Sijunjung, sumbarsatu.com--Dalam tahun ini kelompok tani (Ketan) Sawah Liek belum menerima sosialisasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Sijunjung tentang prediksi ancaman banjir, kekeringan, dan gagal panen. Namun, sosialisasi tersebut pernah mereka terima pada pertengahan tahun 2020.
Demikian disampaikan oleh Ketua Ketan Sawah Liek Alfandri, Minggu (28/2/2021).
"Sosialisasi pada pertengahan tahun 2020 itu dalam bentuk pencegahan gagal panen. Gagal panen itu banyak faktor seperti disebabkan oleh iklim dan hama. Intinya, petani harus pandai-pandai mengatur jadwal bercocok tanam. Sosialisasi itu dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Sijunjung bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kecamatan Kupitan," terang Alfandri.
Ia mengaku, dalam sepuluh tahun terakhir ini Ketan Sawah Liek belum lagi mengalami gagal panen.
Mengenai upaya yang telah dilakukan Pemda untuk antisipasi banjir, kekeringan, dan gagal panen, Alfandri mengatakan program penyuluhan itu semakin menipis semenjak pandemi Covid-19.
"Lagian, kami juga selektif dalam bertani dan mendengar informasi. Yang kami harapkan adalah bisa menerima jadwal cuaca dari pemerintah, kapan musim hujan dan kemarau. Sehingga bisa membantu kami dalam bercocok tanam. Misalnya dari bulan sekian hingga bulan sekian, curah hujan rendah, kami bisa mencari alternatif lain, kalau memungkinkan di lahan yang sama menanam palawija. Ya, kami semacam punya kalender cuaca dari pemerintah," ujarnya.
Selain itu, Alfandri juga mengatakan, pada Agustus 2020 Ketan Sawah Liek mendapat program kooperasi dari pemerintah (dana APBN) dalam bentuk penangkaran benih padi.
"Kelompok tani kami mendapatkan program itu. Tapi tidak tahu dengan kelompok lainnya. Pada tahun 2021 kami belum menerima program itu," terangnya.
Kelompok Tani Sawah Liek memiliki 48 anggota. Mereka menggarap lahan sawah seluas 40 hektar di Jorong Tapi Balai, Nagari Padang Sibusuk, Kecamatan Kupitan, Kabupaten Sijunjung.
Disinggung mengenai apakah Ketan Sawah Liek mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP).
"Dulu, Ketan Sawah Liek pernah mengikuti AUTP itu, termasuk saya sendiri. Pada saat itu, kami membayar asuransi Rp35 ribu per hektar. Dan selebihnya disubsidi oleh pemerintah. Namun, dua tahun belakangan ini kami tidak lagi ikut AUTP," kata Alfandri.
Alasannya, Ketan Sawah Liek tidak lagi mengikuti program itu adalah karena terjadi pemahaman antara pihak asuransi dan petani tidak sesuai.
"Pemahaman gagal panen itu menurut pihak asuransi yang ditentukan oleh tim teknis adalah diukur petak sawah. Contoh, yang gagal itu satu piring sawah, sementara dua piring sawah lagi masih ambang batas. Sementara petani menghitungnya dari hektar, sesuai dengan pembayaran asuransi," pungkasnya. (Thendra)