Diskusi dan bedah kitab puisi Rohmantik, kumpulan tunggal puisi Irman Syah, pada Minggu, (23/2/2020) di Kedai Buku Teroka, Padang, dengan narasumber Esha Tegar Putra dan janangnya Nasrul Azwar
Padang, sumbarsatu.com—50 puisi yang termaktub dalam kitab puisi Rohmantik karya Irman Syah (Jual Buku Sastra (JBS) dan Balai Sastra, April 2019), merupakan reprentasi keunggulan penyairnya dalam mengolah bagian terbaik dari model lirikan. Puisi-puisinya dikunci dengan lirikal bebas yang tidak terikat atau tergantung pada satu genre perpuisi tertentu sehingga ia dapat dengan bebas mengkonstruksi bentuk.
Ia tidak terikat, dan bebas, dari ikatan keharusan untuk menghitung baris atau bait dalam puisi sehingga puisinya memiliki keluwesan untuk masuk dan menyelusup dalam perpuisian modern Indonesia. Irman Syah juga berhasil melakukan perpindahan pembacaan (dalam puisi), antara narasi aku-puisi ke narasi pembacaan di luar aku-puisi.
“Jika model perpuisi lirik dapat diistilahkan dengan protitipe/purwarupa, maka prototipe itulah yang dipercaya dan dikembangkan Irman Syah dalam kerangka perpuisiannya,” kata Esha Tegar Putra, pada diskusi bedah kitab puisi Rohmantik, Minggu, (23/2/2020) di Kedai Buku Teroka, Padang. Diskusi dan bedah di Kedai Buku Teroka sudah menjadi agenda berkala, terutama terkait dengan buku-buku yang baru diterbitkan.
Diskusi yang dilakukan sederhana namun bernas ini, dihadiri langsung penulisnya, Irman Syah dan puluhan mahasiswa dan aktivis literasi dan pegiat budaya di Padang dan Payakumbuh.
Dalam analisis Esha Tegar Putra, narasumber dan alumnus Program Magister Ilmu Susastra- Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini, prototipe lirikal, bagi sebagian penyair mungkin sebuah model yang harus ditinggalkan karena ditengarai melulu mengemukakan ke-aku-an dalam puisi.
“Model perpuisian yang dianggap terlalu lemah untuk mengungkapkan suasana di luar aku-puisi dan dianggap pula hampir mendekati pengisahan penyairnya sendiri. Selain itu, ada pula yang menganggap lirik sebagai sebuah rezim puitik yang mengikat model perpuisian hampir sebagian besar penyair di Indonesia. Tetapi tidak demikian halnya dengan Irmas Syah. Ia telah berhasil keluar dari rezim puitik itu,” urai peneliti sastra yang juga penyair ini.
Menurutnya, dalam kumpulan puisi tunggal pertama Irman Syah ini, Rohmantik bisa dilihat sebagai representasi perjalanan puisi-puisi penyair Irman Syah sekaligus proses kreatifnya dengan lompatan besar. Jika perjalanan puisi dimaknai secara intim, maka terbaca jelas kecenderungan bangunan lirikan pada puisi-puisinya yang menujukkan kekuatan lirikal dan penyairnya telah melakukan lompatan keluar dari rezim aku-lirik yang cenderung teralienasi.
Kumpulan kitab puisi Rohmantik terdapat 50 puisi yang ditulis pada rentang waktu cukup panjang. Puisi terlama tercantum kolofon tahun 1988 dan terbaru dengan kolofon 2012. Ada beberapa puisi rentang waktu penulisannya atau bararangkali penggubahannya, memakan waktu cukup panjang. Ditulis tahun 1992 tapi diselesaikan tahun 2005.
Terkait dengan pola pola penggubahan puisi dengan rentang waktu cukup panjang tersebut, menurut analisis Esha Tegar Putra, mempunyai beberapa kemungkinan. Salah satunya, kehendak untuk menggubah kecenderungan model lirikan yang “ngamar” (puisi kamar) dan biasanya lebih enak dibacakan pelan, menjadi puisi yang asyik untuk dibacakan di atas panggung.
“Kemungkinan tersebut, bisa jadi, karena dalam proses kepenyairannya kita dapat melihat Irman Syah dalam dua perspektif: antara penyair yang soliter (secara menyendiri) menuliskan puisi saja dan seniman penampil yang memanggungkan puisi-puisinya. Salah satu penggubahan ini dapat dilihat dalam puisi berjudul “Dendang Musim Jauh” dengan kolofon 1992/2005,” urainya.
Esha Tegar Putra menjelaskan lebih jauh, dari 50 puisi dalam Kitab Puisi “Rohmantik” hanya lima puisi dilakukan pembacaan mendalam. Lima puisi itu dianggap mewakili pola kepenulisan puisi Irman Syah. Puisi yang lima itu ialah “Dendang Musik Jauh” untuk melihat bagaimana pola penggubahan puisi dalam rentang waktu 13 tahun. Kemungkinan besar tarikan performance, pemanggungan puisi, membuat perubahan pola dari puisi ini.
Empat puisi selanjutnya adalah “Rumah Bertangga Lumut”, “Sunyi Kirim Surat Padaku”, “Jakarta-Jakarti”, dan “Bandara Internasional Minangkabau”.
Terhadap hasil analisis yang disampaikan Esha Tegar Putra di depan yang hadir dalam diskusi itu, tak banyak yang menyanggah. Peserta diskusi sebagian besar bersetuju dengan apa yang disampaikan Esha Tegar Putra.
Suasana diskusi dan bedah kitab puisi Rohmantik, kumpulan tunggal puisi Irman Syah, pada Minggu, (23/2/2020) di Kedai Buku Teroka, Padang, dengan narasumber Esha Tegar Putra dan janangnya Nasrul Azwar
Cuma saja penjelasan lebih dalam belum terumgkap, ketika salah seorang peserta bertanya tentang perubahan makna puisi saat ditranformasikan secara visual atau pertunjukan yang bukan dilakukan penyairnya sendiri.
“Perubahan apa yang berlangsung (terjadi) ketika puisi dalam sebuah teks (tulis) dipindahkan (transformasi) menjadi teks lisan (pelisanan) di dalam ruang-ruang publik (pertunjukan) jika memang Irman Syah telah melakukan hal itu? Dan dibacakan orang lain,” tanya Ramadhani.
Sementara itu, S Metron M, sutradara Ranah Performing Art Company (Ranah PAC) Padang mengilustrasikan sosok Irman Syah sebagai seniman yang selalu meninggalkan ragi berupa jejak seni setiap tempat yang ia singgahi.
“Di Kota Padang, misalnya, Irman Syah membangun jejaknya di beberapa titik seperti Jalan Permindo, Kampung China Pondok, dan di Aie Tawa. Ragi atau jejak itu masih membekas hingga kini seperti masih eksisnya Kelompok Pemusik Jalanan (KPJ) di Kota Padang. Kemunculan KPJ ini tak lepas dari inisiatif dan gagasannya,” kata S Metron M.
BACA: Inilah Jadwal Perjalanan Budaya Sastrawan Irman Syah di Sumbar
Selain itu, pembacaan terhadap karya-karya Irman Syah, tambah S Metron M, harus juga mengoneksikan dengan sosok kepenyairannya yang gigih memperkenalkan puisi-puisinya kepada masyarakat dengan cara mengamen.
“Kehadirannya Irman Syah “menjual” puisi-puisinya yang dibawakan dengan pertunjukan di atas bus antarkota dalam provinsi, dan ruang-ruang publik lainnya, bagi saya itu perlu digarisbawahi. Sebab tak banyak di Indonesia ini, penyair yang konsisten melakukan pembacaannya terhadap teks puisi yang ditulisnya lalu dimanifestasikan dengan pertunjukan seni. Ini perlu pemetaan dan kajian mendalam,” kata S Metron M lebih jauh.
Irman Syah sendiri, ketika diminta mengisahkan proses kreatif kepenyairan dan sekaligus kredonya, mengatakan, kehidupan sosial banyak mengajarkannya tentang apa saja.
“Puisi-puisi yang saya tulis itu, semua punya pijakan sosial di tengah masyarakat. Ia merupakan narasi sosial. Selain itu, latar kultur saya yang masih merasakan kekuatan pepatah-petitih semasa di kampung, juga berkontribusi besar dalam proses kreatif saya,” jelas Irman Syah.
Menurutnya, pelisanan puisi yang ia sebut dengan “Rohmantik Performance” merupakan ramuan panggung puisi rohmantik yang modern dengan bahan materialnya berangkat dari kekuatan tradisi seperti dendang, randai, kaba, gerak silat, serta tiupan bansi.
Dalam perjalanannya, Irman Syah yang dijuluki gerilyawan seni budaya kota ini membangun berbagai jaringan seni antara lain Komunitas Janjang Payakumbuh (1999), Komunitas Panggung terbuka TBSU Medan (2001), Komunitas TIM Jakarta (2003), Warung Apresiasi Bulungan Jakarta (2002), Komunitas Sastrawan Jalanan Indonesia (2005), Komunitas Planet Senen (2008), Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia, Sastra Kalimalang Bekasi (2011) serta Roemah Melajoe TMII (2015).
Lelaki kelahiran Magek (Agam), yang juga Acting Coach (pelatih akting) di beberapa film layar lebar, yakni, “Di Bawah Lindungan Ka'bah”, “Pacu Itik”, dan “Buya Hamka” ini juga adalah seorang actor di beberapa Film, antara lain; “Trophy Buffalo”, “Tasuruik”, “Pinokio”, dan lain-lain.
Keahliannya pada bidang ini sesungguhnya berakar dari kemampuan literasi yang dimilikinya. Selain alumni Fakultas Sastra Universitas Andalas, penulis puisi, esai dan cerpen, ia juga aktor dan penghuni Bumi Teater Padang, pimpinan Wisran Hadi.
“Bila puisi sampai pada pucuknya, niscaya kan berbuah petuah, ungkapan, peribahasa, tamsil-ibarat, kias dan banding, pepatah-petitih, atau patah dan pitih!” kata Irman Syah. “Betmen Poreper.”
Diskusi-bedah kitab puisi Rohmantik, yang dilaksanakan pada Minggu malam di Kedai Teroka, merupakan rangakaian perjalanan budaya Rohmantik di Sumatra Barat. Tampak hadir antara lain, Asril Koto (penyair), Ikhwanul Arif (pembaca puisi), Yeyen Kiram (pegiat literasi), Tiara (pengelola Kedai Taroka), Yudilvan Habib Datuak Monti (pegiat seni), Randi Reimena (sejarawan), dan lainnya. SSC/MN