
-
OLEH Feri Malik Kusuma
Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Sekarang ini adalah era ketika segalanya mudah tersingkap. Dapat juga dikatakan sebagai era revolusi akhlak dan moral menuju peradaban manusia yang lebih luhur. Tetapi, bagi para penguasa yang menderita post power syndrome justru saat inilah puncak dari segala kebejatan akhlak yang mengantarkan umat manusia pada akhir zaman.
Bagi orang-orang seperti Anwar Congo dan sejenisnya, yang banyak menyimpan rahasia-rahasia atas dosa masa lalunya (1965), maka bersiap-siapalah rahasia Anda akan terbongkar habis. Dan Anda boleh-boleh saja menangis sesenggukan, lalu menyadari segala kekhilafan yang diperbuat oleh otak dan tangan Anda sendiri.
Ya, inilah era keniscayaan sejarah yang tak bisa ditolak dan ditentang. Anda boleh mengatakan bahwa di zaman ini dajjal-dajjal bergentayangan di mana-mana, tetapi saya juga berhak menyatakan bahwa di era inilah para malaikat suci menaungi manusia-manusia bijak dan luhur yang senang berbagi, serta menyuarakan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan global.
Anda bersuara lantang bahwa kerusakan akhlak dan moral diakibatkan maraknya teknologi ponsel dan gawai yang tak terbendung lagi. Tetapi, saya juga berani menegaskan bahwa anugerah teknologi ini justru memancarkan energi kebaikan yang luar biasa di tangan orang-orang yang memiliki kesalehan individu, serta bertanggungjawab untuk menjaga kesalehan keluarga, hingga pada gilirannya akan memancarkan kesalehan sosial kepada masyarakat dunia.
Teladan yang baik – di tingkat keluarga maupun pemimpin bangsa – bukanlah tipikal seperti Anwar Congo dan sahabatnya dalam film The Act of Killing, yang hanya mengatakan ‘ya’ di mulut tetapi mengatakan ‘tidak’ dalam hati nuraninya. Seorang anak-didik akan mudah mengadopsi karakter dan cerminan watak dan perilaku orang tuanya jika ia konsisten melangkah di jalan yang benar. Tetapi sebaliknya, untuk apa perilaku buruk dipertontonkan di depan khalayak, seperti yang ditunjukkan Anwar Congo dan kawan-kawan dalam adegan-adegan The Act of Killing (Joshua Oppenheimer), yang kemudian masuk dalam jajaran nominasi Oscar di tahun 2012 itu?
Untuk apa mereka dengan bangg menjagal sebegitu banyak warganegara Indonesia, sesama saudara sebangsa dan setanah air, dengan cara main hakim sendiri, tanpa proses pengadilan? Apakah untuk memuaskan hasrat dan nafsu kekuasaan Orde Baru yang – kita semua tahu – telah mengawali kekuasaan dengan menebar hoaks dan kebohongan, menjalani kekuasaan dengan bertubi-tubi persoalan, juga mengakhiri kekuasaannya dengan kenistaan dan kehinaan?
Ketahuilah wahai Anwar Congo dan para pendukungnya, betapapun benci dan antipati kalian pada era milenial ini, ia akan terus mengalir bagaikan derasnya air jernih yang mencari celah-celah untuk turun dari puncak perbukitan, hingga dapat kita kelola untuk kebutuhan hidup yang sangat bermanfaat. Bila saya analogikan dengan permainan game yang loyal memberi apresiasi kepada anak-anak didik kita, maka yang menjadi masalah bukan pada bakat dan potensi anak-didik yang perlu dikembangkan, melainkan justru pada minimnya apresiasi orang tua Indonesia terhadap bakat dan potensi anak-anaknya.
Melalui tulisan ini, saya tak perlu mengkritik dan menyalahkan anak-anak Indonesia. Tetapi, persoalannya pada watak dan karakter orang-orang seperti Anda, wahai Anwar Congo, yang masih banyak menyesaki republik ini. Anak-anak generasi kami tidak punya salah apa-apa, mereka tidak punya beban sejarah yang menghambat kemajuan peradaban bangsa. Apa kepentingan kami untuk menyalahkan anak-anak yang lucu, mungil dan menggemaskan, yang sejak dari kandungan kemudian lahir dan menjadi balita, telah banyak berjasa untuk menghibur hari-hari kami, membantu kami tertawa, tersenyum dan banyak bersyukur kepada anugerah Tuhan.
Saya kadang tak habis pikir, mengapa kebanyakan logika orang-orang seperti Anda selalu terbulak-balik. Anak-anak tak berdosa disalah-salahkan. Dituduh PKI, kafir, sesat dan seterusnya. Emangnya siapa Anda itu, wahai Anwar Congo? Emangnya orang macam apa kawan-kawan Anda itu? Apakah mereka orang-orang bersih dan suci dari segala noda dan dosa?
Pelampiasan Anda setelah muntah-muntah pada adegan akhir film The Act of Killing, adalah sibuk menyalah-nyalahkan zaman, serta getol menyalahkan anak bangsa sebagai korban-korban zaman. Apa yang salah dengan zaman yang terus berubah dan berkembang sesuai hukum alam dan sunatullah ini? Dulu tak ada listrik, sekarang seluruh dunia sudah terang benderang. Dulu orang membaca kitab suci (baik Alquran maupun Alkitab) di lingkungan terbatas melalui tulisan tangan, tetapi setelah ditemukan mesin cetak pada 1440 M (Guttenberg), kitab suci itu menyebar ke seluruh dunia dan berada di sudut-sudut rumah-tangga kita. Apa yang salah dengan zaman, kecuali jika Anda sendiri yang barangkali menderita delusi paranoid atau skizofrenia?
Terkait dengan ini, saya ingin memperkenalkan novel psikohistori berjudul “Pikiran Orang Indonesia” karya Hafis Azhari. Novel tersebut mengajak kita agar membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang telah banyak dilupakan oleh diri kita sendiri. Bukan bermaksud membuka luka lama atau aib, tetapi untuk sebuah penegakan keadilan dan kebenaran dibutuhkan bahasa ungkapan yang dapat membangkitkan dan menyadarkan suatu bangsa untuk beritikad keras agar tidak mengulangi dosa-dosa sejarah yang diperbuat oleh tangannya sendiri, yang dampaknya justru ditanggung oleh generasi anak-cucu dalam jangka panjang.
Seorang kiai NU dari Banten, K.H. Chudori Sukra pernah menyebut novel tersebut dalam dua artikelnya di harian Kompas (24 April 2018 dan 21 November 2018). Melalui tulisan-tulisan tersebut, beliau ingin menyatakan gugatannya pada sejarah yang dibikin-bikin penguasa Orde Baru, untuk menyadarkan orang-orang yang menderitapost power syndrome seperti Anwar Congo dan sejenisnya. Sekarang, orang-orang tua seperti mereka banyak mengeluh dan menggerutu perihal anak-anak muda yang kurang respek pada orang tuanya. Masalahnya, bukan terletak pada rendahnya jenjang pendidikan yang mereka jalani, tetapi pada rendahnya kualitas pendidikan guru dan orang tua sejak masa pemerintahan Orde Baru.
Apakah selama ini Anda tergolong orang tua yang kredibel di mata anak-anak? Ataukah kualitas keagamaan dan kesalehan Anda masih diselubungi mitos dan takhayul, yang secara diam-diam dipelihara dan dikembangkan. Padahal, perilaku “menduakan Tuhan” itu menunjukkan identitas dusta dan kebohongan Anda sebagai manusia beragama dan bertauhid? Bukankah orang-orang semacam Anda selama ini, hanya sibuk memanipulasi agama dan Tuhan untuk kepentingan politik semata?
Mulai saat ini, berhentilah menyalah-nyalahkan zaman, wahai Anwar Congo dan kawan-kawan. Berhentilah menyalah-nyalahkan anak-anak bangsa. Tunjukkan kualitas kejujuran dan keikhlasan Anda dalam mengasuh dan mendidik mereka, karena hal tersebut menunjukkan kualitas kesalehan Anda sendiri. Seandainya kesalehan individu dapat diamalkan, niscaya akan memancarkan kesalehan bagi lingkungan dan alam sekitar Anda.
Hindari pikiran-pikiran negatif yang memandang skeptis terhadap perubahan dan transformasi Indonesia saat ini. Tinggalkan segala kebanggaan heroik atas prestasi masa lalu yang nisbi dan semu itu. Karena hal tersebut hanya menunjukkan kenistaan dan kemunafikan hidup Anda sendiri. Juga menampakkan kebanggaan atas dosa-dosa besar yang telah Anda perbuat dengan tangan-tangan Anda sendiri.
Wahai Anwar Congo, orang-orang semacam Anda – jika tak mau berubah – akan sulit beruntung karena jauh dari rahmat Tuhan. Orang-orang beruntung senantiasa mampu melihat cahaya, meskipun dunia di sekelilingnya diliputi kegelapan. Orang-orang yang dikasihi Tuhan senantiasa mampu melihat sisi baik di tengah-tengah penderitaan dan kegalauan badai prahara sekalipun. Tetapi orang-orang semacam Anda, terlampau diselubungi kabut gelap hingga sulit untuk menembus cahaya, kecuali jika Anda bertobat dan konsisten menyebarkan kebaikan-kebaikan.
Orang-orang Indonesia yang mengalami kesialan seperti Anda, akan selalu menafsirkan gejala apa saja sebagai tanda-tanda bahwa hari kiamat sudah dekat. Ada tokek bunyi tanda hari kiamat. Ada cicak jatuh kiamat sudah dekat. Ada kadal buntung kiamat di ambang pintu. Kandidat yang diusungnya kalah dalam persaingan politik, Jumat besok datang kiamat kubro. Dangkal sekali pikiran orang-orang seperti Anda ini! Sama saja dengan sifat orang-orang picik yang omongannya selalu menunjukkan kesialan dan kegelapan pikirannya sendiri.
Ketahuilah wahai Anwar Congo dan sejenisnya, anak-anak muda masa kini akan lebih cepat menyerap informasi dan cepat pula mengambil keputusan. Struktur otak mereka berubah menjadi multitasking. Di sisi lain, pengetahuan mereka didukung oleh sejarah Indonesia yang valid dan akurat, bukan sejarah bikinan penguasa Orde Baru yang hanya berfungsi selaku pohon-pohon tanpa akar.
Saat ini, para orang tua harus bijak menyikapi perkembangan zaman yang bergerak secara supercepat. Para guru dan dosen juga perlu meningkatkan kualitas dan kompetensi dirinya, terlebih dosen dan guru sejarah yang harus memiliki kepekaan untuk mengcounter konsep Disraelli yang dibanggakan Orde Baru, seakan-akan “sejarah hanya milik penguasa”. Sistem pengajaran dengan pola monolog yang satu arah sudah tidak relevan. Sistem berkhotbah macam itu, seringkali dihadapi anak dalam kehidupan rumah-tangga, khususnya ketika menerima instruksi dari orang tua yang terkesan sangat menggurui. Padahal, yang menjadi problem anak-didik saat ini bukan lagi soal “menuntut ilmu”, tetapi bagaimana cara menuntut ilmu dengan baik.
Pola pendidikan yang dipraktikkan orang-orang seperti Anwar Congo dan sahabatnya, hanyalah pola militeristik yang sama sekali tak mendidik watak dan karakteristik, tetapi justru memperlemah mentalitas anak bangsa. Orang tua macam itu biasanya sibuk mengomentari prestasi anak dalam urusan peringkat dan ranking di kelas. Sikap orang tua yang sibuk menghukum dan menghakimi, bahkan dengan angkuh membodoh-bodohi anak bila memiliki pandangan yang berseberangan dengan pendiriannya.
Sementara di lingkungan sekolah, seringkali anak-anak yang berprestasi dan nilainya bagus justru dikucilkan dan didiskreditkan oleh teman-temannya. Juga kurang adanya apresiasi dan dukungan moril dari para guru. Kita bisa saksikan di layar kaca dan medsos, berapa banyak anak-anak berprestasi yang justru dilecehkan dan dibully sebagai anak kutu buku dan kurang gaul. Mereka dibiarkan tumbuh dan dibesarkan dengan miskin apresiasi, karena kebanyakan orang tua memang mudah untuk mengkritik dan menghakimi, tapi sangat pelit untuk menyanjung dan memuji.
Seringkali orang tua senang mencari-cari kekurangan tetapi sulit sekali untuk melihat sisi kelebihan mereka. Padahal setiap orang tua tidak ada yang menginginkan anak-anak mereka kelak menjadi tukang ribut dan tukang pukul, apalagi tukang jagal yang bangga dengan kejahatannya seperti Anwar Congo itu. Na’udzu billahi min dzalik… ***