
Arswendo Atmowiloto
Jakarta, sumarsatu.com—Sastrawan dan wartawan senior Arswendo Atmowiloto meninggal dunia Jumat (19/7/2019) pukul 17.50 di kediamannya di Komplek Kompas, Petukangan, Jakarta. Ia meninggal dunia dalam usia 71 tahun.
Adapun penyebab meninggalnya Arswendo Atmowiloto adalah karena penyakit prostat. Sebelum wafat, Arswendo Atmowiloto sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina Pusat, Jakarta.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, 26 November 1948. Dalam jagat kewartawanan dan kepengarangan Indonesia, Wendo—demikian ia akrab disapa—sosok penting dan legendaris di era 70-90-an terutama dalam dunia remaja dan pers.
Bagi para remaja pada masa itu, terutama “penggila” majalah remaja HAI dipastikan “akrab” dengan nama sosok yang terkesan urakan ini. Majalah HAI banyak melahirkan banyak penulis penting saat ini, seperti Gola Gong, Hilman “Lupus”, dan lainnya.
Di majalah HAI yang ia gawangi—salah satu majalah top di era itu—Wendo banyak menulis cerita serial antara lain Detektif Cilik Imung, Keluarga Cemara, dan lainnya.
“Arswendo menulis dengan gaya yang renyah, narasi yang mengalir, jenaka, dan kadang nakal. Karyanya selalu memainkan kejutan, dan hal-hal tak terduga. Arswendo adalah legenda pada masanya. Saya tak mengenalnya secara pribadi, tapi dia saya kira adalah guru yang baik, kreatif, meski kadang rada gendheng,” tulis Nezar Patria, salah seorang jurnalis, di salam status Facebooknya, Jumat (19/7/2019).
Selain itu, menurutnya, dunia pertelevisian Indonesia berhutang padanya di masa awal 80-an lewat tabloid Monitor. Tabloid ini kerap mengeritik program televisi dan bagaimana menghadirkan tayangan menarik, dan menghibur di layar kaca adalah bagian dari kepeduliannya.
“Tabloid fenomenal itu akhirnya tutup di puncak kejayaannya. Mas Wendo mungkin terlalu kreatif, sehingga ia “menabrak” soal sensitif, meskipun banyak orang mahfum bahwa dia tak bermaksud menyinggung hal ihwal yang diagungkan agama di salah satu edisi naas media itu,” terangnya.
Selain sebagai pengarang dan wartawan, Wendo juga mendirikan PH yang memproduksi sinetron, film dan tayangan infotainmen. Sinetron serial “Keluarga Cemara” dan “Satu Kakak Tujuh Keponakan” hanya dua dari sekian banyak karya Arswendo Atmowiloto yang meraih sukses besar.
Sebagai wartawan, Arswendo Atmowiloto meraih kesuksesan gemilang ketika menjadi pemimpin redaksi majalah HAI. Lewat majalah HAI Arswendo Atmowiloto tak hanya berhasil memberikan bacaan menarik bagi para remaja pada zamannya, tapi juga sekaligus berperan sebagai mentor bagi banyak penulis pemula yang tengah merintis karier. Banyak penulis muda yang berhasil meraih sukses berkat peran Arswendo Atmowiloto.
Gebrakan besar dibuat Arswendo Atmowiloto ketika diberi kepercayaan mengelola tabloid Monitor. Media cetak dalam format tabloid ketika itu, akhir tahun 80-an, masih begitu familier di sini. Tapi Arswendo Atmowiloto tak sekadar menawarkan format fisik yang berbeda lewat Monitor, melainkan juga gaya jurnalisme yang baru. Hasilnya, Monitor menjadi tabloid beroplah terbesar masa itu bahkan mungkin sepanjang sejarah. Rasanya belum pernah ada tabloid yang beroplah sebesar Monitor, di atas 700 ribu eksemplar setiap edisinya.
Tapi karena angket yang dibuat Monitor, Arswendo Atmowiloto sebagai Pemimpin Redaksi harus bertanggung jawab. Arswendo Atmowiloto harus mendekam di penjara. Tabloid Monitor pun ditutup.
Penjara tak membuat kreativitas Arswendo Atmowiloto pudar. Justru selama di penjara Arswendo produktif menulis dan melakukan kontemplasi, yang membuatnya kembali berkibar setelah bebas dari penjara, baik sebagai wartawan juga sastrawan.
Arswendo Atmowiloto menikah dengan Agnes Sri Hartini dan dikaruniai tiga anak: Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara.
Tiara, anak ketiga Arswendo Atmowiloto, menceritakan detik-detik ajal menjemput sang ayah. Tiara menuturkan, kebetulan kakaknya yang mendampingi ayah, di penghujung hayatnya.
"Meninggalnya tadi sama kakak saya, kebetulan saya masih di jalan menuju ke rumah. Memang sudah sakit lama, sakit kanker kantung kemih dan sudah cukup lama. Sudah setahunan lebih," kata Tiara di rumah duka, Kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Jumat (19/7) seperti dilansir https://m.tabloidbintang.com.
"Hari ini sekitar pukul 17.30 WIB meninggalnya, dan meninggalnya tenang, baik, senyum dan sekarang udah enggak sakit lagi," lanjutnya.
Sebagai anak, Tiara tak merasakan firasat atas meninggalnya sang ayah. Ia mengaku ikhlas karena semua ini sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. "Enggak ada firasat apa apa. Meninggal dengan baik, memang sudah kehendak Tuhan," imbuhnya.
Arswendo pernah kuliah di IKIP Solo. Namun tidak tamat. Memimpin Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, di Solo (1972). Tahun 1979 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.
Dari informasi yang dihimpun, almarhum akan dikebumikan Sabtu, 20 Juli 2109. “Misa Requiem sekaligus pelepasan jenazah akan dilaksanakan di Gereja St. Matius Penginjil, Paroki Bintaro, Pondok Aren pada hari Sabtu, 20 Juli 2019, pukul 10.00,” pesan yang beredar..
Pemakaman akan dilakukan hari ini. Selesai misa, jenazah akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di Sandiego Hill, Karawang. Selamat jalan Mas Wendo, karya akan jadi abadi. nSSC/MN/pelbagai sumber