Kolaborasi 3 Negara "The Scream of Mother Earth”

MALAM INI DI GEDUNG MURSAL ESTEN UNP

Jum'at, 29/03/2019 10:57 WIB
Pertunjukan

Pertunjukan "The Scream of Mother Earth,”

Padang, sumbarsatu.com—Pertunjukan kolaborasi "The Scream of Mother Earth,” malam ini, Jumat (29/3/2019) menghiasi panggung seni Mursal Esten Fakultas Bahasa dan Seni UNP. "The scream of Mother Earth,” merupakan seni panggung hasil proses kreatif 5 orang seniman dari Brasil, Rusia dan Indonesia, yaitu Janine de Campos, salah seorang sutradara dan aktris, Mateus Ferrari, seorang komposer atau musisi. Keduanya  dari Brazil.  Sedangkan Yusril Katil, dramaturg dan Ali Sukri koreografer kedua dari Indonesia, serta Polina Buchenkova, artis visual dari Rusia.

Menurut Yusril Katil, yang juga Direktur Artistik Komunitas Seni Hitam Putih ini,  “The Scream of Mother Earth” mengisahkan seorang gadis yang tinggal di tempat yang dikelilingi oleh gunung berapi aktif.

“Pertunjukan "The Scream of Mother Earth,” merupakan metafora atas ketidaksetujuan gadis itu dengan masyarakat saat ini. Dalam perjalanannya, karakter utama menghadapi konflik dengan keluarga, tradisi masyarakat dan memutuskan untuk melakukan perjalanan ke gunung berapi tertinggi di tanah Minangkabau,” kata Yusril Katil kepada sumbarsatu, Jumat (29/3/2019).

Selain itu, tambahnya, isu-isu lain yang juga akan diangkat adalah pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pemberdayaan perempuan, hubungan dengan alam, lingkungan dan bumi ini. Masalah klasik yang kita lihat di Indonesia dan di Brazil.

“Dengan demikian, pertunjukan membawa refleksi pada masyarakat dengan cara puitis dan musikal, berusaha berkomunikasi dengan semua orang, terlepas dari kelas sosial, usia, kekuatan intelektual dan dapat beredar antara negara-negara Timur dan Barat,” tambah Janine de Campos.

“Karya ini didasarkan pada teater fisik, yang berlangsung di tubuh aktor yang terkait dengan musik. Pergerakan tubuh aktor yang dihadirkan di atas panggung, terinspirasi dari tarian tradisional Minangkabau,” terang Ali Sukri.

Pertunjukan ini dibuat dalam 3 versi: dengan teks dalam bahasa Portugis, Indonesia dan Inggris. Pertunjukan ini didasarkan pada teater fisik yang lebih menekankan pada tubuh aktor dan musik dan kemungkinan artistik yang mengiringinya.

Sebagai sebuah “tarian” yang terinspirasi oleh gerakan tarian tradisional Minangkabau dan gerak silat, pertunjukan ini menggambarkan tentang seorang perempuan yang tinggal di sebuah kota yang dikelilingi oleh gunung berapi.

Pertunjukan "The Scream of Mother Earth atau Jeritan Ibu Pertiwi" merupakan kolaborasi budaya yang divisualkan ke dalam bentuk simbolis dengan menggunakan kekuatan tubuh aktor yang dibantu dengan musik dan ilustrasi sebagai media utama untuk penyampaian pesan pertunjukan ini.

“Pertunjukan ini merupakan hasil kolaborasi orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dan hal ini tercermin dalam karya pertunjukannya di mana sutradara sekaligus aktor dan komposer musik,” tambah Kurniasih Zaitun, pemimpin produksi iven ini.

Selain di UNP, Jeritan Ibu Pertiwi juga akan dipentaskan di ISI Padang Panjang 29-30 April 2019 dan 25 Juli di Selasar Sunaryo di  Bandung.

Janine de Campos seniman Brazil yang belajar tentang kebudayaan dan kesenian Minangkabau.  Pengetahuan yang mereka dapatkan ini mereka proyeksikan dalam karya kolaborasi dengan beberapa orang seniman dari Minangkabau yang akan menjadi koreografer dan dramaturg dalam karya ini.

Koreografer akan mereinterpretasikan gerak yang dimainkan dalam pertunjukan ini menjadi gerak tarian Minangkabau hari ini (kontemporer) sedangkan dramaturg akan mereinterpretasikan teks dan konteks karya pertunjukan ini.

Koreografer dan dramaturg dalam pertunjukan ini sama-sama berperan sebagai reinterpreter walau dari sudut pandang yang berbeda, koreografer dari segi geraknya sedangkan dramaturg dari segi teks dan konteks sehingga pertunjukan ini tidak akan melenceng dari budaya Minangkabau yang seharusnya. Pertunjukan ini nanti akan dibantu dengan kekuatan ilustrasi yang dikerjakan seniman asal Rusia.

“Kolaborasi seniman antarbangsa (Brazil, Indonesia, dan Rusia) untuk menciptakan sebuah karya teaterikal tentang realitas di Indonesia khususnya daerah Minangkabau memungkinkan terjadinya inovasi artistik,” urai Yusril Katil.

Menurutnya, inovasi artistik ini merupakan hasil dari penggunaan vokabuler gerak tari Minangkabau yang didekonstruksi ke dalam bentuk koreografi kontemporer dan diperkuat teknik-teknik serta dramaturgikal Minangkabau (randai, silat, tarian dan musik tradisional).

Karya ini digarap dalam bentuk performing art dengan sitem kerja kolaboratif. Sementara itu pengaturan (setting) scenery dan properti serta kostum akan menggunakan idiom-idiom yang terdapat dalam budaya Minangkabau dan Bali dengan partisipasi aktif Komunitas Seni Hitam Putih, Sukri Dance Theatre, dan ISI Padang Panjang.

“Pertunjukan ini hadir sebagai sebuah tontonan teatrikal yang menghadirkan situasi yang berkaitan dengan subjek-subjek di atas dengan menggunakan bahasa yang puitis, inovatif dan kolaboratif sehingga memberikan kontribusi kepada masyarakat tidak hanya dalam panorama artistik, tetapi juga dalam evolusi sosial dan rasa hormat terhadap bumi dan perbedaan manusia,” terang doktor  seni teater ini. (SSC/NA)

 



BACA JUGA