Kompleks Perumahan Dosen Universitas Andalas Limau Manih foto unand.ac.id
OLEH Yudhi Andoni
Namanya Icha. Gadis kecil ini baru berumur sekira 11 tahun. Berwajah bulat manis, dengan matanya yang memiliki kerling lembut. Meski telah beberapa kali dijujai dengan cerita lucu, tak terselip pun senyum mampir di bibirnya yang mungil. Ia tetap diam. Menatap dalam seperti si bisu barasian.
Dulu. Tak berapa lama sesungguhnya, ia kehilangan sesuatu yang penting dari hidupnya. Sesuatu yang merengut seluruh tawa dan senyum lugu yang pernah dimiliki seorang kanak-kanak. Pada satu waktu, yang tak akan dilupakannya seumur hidup.
Waktu itu selepas pulang sekolah, ketika sisa-sisa tawanya masih melekat, tetangga dan ibunya membilang bahwa ayah yang ia cintai kecelakaan, dan akhirnya meninggal tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal pada dirinya. Ia merasa terenggut! Ia menjadi yatim dengan rasa iba yang tiba-tiba.
Ia kala itu cuma terdiam. Tak tahu membilang apa. Maklum umurnya belum bisa membuatnya mengerti apa yang sedang dan akan terjadi dalam hidupnya nanti. Ia tak paham apakah mesti bersedih atas berita itu, atau tidak. Baginya kesedihan hanya milik mereka yang mengerti akan beratnya beban di dunia ini.
Tapi satu hal yang ia tahu. Tak akan ada lagi teman bermainnya di waktu malam. Mengajarnya tentang salat, mengaji, dan berbakti. Tak akan ada lagi yang mengantar dan menjeputnya dari sekolah seperti biasanya. Dan tak akan ada lagi sebutan “Ayah…” di rumahnya.
Ia terus teringat cerita orang-orang di sekelilingnya, yang mencoba menghiburnya saban hari, bahwa ayahnya meninggal karena tugas negara sebagai sopir bus kampus. Ayahnya adalah “pegawai” di kampus Unand yang tugasnya membawa bus, menjemput dan mengantar mahasiswa, persis pekerjaan yang dilakukan pada dirinya setiap hari. Dulu, ayahnya dengan senyum akan meninggalkannya di pintu gerbang sekolah kala mengantarnya. Dan ia akan melihat senyum lebar sang ayah kala menjemputnya dari sekolah. Ia pun tertawa berlari menyambut ayah tersayangnya itu. Setelah terjadinya kecelakaan itu, semua hari-harinya di masa datang menjadi sirna. Tak akan pernah terulang.
Ayahnya telah meninggal karena bus yang dikemudikannya ambruk ke bawah jalan di gerbang kampus beberapa tahun lalu.
Telah ia dengar bisik-bisik orang lain. Mobil yang dikemudikan ayahnya mati mesin. Rem tidak berfungsi. Dan stir pun kabarnya tak bisa lagi digerakkan. Sementara kala itu ayahnya tengah mengantar mahasiswa pulang. Bus cukup penuh. Tapi malang sekejap mata. Kalau saja ayahnya mau menyelamatkan diri dari kondisi mobil seperti itu, tentu hari ini ia masih bersama ayahnya. Tertawa. Bahagia bersama. Apalagi ini bulan suci Ramadan, sebentar lagi akan berhari raya. Ah ayah…
Tapi kenapa ayahnya masih tetap di bus itu? Kenapa ia tak loncat saja dari bus maut itu? Kenapa ayahnya masih nekat bersama-sama mahasiswa menyelamatkan penumpang yang lain? Kenapa? Ayahnya memang bisa menyelamatkan banyak mahasiswa karena bus kampus yang tak layak jalan itu. Tapi kenapa ayahnya tak juga menyelamatkan dirinya yang punya anak yang masih butuh kasih sayang? Dan kini ia telah yatim karenanya!
Apakah ayahnya tak tahu. Sepeninggalnya, hidup ia dan ibunya tak sama lagi. Ia dan ibunya mesti banting tulang mencari nafkah. Ia saban hari menemani ibunya menjajakan gorengan dan mengetuk setiap pintu rumah di Perumdos Unand ini untuk membeli dagangannya. Syukur kala itu kampus dan rektor membesarkan hati ibunya untuk membiarkan mereka tetap berteduh di rumah dinas yang mereka tinggali ketika ayahnya masih hidup. Meski begitu hidup tidak lebih mudah. Dan dari situ juga Icha paham, hidup memang tak adil bagi orang-orang kecil seperti dia dan ibunya.
Tepatnya dua minggu lalu, ibunya membawa berita lagi, bahwa mereka terusir dari rumah dinas ini. Rektor baru dan wakilnya hendak membangun rumah mewah di atas reruntuhan tumpangan mereka selama ini. Kenapa tanyanya? Tapi ibunya tak bisa menjawab. Yang pasti, ini adalah hari-hari terakhir mereka berteduh di Perumahan Dosen ini. Karena mereka bukan dosen dan pegawai. Dan karena lahan perumahan ini akan diperuntukkan untuk membangun angan-angan pimpinan kampus ini.
Icha memang baru berumur kemarin sore. Tapi beberapa hal telah bisa ia pahami, terutama cara-cara orang memperlakukan dirinya dan ibunya. Telah bisa ia tangkap bagaimana saban hari selama beberapa tahun ini, ibunya selalu diteror. Halus dan kasar melalui perkataan, dengan pertanyaan: “Apa hak mereka tinggal di Perumdos?” Ia sering melihat ibunya tersipu kala didapatinya sedang menangis. Tapi apa yang bisa Icha lakukan? Ia hanya seorang anak kecil yang tak punya daya apa-apa, apalagi menghadapi para penguasa.
Tanggal 31 Mei 2021 adalah hari-hari terakhir mereka berteduh di Perumdos ini. Setelah itu mereka mesti angkat kaki sebut Pak Rektor. Pergi! Tak boleh kembali lagi!
Icha hanya anak kecil yang terlalu lugu memahami semua ini. Di saat kesulitan yang mendera kini, hanya satu kata terucap dari bibirnya, “Ayah…”
Hari ini, Padang, 10 Mei 2021. Tinggal 21 hari lagi Icha dan ibunya menikmati hari-harinya di Perumdos Unand. Wallahu’alam.