Kok Barasaki, Samo-samo Mandapek

SISTEM EKONOMI DI KAMPUNG

Senin, 24/06/2019 17:55 WIB
Dasman seorang warga di Jorong Kapalo Koto, Nagari Padang Sibusuk, Sijunjung, mendapat upah dari sistem bagi hasil.

Dasman seorang warga di Jorong Kapalo Koto, Nagari Padang Sibusuk, Sijunjung, mendapat upah dari sistem bagi hasil.

Sijunjuang, sumbarsatu.com—Menjelang tengah hari buah kelapa sudah memenuhi keranjang rotan di bagian belakang motornya Dasman (36). Itu merupakan upah dia mengambil buah kelapa, yang dilakukan oleh beruk miliknya, Senin (24/6/2019).

Lazimnya tukang ambil kelapa yang lainnya, Dasman mendapat upah dari sistem bagi hasil.

"Dalam sepuluh kerambil yang awak turunkan, awak mendapat upah tiga sampai empat buah kerambil," tuturnya saat ditemui selepas mengambil buah kelapa milik salah seorang warga di Jorong Kapalo Koto, Nagari Padang Sibusuk, Sijunjung.

Profesi mengambil buah kelapa dengan beruk itu sudah dilakoni Dasman sejak lima belas tahun yang lalu. Bapak dari lima orang anak ini berasal dari Muaro Paneh, Solok.

Pukul tujuh pagi ia sudah berangkat dari rumahnya, memacu motor berkeranjang dan memboncengi seekor beruk. Melintasi rumah warga sepanjang perjalanan, berharap ada yang mencegat untuk menggunakan jasanya.

"Kok lai barasaki sehari bisa dapek sampai Rp300 ribu," ucapnya lirih.

Uang tersebut merupakan hasil dari ia menjual buah kelapa. Biasanya, buah itu ia jual kepada pedagang santan.

Sistem bagi hasil yang diterima oleh Dasman merupakan sistem ekonomi klasik Minangkabau yang masih bertahan hingga saat ini. Tak ada sistem gaji layaknya pegawai negeri sipil, buruh pabrik atau karyawan perusahaan.

Sistem bagi hasil itu masih berlaku pula untuk pengolahan sawah, antara pemilik lahan dan petani. Istilah ini disebut  Dipaduoi.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Suaimi (70), pemilik sawah, di Nagari Padang Sibusuk. Sawahnya yang menghasilkan 1400 sukek padi itu dipaduoi.

"Dalam 1000 sukek padi, pemilik sawah  mendapat jatah 200 sukek padi. Selebihnya untuk pengolah," terangnya

Satu sukek padi, tambah Suaimi, sama dengan satu liter beras. Sukek lazim digunakan sebagai ukuran hasil padi di kampung di Minangkabau.

Namun, bagi hasil padi itu tergantung juga dari tingkat kesulitan pengolahan sawah. Misalnya jarak dan pengairan. Semakin sulit pengolahannya akan semakin sedikit jatah buat pemilik lahan.

"Pemilik sawah juga menenggang. Kalau jauh sawah dan sulit pula pengolahannya, wajar dalam 1000 sukek padi hanya menerima kurang dari 200 sukek padi," ujar Suaimi.

Biasanya, pengolah yang menyediakan mulai dari bibit, bajak, pupuk, dan segala kebutuhan hingga panen. Pemilik sawah hanya terima bersih saja.

Selain itu, ladang karet juga menerapkan sistem bagi hasil apabila ditakiak (disadap) oleh orang lain. Biasanya pemilik ladang mendapat 40 persen dan tukang takiak (penyadap) 60 persen dari gatah yang alah dibangkik (panen karet).

Di Sijunjung mambangkik gatah (panen karet) dilakukan sekali seminggu, sehari sebelum  hari pekan. Toke gatah (karet) menjemput karet dan membelinya langsung ke ladang atau pinggir jalan. Hasil dari penjualan karet itulah yang dibagi antara pemilik ladang dan tukang takiak.

Berbeda dengan pengolahan sawah, tukang takiak mengolah karet yang sudah siap disadap. Pemilik ladang karet lah yang menanam pohon dan merawatnya hingga besar.

Tak hanya di sektor agraris, sistem bagi hasil juga berlaku pada tambang emas rakyat di Sijunjung. Khususnya tambang  darek dan kapal.

Pembagian hasil emas itu adalah duapuluh persen untuk pemilik tanah atau ulayat yang biasa disebut takur, empat puluh persen untuk pekerja, dan empat puluh persen untuk pemodal.

"Kok barasaki, samo-samo mandapek. Kok indak, samo-samo marugi," aku Cen (42) yang pernah sebagai pekerja dan pemodal tambang emas rakyat di Tanjung Ampalu, Sijunjung.

Namun, tambang emas rakyat dengan pengolahan sistem box dan ekskavator sistem bagi hasil hanya antara pemodal dan pemilik lahan saja. Sementara pekerja mendapat upah perminggu.  n



BACA JUGA