkabar harian Dagblad Radio di Padang. Melalui kedudukan itu, ia banyak menulis tajuk rencana dan artikel yang intinya untuk kemerdekaan Indonesia. Selain memimpin surat kabar, Abdoel Madjid Usman juga terpilih menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Padang dan kemudian menjadi ketuanya.
Tatkala Perang Dunia II berkecamuk, dan Jepang makin luas mengokupasi wilayah jaharan Barat di Asia, Abdoel Madjid Usman yang selalu menyuarakan kemerdekaan dan beristeri orang Jepang pula, makin ketat diawasi polisi rahasia Belanda. Persis pada hari tentara Jepang membom kedudukan Amerika di Honolulu (Hawaii) dan Manila (Filipina), tanggal 7 Desember 1941, Abdoel Madjid Usman dan istrinya ditangkap Belanda. Mulanya di tahan di Batusangkar bersama sejumlah orang Jepang dari berbagai daerah di Sumatra. Dua pekan kemudian Abdoel Madjid Usman beserta istri dan dua anaknya yang masih kecil dikirim dan diinternir di tahanan Garut, Jawa Barat. Selama lebih tiga bulan ia ditahan di sana, bersama antara lain Chairul Saleh, Dasaat, dan Rahman Tamin.
Abdoel Madjid Usman dan sekitar 1.000 tahanan lainnya baru dilepaskan begitu saja setelah Jepang memasuki Indonesia dan Belanda lari tunggang langgang pada bulan Maret 1942. Selepas dari tahanan, ia dan istrinya Siti Aminah, diminta penguasa Jepang di Bandung untuk ikut membantu mengurus administrasi pemerintahan. Ketika itulah Madjid ditemui oleh wartawan Pandji Poestaka, diwawancarai, dan profil berikut pengalamannya selama ditahan Belanda, dimuat dalam majalah tersebut pada edisi bulan April 1942.
Meskipun sudah keluar dari tahanan Belanda, Madjid tidak kunjung diizinkan Jepang kembali ke Padang. Dia baru diizinkan pulang melalui Medan bulan Juni 1942, dengan kapal yang disediakan khusus untuk Madjid sekeluarga dan rombongannya. Rupanya kepulangan Madjid ke Padang baru diizinkan setelah ada kesepakatan antara Tentara Divisi ke-16 yang memerintah Jawa dengan Divisi ke-25 yang menguasai Sumatra. Kesepakatan itu berupa pertukaran (barter) antara Soekarno yang tersasar di Minangkabau dengan Madjid yang berada di Jawa. Posisi dan kedudukan Madjid sebagai pemimpin Indonesia dianggap Jepang setara dengan Soekarno.
Kembali ke Padang, Madjid sudah dinanti pimpinan pemerinmtah militer Jepang. Ia diminta membantu pemerintahan pendudukan Jepang. Madjid dengan penuh wibawa memberi syarat, ia mau membantu sejauh tujuan Jepang adalah untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah syarat itu dipenuhi, Madjid akhirnya bersedia menjadi penasihat gubernur Jepang merangkap jabatan Walikota Padang. Selanjutnya sebagai wartawan, ia menerima kedudukan sebagai pemimpin redaksi suratkabar Padang Nippo.
Pulau Sumatra yang diduduki Jepang waktu itu berada di bawah pemerintahan Gun ke-25 yang berpusat di Singapura. Atas saran Madjid, pusat pemerintahan Sumatra dipindahkan ke Bukittinggi. Selama dua tahun pertama pendudukan Jepang, Madjid dan istrinya yang orang Jepang banyak berperan dalam menjembatani kepentingan rakyat Sumatra, khususnya Minangkabau, dengan tentara Jepang. Mereka suami-istri menggagas berbagai badan yang menghimpun para tokoh Minangkabau dengan tujuan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Ia membentuk Balai Penyelidikan Masyarakat Minangkabau sebagai lembaga yang menghimpun para intelektual Minangkabau, serta mendirikan Kerukunan Minangkabau yang berfungsi sebagai panasihat gubernur Jepang. Mereka berdua pula yang menggagas dan mendesak Jepang agar mendirikan Giyugun, barisan sukarela yang kelak setelah Indonesia merdeka para perwira didikan Jepang itu menjadi inti kekuatan TNI di Sumatra.
Akhir tahun 1943 Abdoel Madjid Usman bersama istri dan dua anaknya berangkat ke Jepang dengan tujuan menyampaikan protes kepada pemerintah militer pusat Jepang di Tokyo. Ia protes karena melihat praktik pendudukan Jepang di Indonesia, khususnya Sumatra, sudah melencen g dari janji semula. Malah pendudukan Jepang membuat rakyat sangat menderita.
Alih-alih protesnya diterima, Abdoel Madjid Usman justru ditawari memimpin pemerintahan sementara Jepang di Sumatra. Tapi ia menolak permintaan itu. Karena itulah, Abdoel Madjid Usman dan keluarganya tidak diizinkan kembali ke Sumatra. Malah dikurung di Hotel Imperial, Tokyo, selama enam bulan berikutnya.
Ketika Jepang mengalami kekalahan-demi-kekalahan dalam Perang Pasifik, dan Abdoel Madjid Usman tak bisa lagi pulang ke Indonesia, ia mengungsi ke kampung istrinya di Kota Kofu, Perfektur Yamanashi, 100 km dari Tokyo. Ketika akhirnya Jepang dibom-atom Amerika lalu menyerah kalah, Abdoel Madjid Usman dijadikan tahanan kota oleh pemerintah militer pendudukan Amerika. Padahal, setelah mengetahui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Abdoel Madjid Usman sudah sangat ingin pulang ke tanah airnya.
Lepas dari tahanan kota selama hampir dua tahun, Abdoel Madjid Usman tak kunjung diizinkan pulang ke Indonesia. Dalam kesempitan ada kesempatan. Mulanya atas sokongan mertuanya, Mr. Osada, ia mulai membangun usaha di Jepang. Awalnya mendirikan dan memimpin pabrik rajut sutra, kemudian mendirikan perusahaan ekspor-impor Indonesia Trading Company (Indotra) di Tokyo. Usahanya cukup berhasil, sehingga bisa membantu banyak mahasiswa Indonesia yang kesulitan biaya hidup di Jepang sehabis perang. Abdoel Madjid Usman juga berkontribusi dalam pembukaan Perwakilan RI di Tokyo tahun 1950. Selain mencarikan gedung, ia juga menyumbangkan sebuah mobil untuk operasional duta besar.
Abdoel Madjid Usman baru diizinkan pulang ke Indonesia setelah Penyerahan Kedaulatan tahun 1950. Pertama kali pulang ke Jakarta, ia ikut hadir dalam peringatan HUT RI ke-5 di Istana Negara. Ia datang ke Istana dan diterima Soekarno dengan membawa sejumlah perlengkapan dari Jepang yang disumbangkan untuk Istana Negara.
Kembali ke Tokyo setelah sebulan di Indonesia, tahun 1952 Madjid dan keluarga pulang habis dari Jepang dengan tekad tinggal di Indonesia dan turut membantu memajukan negara yang telah ikut ia perjuangkan kemerdekaannya.
Di Jakarta Abdoel Madjid Usman mulai membangun usaha, dan sempat dekat dengan Soekarno.
“Kami sering diundang dalam berbagai acara di Istana. Kadang-kadang ikut bersama Presiden menyaksikan pertunjukan wayang semalam suntuk sambil menikmani menu pisang goreng,” kisah Siti Aminah Madjid Usman – Hiroko Osada, dalam buku memoarnya yang diterbitkan Pustaka Obor Indonesia (September 2017).
Tapi hubungan mesra Soekarno dengan Abdoel Madjid Usman nampaknya tidak berlangsung lama. Abdoel Madjid Usman yang kabarnya dulu condong ke Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno, kemudian beralih menjadi pengikut Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. Malah untuk pemilihan umum 1955 ia telah bersedia menjadi calon anggota DPR dari PSI. Guna keperluan kampanye politiknya, dan juga untuk mendukung PSI, Abdoel Madjid Usman lalu menebitkan dan memimpin suratkabar Perantaraan Kita yang terbit dua kali sepekan di Jakarta.
Tapi manusia hanya bisa punya rencana. Putusan di tangan Allah. Malam hari tanggal 25 Mei 1955, Abdoel Madjid Usman mendadak sakit lalu meninggal dunia sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Ia meninggal persis satu hari menjelang ulang tahunnya ke-48. Jenazah wartawan dan pejuang kemerdekaan itu dimakamkan di Perkuburan Karet, Jakarta. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan perjuangannya, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat pada tahun 1989 menganugrahi Piagam Pejuang Perintis Kemerdekaanbuat Alm. Abdoel Madjid Usman. (Hasril Chaniago)
Diambil dari buku "121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang"