Perhutanan Sosial dan Peningkatan Tutupan Hutan

CATATAN AKHIR TAHUN 2020 KKI WARSI SUMATERA BARAT

Rabu, 23/12/2020 07:57 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Provinsi Sumatera Barat bukan tanpa solusi dalam menghektaredapi gejolak deforestasi dan persoalan lingkungan yang menghimpit.

KKI Warsi melalui berbagai upaya konservasi bersama masyarakat didukung oleh dinas kehutanan dan pemerintah daerah, telah menginisiasi banyak inisiatif dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 

Program perhutanan sosial menjadi pendekatan yang dipilih dalam upaya pelestarian kawasan hutan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Angin segar pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui berbagai skema perhutanan sosial, menunjukkan angka peningkatan tutupan hutan.

Data analisis tutupan hutan di kawasan perhutanan sosial dampingan KKI Warsi, pada periode 2017 seluas 63.793 hektare, sementara pada tahun 2019 tutupan hutan di kawasan PS mencapai luasan 64.259 hektare, data ini menunjukkan terjadinya peningkatan tutupan hutan di areal PS dalam rentang 2017-2019 seluas 466 hektare.

Pada tahun 2020, tutupan hutan di areal perhutanan sosial dampingan KKI Warsi mengalami peningkatan luasan menjadi 64.780 hektare. Dalam rentang 2019 sampai 2020 terjadi peningkatan tutupan hutan di kawasan perhutanan sosial seluas 521 hektare, dan tidak ada yang mengalami pengurangan tutupan. Jika diakumulasikan sejak tahun 2017 hingga 2020 telah terjadi peningkatan tutupan hutan di kawasan perhutanan sosial seluas 987 jektare.

Fokus sebaran wilayah peningkatan tutupan hutan pada tahun 2020 ada pada areal perhutanan sosial, yang meliputi Hutan Nagari Sariak Alahan Tigo, Kabupaten Solok; Hutan Nagari Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan; dan Hutan Nagari Kampung Baru Korong Nan Ampek (KBKA), Kabupaten Pesisir Selatan.

Hal ini tentu sejalan dengan visi pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat yang telah menerbitkan Peraturan Gubernur No. 52 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial.

Dalam perkembangannya, hingga Agustus 2019, luas kawasan Perhutanan Sosial di Sumatera Barat telah mencapai luasan seluas 227.673,69 hektare dari total 500.000 hektare target alokasi yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam RPJMD 2016-2021.

Dengan klasifikasi skema yang terdiri dari 98 izin Hutan Nagari (HN), 48 Izin Hutan Kemasyarakat (HKm), 4 Izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 5 Hutan Adat (HA), serta 6 izin Kemitraan Kehutanan (KK).

Tawaran Bersama

Langkah yang ditawarkan dalam pengelolaan sumber daya alam dan kawasan hutan berkelanjutan dilakukan melalui upaya kolaborasi multipihak dalam pengembangan usaha berbasis potensi Perhutanan Sosial dan Pengamanan Hutan Berbasis AI, pengembangan community carbon, dan penguatan manajemen kawasan berbasis lanskap.

Kolaborasi multipihak yang didirong dalam pengembangan usaha berbasis potensi perhutanan social telah mulai menampakkan hasil di komunitas dampingan Warsi di Sumatra Barat. Upaya ini didorong melalui identifikasi potensi pada level kelompok usaha, membangun kolaborasi bersama dengan pemerintah nagari, dinas dan instansiterkait, penguatan kapasitas didukung oleh Baristand, PLUT-KUMKM, SBI (Sekolah Bumdes Indonesia), dsb. Pembelajaran bersama antarkelompok usaha, serta berbagi pengalaman dan pameran produk kelompok usaha pada setiap iven yang digelar Warsi ataupun instansi lainnya.

Tercatat sudah ada 2 kelompok usaha, yaitu KUPS Simancuang, fokus pada pengelolaan usaha beras organik dan LPHN Simarasok, pengelolaan usaha getah pinus. Dua kelompok usaha berbasis PS ini telah memiliki pasar yang luas dan berkesinambungan.

Kemudian ada 15 kelompok usaha yang telah memiliki unit usaha dan kegiatan pemasaran, meliputi kelompok teh gambir Ruhama Simpang Kapuk, KUPS Ekowisata Lubuk Karak, Kopi Pasak Bumi Panti, Kacang Dilan Pancung Taba, Kelompok Wanita Selembar Daun Indudur, dsb. serta 9 kelompok usaha yang telah menyusun Rencana Kerja Usaha (RKU) serta memulai kegiatan usaha, terdiri dari Greenbean Robusta Sirukam oleh KUPS Sirukam, ekowisata agroforest apel di Surian, pengelolaan limbah pastati jaya. 

Tidak hanya terbatas pada pengelolaan usaha yang berorientasi pada peningkatan ekonomi alternatif saja, namun dalam pengembangan usaha komunitas sangat ditekankan untuk memberikan dampak ekologis pada pelestarian hutan. Sebagai contoh di Simancuang misalnya. Keterhubungan antara sawah dan hutan nagari Simancung lantas menjadi dasar dalam pengembangan pertanian organik di Simancuang. Pertanian organik yang mensyaratkan agar tidak ada sama sekali masukan dari bahan kimiawi, adalah bentuk dari upaya mitigasi perubahan iklim. Sejak tahun 2016, pratek pertanian organik sudah mulai diimplementasikan di Simancuang.

Akhir tahun 2019, areal sawah organik Simancuang seluas 8,9 hektare disahkan oleh LSO (Lembaga Sertifikasi Organik) Sumbar. Potensi beras organik yang dikembangkan masyarakat mulai bertransformasi menjadi potensi usaha.

Pengembangan usaha beras organik Simancuang dilakukan oleh KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) Simancuang yang terdiri atas dua kelembagaan, yaitu LPHN Simancuang dan Kelompok Tani Organik Hamparan Bersama Simancuang.

Setelah dilakukan kalkulasi jumlah potensi beras organik Simancuang, dalam satu kali panen mampu menghasilkan hingga 20,8 ton, sedangkan konsumsi lokal Simancuang berjumlah sebanyak 3 ton, dengan demikian, terdapat surplus hingga lebih kurang 18 ton beras organik.

Melalui dukungan KKI Warsi bersama TFCA Sumatera sejak September 2019 lalu, KUPS Simancuang telah menghasilkan produk beras organik dengan berbagai varian ukuran mulai dari 1 Kg, 3 Kg, 5 kg hingga 10 Kg. TFCA Sumatera membantu pengadaan alat produksi, berupa sealer, timbangan digital, alat penampi, dan vacuum sealer.

Pada perkembangan terkini, pemasaran produk beras organik Simancuang sudah dilakukan ke berbagai pemasok di Sumbar ataupun even produk masyarakat lokal yang diadakan oleh berbagai instansi pemerintah maupun jejaring masyarakat sipil yang fokus pada pengembangan produk masyarakat. Tercatat sejak September 2019-Desember 2019, sudah dipasarkan lebih kurang 1,4 ton dengan total pemasukan mencapai Rp19,8 juta, dari harga jual beras organik dengan rentang harga Rp18.000-Rp20.000 per kilogram. Pada tahun 2020, KUPS Beras Organik Simancuang lebih fokus pada peningkatan kualitas produk dan perluasan jaringan pasar.

Selain itu, dalam kolaborasi mendorong pengamanan hutan secara efektif dan tepat. Sejak Juli 2019 hingga Desember 2020, KKI Warsi telah mengembangkan teknologi berbasis arficial intelligence (AI) yang mampu merekam aktivitas perusakan yang terjadi di kawasan hutan. Alat yang dinamai Guardian ini sudah diinstalasi di 9 hutan nagari, di Sumatra Barat, meliputi Hutan Nagari Sirukam, Kabupaten Solok; di Solok Selatan tersebar di Hutan Nagari Pakan Rabaa, Pakan Rabaa Timur, Pasir Talang Timur, Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo; kemudian, Hutan Nagari Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung; dan terakhir Hutan Nagari Lunang, Lunang Tengah dan Pondok Parian Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan.

Pada awal 2020, KKI WARSI telah mendorong penguatan tata kelola pengamanan hutan berbasis Guardian berkerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat. Hasil temuan aktivitas illegal logging berdasarkan Guardian didorong agar dapat ditindak lanjuti oleh Polisi Kehutanan di 3 KPH model, yaitu KPHL Solok, KPHL Sijunjung dan KPHL Hulu Batanghari.

Lebih jauh dari itu dengan temuan Analisa citra yang menunjukkan tidak adanya penurunan tutupan hutan di kawasan Perhutanan Sosial di Sumatra Barat, terbukti alat guardian mampu efektif untuk mencegah terjadinya deforestasi.

Pengembangan community Carbon

Pendekatan sublanskap merupakan upaya untuk membangun keterhubungan dan kolaborasi antara masyarakat pengelola PS dalam satu hamparan (lanskap). Pendekatan sublanskap sudah dikembangkan Warsi pada 5 wilayah, meliputi Sublanskap Sumpur Kudus, Sublanskap Solok, Sublanskap Solok Selatan, Sublanskap Agam dan Sublanskap Lunang.

Pengelolaan kawasan berbasis sublanskap, difokuskan pada pengembangan rencana usaha bersama, pengamanan dan patroli bersama serta peningkatan kapasitas bersama. Kolaborasi, partisipasi, berbagi pemahaman dan pembelajaran, koordinasi serta rasa memiliki (sense of belonging) terhadap areal sublanskap menjadi penekanan kuat dalam pengelolaan sublanskap.

Masing-masing masyarakat pengelola PS membangun kesepakatan dan sinergi bersama. Misalnya dalam pengelolaan Sublanskap Solok, pasca identifikasi potensi usaha komunitas, pengembangan kopi akan di fokuskan di Sirukam, rotan manau di nagari Simanau, dan ekowisata di Nagari Rangkiang Luluih. Inisiatif ini membuat antara kelompok perhutanan social saling komplementer, bukan membangun kompetisi. Artinya pengelolaan usaha antara kelompok PS di satu lanskap menjadi jalan untuk membangun kemajuan usaha bersama.

Tidak hanya itu, luasnya kawasan yang dikelola masyarakat dalam sublanskap membuat upaya perlindungan dapat dilakukan secara massif. Di Sublanskap Sumpur Kudus menghubungkan 6 hutan nagari dengan luas mencapai 11.726 hektare. Angka yang tidak sedikit untuk penjagaan kawasan hutan tersisa.

Hal inilah yang kemudian mendorong Warsi mengembangkan model skema community carbon di Sublanskap Lunang, yang menghubungkan Hutan Nagari Lunang, Lunang Tengah dan Pondok Parian Lunang. Total luas kawasan hutan nagari di Sublanskap Lunang mencapai 5.782 hektare. Tekanan terhadap kawasan dari massifnya izin usaha pertambangan dan perkebunan serta faktor kawasan penyangga TNKS merupakan faktor utama kawasan ini mesti dijaga.

Sejak oktober hingga November 2020 lalu, KKI Warsi bersama 3 pengelola Hutan Nagari di Lanksap Lunang sudah melakukan survey potensi karbon, laju deforestasi, serta kajian ekonomi sosial budaya di kawasan. Hasil dari kesepakatan dan temuan lapangan menjadi dasar untuk pengajuan skema perdagangan karbon di kawasan ini. Masyarakat pengelola hutan di sublanskap Lunang, pada tahun-tahun berikutnya akan memetik hasil dan insentif dari upaya mereka untuk menjaga dan melindungi kawasan hutan. 

Oleh karena itu, berdasarkan pembelajaran lapangan dalam proses fasilitasi perhutanan sosial bersama masyarakat. Program perhutanan sosial dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan lingkungan yang mendera. Peningkatan tutupan hutan dan pengembangan ekonomi masyarakat berbasis potensi Perhutanan Sosial bisa menjadi jawaban atas persoalan perusakan hutan, peningkatan ekonomi masyarakat didalam dan di sekitar hutan serta aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. SSC/Rel



BACA JUGA