Prosesi Mambuek Puwau, Perahu Tradisional Tanjung Ampalu

-

Sabtu, 06/07/2019 07:05 WIB
Di tempat itulah Naswan membuat Puwau, yakni perahu tradisional masyarakat Nagari V Koto yang lazim juga disebut Tanjung Ampalu

Di tempat itulah Naswan membuat Puwau, yakni perahu tradisional masyarakat Nagari V Koto yang lazim juga disebut Tanjung Ampalu

Sijunjuang, sumbarsatu.com—Dua tangan Naswan (53) mengayunkan kapak beliung, berulang-ulang, mengubak kayu Cempedak Hutan. Suaranya bersahutan dengan suara jeram kecil Batang Ombilin. Menciptakan musik yang alamiah, tanpa aturan tempo dan irama.

Sementara cahaya matahari ambang petang menyelusup di sela-sela rimbun dedaunan. Angin pun jinak.

Suasana begitu teduh di tepian di Baliak Ompang, Jorong Taratak Malintang, Nagari V Koto, Sijunjung, Jumat (5/7/2019).

Di tempat itulah Naswan membuat Puwau, yakni perahu tradisional masyarakat Nagari V Koto yang lazim juga disebut Tanjung Ampalu.

Naswan dibantu oleh tiga saudaranya. Sementara yang hadir saat itu adalah Laswardi (60).

Pekerjaan itu bukan awal, bukan pula akhir. Puwau sudah terbentuk tapi belum bisa mengarungi batang air.

"Masih ada dua tahapan hingga Puwau jadi benar, yaitu perendaman dan pemanggangan," ucap Naswan saat rehat.

Dia pun menerangkan proses pembuatannya.

Kayu Cempedak Hutan panjang sekira sembilan meter dan diameter tigapuluh dua centi meter itu diolah sejak dari gelondong. Membentuk lunas dan ruang bagian dalam dibutuhkan waktu lima belas hari.

"Kami membentuknya main agak saja, tak ada diukur-ukur," kata Naswan.

Uniknya, Puwau Tanjung Ampalu dibuat seutuh kayu tanpa sambungan, tak berpasak. 

"Beberapa paku yang ditancapkan ke dinding Puwau hanya untuk mengukur ketebalan," sela Laswardi.

Sebelum direndam, Puwau didarahi dengan darah ayam dan dimontoi untuk mengusir jembalang kayu.

"Rencananya, hari ini kami akan melakukan perendaman," kata Naswan.

Lama perendaman selama lebih kurang sepekan di dalam batang air, diberi batu pemberat, diikatkan ke batang kayu gadang di tepian.

Setelah itu, Puwau diangkat kembali ke tepian dan dipanggang dengan pelepah kerambil yang kering selama tiga atau empat jam.

"Pemanggangan khusus dengan pelepah kerambil yang kering, tidak bisa menggunakan kayu yang lain," tukas Laswardi.

Bagian utama yang dipanggang adalah lunasnya.Dibutuhkan empat orang menjaga nyala api agar Puwau mengembang tapi tidak hangus terbakar.

"Berdasarkan ketebalan dinding Puwau yang kami buat kali ini, dibutuhkan 125 pelepah kerambil kering. Bila sudah mengembang lebarnya lebih dari satu meter," kata Naswan.

Harga jualnya pun bervariasi, tergantung kayu dan besarnya.

Tutur Naswan, Puwau yang dibuat sekarang akan dijual sekira Rp5 juta dan Rp6 juta. Itu sudah ada yang memesan.

Menurutnya, kayu yang bagus untuk Puwau adalah Punik, Cimpedak Hutan, dan Tarok. Namun, mendapatkannya sekarang kian susah, mesti ke bukit yang jauh dari pemukiman warga.

"Mambuek Puwau yang dibutuhkan adalah keberanian. Kok keahlian sama jo mambuek samba lado," gurau Naswan.

Meski bapaknya juga tukang pembuat Puwau, dia mengaku, menekuninya sejak meninggalnya Pandeka Rajo Sumar.

Pandeka Rajo Sumar adalah ahli pembuat Puwau di Tanjung Ampalu, di samping guru ngaji dan guru silek.

"Pembuat Puwau di Tanjung Ampalu kini semakin langka," ucap Naswan.

Sehelai daun melayang-layang, jatuh ke tanah.

Naswan bangkit dari rehatnya dan kembali bekerja.

Suara kayu Cempedak Hutan yang dikubak kapak beliung kembali berdentang-dentang, bersahutan dengan suara jeram kecil Batang Ombilin yang menderas.

Batang Ombilin itu tahu benar Puwau pernah jadi alat transportasi penting, menghubungkan antara mudik dan hilir, dari satu tepian ke tepian seberang, mengangkut manusia dan hasil pertanian.

Itu semua terjadi sebelum motor kredit dan mobil kredit ramai menyerbu kampung, sebelum jalan darat semakin banyak dan rumah berkamar mandi dalam pula. (SSC/thendra)

 

 

 

 

 

 



BACA JUGA