
Latihan Tari Toga di rumah Putri Marhasnida di Jorong Siguntur Kenagarian Siguntur Dharmasraya. Foto Febrian Alperi
Laporan S Metron Masdison
Penari membentuk dua barisan. Di ujungnya seorang pemuda dengan tangan terkebat di belakang. Perannya terdakwa. Seorang pengawal mengiringi. Keduanya berjalan di antara penari menuju ujung. Di depan penari, duduk seorang perempuan di kursi.
“Ampun sayo tuan. Ampun,” ia bergumam. Lalu, jeda. “Pancung!” teriak perempuan itu lagi.
Keduanya mundur ke ujung barisan. Perempuan itu, Putri Marhasnida, bersenandung: “Adoya adotak tindamaik ... adoya ado taktindam mai... ado ya ado dang gudial... ota ta ta ai... dang gunindang yo... rrrrr..”.
Di ujung suara, lima perempuan tua memainkan gong, kenong, momong, canang dan gendang. Delapan penari remaja bergerak memainkan selendang. Gerakannya berlahan. Terlihat dominan. Suatu waktu menyentak. Kadang mereka membentuk pola lingkaran. Lalu, menyebar. Buk Has, begitu Putri Marhasnida dipanggil, terus menimpali dengan dendang; mengiba sekaligus memohon.
Perpaduan itu menghasilkan suasana tegang, suram dan mendesak. Raja sudah menurunkan titah. Mestinya eksekusi dilaksanakan. Tari Toga berperan melunakkan hati Sang Penguasa. Memohon agar maaf dalam hati tak memiliki tepi.
Berapa bait kemudian, semuanya berhenti. Terdakwa dan pengawal kembali melewati lorong penari. Buk Has berdiri. Ia memandang terdakwa. “Jan diulangi lai (jangan diulangi lagi),” ujarnya.
Bebunyian kembali ditabuh. Kali ada rasa gembira. Penari pun tersenyum meski menyisakan rona lelah pada wajah.
***
Latihan sore itu, Selasa (31/12/2019) memang tak lengkap. Di pengujung tahun, beragam rencana, dengan rinai yang tak reda di Kecamatan Siguntua, Dharmasraya, memang membuat suasana serba sumbing. Latihan yang direncanakan, dikira batal oleh beberapa pendukung sendratasik (seni, drama, tari dan musik) ini.
“Anak saya naik Gunung Talang,” kata Putri Marhasnida. “Jadi saya yang menggantikan jadi raja,” lanjutnya. Ada juga yang terperangkap hujan di rumah atau dangau di sawah dan ladang.
Tari Toga ini merupakan bagian pertunjukan “Tambo di Ulu Monsun”. Pertunjukan dengan 100 pendukung ini, menjadi sajian pembuka pada rentetan kegiatan Festival Pamalayu, 6 Januari 2020 mendatang.
Buk Has tidak cemas. Tari ini sudah dilatihnya sejak 1990. Halangan adalah kata pertama yang dihadapinya saat pertama mendapat tugas mencipta-ulang dari pemerintah.
Ia diminta pemerintah kabupaten (waktu itu masih Sawahlunto/Sijunjung) untuk menggali seni tradisi yang ada. Pertunjukan ini akan ditampilkan pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1990.
Waktu itu, Bidang Kesenian Kanwil P dan K punya program Pagelaran Seni Daerah. Kali ini, program ini diserahkan pada pemerintah kabupaten untuk memilih kesenian yang akan ditampilkan.
“Setelah dimusyawarahkan baru ditetapkan. Seni tradisi langka jadi pertimbangan. Tujuannya mengali seni tradisi, dibina, dikembangkan, selanjutnya dilestarikan,” ujar Mardanis, mantan pegawai Taman Budaya Sumatra Barat yang waktu itu baru saja dipindahkan ke bidang kesenian.
Mardanis juga langsung bertindak sebagai pendamping Tari Toga sebagai wakil dari provinsi. Beberapa kali ia datang bersama perwakilan pemerintah kabupaten untuk melihat perkembangan pertunjukan.
Buk Has masing ingat apa yang diucapkan pejabat yang berkunjung. “Kalau iya Siguntur kerajaan besar maka pasti keseniannya banyak.”
Buk Has tersengat. Apalagi darah turunan Kerajaan Siguntur mengalir dalam dirinya. Ia mulai menanyai orang-orang sekeliling. Tari Buayo, Dendang Ameh masuk dalam daftar. Namun, kedua kesenian itu sudah punah. Tapi, dari mana harus memulai?
Tak disangka, seorang tua mendatangi. Ia mengaku pernah memainkan Tari Toga. Tapi, ia hanya ingat sebagian. Pada sebuah acara, perempuan tua lain mendatanginya. Ia mengaku menguasai beberapa bagian dendang. Buk Has mengumpulkan beberapa data lagi seperti jumlah pemain dan musik yang dipakai. Ia juga menggali cerita asal yang menjadi pondasi tari yang jadi buah bibir dalam masyarakat Siguntur.
Tari ini memang sempat menghilang. Terutama di zaman Belanda. “Belanda melarang orang Minangkabau berkesenian. Baru di zaman Jepang tari ini muncul lagi. Tapi karena begitu lamanya menghilang, yang tinggal hanya dendang. Itupun digunanakan untuk perintang-perintang hari di sawah,” terang Buk Has.
Cerita ini juga terdapat dalam 10 Cerita Rakyat yang menjadi bahan Lomba Bercerita Tingkat SD/MI yang diadakan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumatra Barat. Tari ini mengisahkan seorang rakyat yang tidak sengaja menjadi penyebab terbunuhnya putra mahkota Kerajaan Siguntur. Raja marah. Hukuman dijatuhkan. Namun, adik putra mahkota mencoba mengubah putusan itu. Selama delapan malam pengadilan berlangsung. Baru di malam terakhir Raja menunjukkan belas kasih yang tidak semua orang akan memberikan. Dari situ pula kata toga muncul. Artinya, tegah.
Urusan tari sebenarnya tidak masalah. Perempuan yang lahir 12 Oktober 1965 ini mampu mengajarkan tari yang dilihatnya walau sekali. Musik kemudian jadi soal. Untunglah, ia pernah kuliah di Jurusan Musik UNP Padang (dulu IKIP Padang).
Riset dianggap selesai. Latihan dimulai. Ia mengumpulkan perempuan tua untuk diajaknya menjadi penari dan pemusik. Begitu juga untuk tokoh terdakwa, pengawal, raja dan dayang-dayang.
Lalu, bagaimana ia menyempurnakan tari yang baru didapatnya sepotong-sepotong itu?
“Bidadari.”
***
Ada 18 orang yang hadir dari 23 pemain di sore yang lembab itu. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menampilkan daftar 25 pemain.
Saat terbentuk, jumlahnya bisa lebih. Buk Has mengamsalkan jumlah pemainnya dengan ninik mamak yang ada di Siguntur, yaitu 12. Jumlah itu untuk pedendang. Kemudian penari berjumlah 9. Ditambah Raja, 2 pengawal, 2 perdana menteri dan 4 dubalang, 4 dayang-dayang dan 7 pemusik. Seluruhnya 41 pemain.
Struktur tari terdiri dari delapan bagian. Artinya ada delapan dendang yang mengikuti. Jika dimainkan penuh bisa mencapai durasi satu jam. “Dulu yang mendendangkan Cati Bilang Pandai. Orang cerdas,” ungkap pimpinan Sanggar Tari Dara Petak ini.
Pendamping dari provinsi dan kabupaten menganggap tari ini terlalu panjang. Tersebab, pantun-pantun dan gerakan yang diulang-ulang. Untuk tampil durasi dipangkas hingga 20 menit.
Pentas-pentas selanjutnya, tak hanya durasi, jumlah pemain pun ikut dikurangi. Ada karena alasan tidak sampainya biaya penampilan hingga ketidaksanggupan pemain dengan berbagai kendala. “Ada yang minta tampil 10 menit saja,” katanya.
Bagi Buk Has, hal itu tidak masalah. Selama tari ini bisa ditampilkan di mana-mana. Baginya, Tari Toga adalah representasi dari kerajaan tua Siguntur.
Dari bahasa dendang misalnya, Buk Has sendiri tak bisa menterjemahkan beberapa bagian. Misalnya, Adoya adotak tindamaik ... adoya ado taktindam mai.... Buk Has hanya bisa menduga, itu bahasa Melayu Kuno.
Kemudian, dalam penyelesaian tari, Buk Has mengaku dibantu bidadari. Setiap latihan, bidadari itu yang menuntunnya menunjukkan gerakan-gerakan sehingga ia bisa menyusun struktur tari.
“Saya selama ini mendiamkan. Namun, pada satu pertunjukan, seorang bapak bilang ke saya, “Buk, saya melihat penari ibuk seperti bidadari,” ujar Buk Has menirukan.
***
Pelan tapi pasti, Tari Toga mulai menarik perhatian. Mulai dari skripsi, tulisan ilmiah hingga film dokumenter. Penelitinya juga dari nasional hingga mancanegara. Menurut data Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat, Tari Toga sudah masuk Warisan Budaya Takbenda Nasional pada 2014. Terakhir, Trans 7 melakukan pengambilan gambar di rumahnya.
Tempat latihan terbilang kecil. Hanya mengandalkan teras yang berada di samping rumah. Namun, semangat Buk Has untuk mengembangkan tari ini tak pernah padam. Ia terus mencari penari-penari yang berminat untuk belajar Tari Toga.
Pada Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan menuliskan penarinya berwajah cantik sebagai syarat. “Tapi itu tidak selalu bisa. Yang berwajah cantik kadang-kadang menggerakkan tangan saja tidak bisa,” ungkap guru SMN 1 Pulau Punjung ini.
Belum lagi ‘usia’ penari yang hanya bisa bertahan dua tahun. Setelah tamat SMA mereka tidak lagi bisa latihan di sanggar. Lalu, sentilan-sentilan pejabat yang tidak mengerti seni.
“Penari saya dibilang kurang senyum. Padahal, ceritanya mengenai penyelamatan nyawa seseorang. Mungkin rona wajah senyum tapi ditambah tegang dan takut,” ungkapnya.
Rata-rata delapan penari tersebut berusia muda. Yumirda Tilawah, misalnya. Baru berusia 17 tahun. Ia sudah latihan di sanggar selama tiga tahun. Paling lama di antara penari lainnya. Sebelumnya ia tidak pernah menyaksikan tari ini. Ia diajak Buk Has dan tidak pernah lagi meninggalkan sanggar.
“Saya menguasai gerakannya hanya dalam tiga bulan,” ujar siswi SMKN 1 Pulau Punjung ini. Ia juga berharap teman-teman sebayanya mau mempelajari tari yang jadi ikon Dharmasraya ini.
Jika dihitung sejak 1990, Buk Has memperkirakan sudah ratusan penari keluar-masuk sanggarnya. Selain itu, ia juga sudah menurunkan pada anak kakak ibunya atau pada keluarga dekatnya.
Jelas ia tak ingin berhenti di situ karena Tari Toga bisa mengungkap keberadaan sejarah Dharmasraya. (*)