Minggu, 27/12/2020 19:07 WIB

Pekik untuk Sunyi dan Cabik yang Mengerdilkan Kita

#CATATAN PERTUNJUKAN “MENCABIK PEKIK SUNYI”

“Mencabik Pekik Sunyi”

“Mencabik Pekik Sunyi”

OLEH Muhammad 'Ajo Wayoik' Fadhli

Penonton sudah mulai  berkumpul di depan pintu galeri Taman Budaya Sumatera Barat tapi tidak begitu ramai. Pertunjukan “Mencabik Pekik Sunyi”, pada yang digelar selama 3 hari 11-13 Desember 2020 tak begitu menghisap perhatian publik seni. Padahal sudah hampir setahun pertunjukan teater lelap oleh pandcmik Covid-19. Sepatutnya tentu ramai. Tapi mungkin masih banyak yang takut berkerumun. Padahal panitia sudah membatasi jumlah penonton. Ikut protokol katanya. Namun tetap saja, saya dengar masih ada tiket yang tak terjual.

Tiket-tiket berwarna merah diserahkan. Orang masuk tanpa boleh mengenakan alas kaki. Dalam ruangan galeri yang tidak begitu luas untuk disebut layak sebagai lokasi pertunjukan, sejumlah karya instalasi menambah padatnya pemandangan. Ya, pertunjukan malam itu bukan satu-satunya suguhan. Komunitas Seni Nan Tumpah berkolaborasi dengan sejumlah perupa yang menamkan diri mereka “Kapten Moed and the Gank”. Kelompok “pendamping” ini menghadirkan karya mereka dalam pameran di lokasi yang sama. Instalasi berbahan kayu yang tegas-tegas adalah limbah membuat penonton seperti sedang dikepung oleh tata artistik. Padahal panggung hanya pada satu sisi ruangan saja.

Belum lagi pertunjukan dimulai, konstruksi tataan Kapten Moed yang merupa meja, kursi, tempat tidur, stager, ember dan sejumlah benda yang tidak akan bisa dideteksi sudah menarik perhatian. Sekelebat saja cahaya, sudah menampakkan keunikan tiap karya instalasi itu.

Lantai dijejali nomor-nomor. Orang duduk sesuai nomor pada tiket. Duduk di atas goni, persis seperti seluruhnya lantai panggung di depan mereka; goni. Saya pertama-tama tertarik dengan pilihan warna perupa yang sangat vintage. Seperti ada gradasi selaras dari krem hingga coklat tua.

Mungkin karena hanyut oleh keselarasan warna itu, saya dan istri jadi terkejut manakala seseorang muncul menggunakan baju berwarna semarak yang motifnya serba kontras. Baju piyama.

Orang yang muncul itu langsung memunggung. Musik berdenting, lalu ia bernyanyi. Sebuah lagu yang tidak populer. Wajar saja, karena Nan Tumpah memang terkenal gemar menggubah lagu sendiri tapi jarang merekam apalagi mempopulerkannya.

Setelah dua lagu selesai, pembawa acara mulai bicara. Ini malam kedua. Tapi MC yang dikenal dengan sapaan Da Jon itu tetap semangat sepertinya. Ia membacakan sejumlah aturan. Dilarang ini, dilarang itu. Oh corona...

Kita tinggalkan tetek bengek pembukaan. Sekarang panggung yang menjadi fokus, setelah lampu-lampu menyala. Lampu par led yang tidak terlalu tajam. Serba warna warni. Seorang anak muncul. Ia berjalan pelan. Di tangannya sebuah boneka, sepertinya mickey mouse. Ia bergerak ketengah lalu berhenti. Air matanya meleleh, tanpa cerita nyinyir. Entah sedih yang bagaimana sampai ia memanggil sejumlah nama. Sebait bagian dari naskah ia ucapkan, lalu ia berlalu.

Musik mengalun. Sejumlah aktor yang bersiap mulai beraksi. “Belum juga kau tutup jendela itu!”. Dua laki-laki dan dua perempuan yang mengenakan baju piyama motif kontras bersorak-sorak. Marah, sedih, atau lebih dalam dari itu. Tragedi? Belum, saya belum bisa menyimpulkan apa-apa. Istri saya sepertinya mulai kecewa. Ketika merayunya untuk ikut menonton saya bilang ini pementasan romantis.

Sebentar, kita beralih pada persoalan romantis ini. Beberapa tahun yang lalu, “Pekik Sunyi” dan “Cabik” pernah dipentaskan. Pada “Pekik Sunyi”, saya terlibat. Kala itu bersama Teater Imam Bonjol, pementasan digelar di kampus islami paling terkenal di Kota Padang. Cerita yang saya ingat, kata-kata yang sebagian masih saya hafal, semua mengarah pada keromantisan yang aneh antara dua kekasih. Mereka sukar lelap, karena sibuk memikir dunia. Beragam konflik mengganggu ketenangan hidup mereka. Tapi mereka tetap berusaha menghiasi kelelahan dengan kemanjaan malam. Itu romantis!

“Cabik” juga begitu. Saya tidak ingat betul komunitas teater mana yang pernah mementaskannya. Tapi yang jelas, sesuai naskah, kedua karakter yang bermain bingung menimbang perpisahan. Tapi tetap saja, ada kesan manusia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketergantungan akan pasangan. Itu romantis!

“Pekik Sunyi”  dan “Cabik”  yang coba dilebur Mahatma Muhammad dari goresan ayahnya Muhammad Ibrahim Ilyas, malam itu sama-sama juga menghadirkan sosok yang lain. Sosok yang mungkin jiwa, mungkin juga pikiran semata. Yang jelas, jika karakter suami istri dibuat dua pasang, sosok dijadikan hanya satu saja. Anak tadi, yang menangis tadi.

Saya jadi menerka-nerka. Jangan-jangan sosok yang satunya lagi diwakilkan Mahatma pada permainan gambar proyektor olahan Ijul. Waktu, peristiwa-peristiwa, lintasan-lintasan ketakutan bersibaur di bakcgdrop.

Sebagian besar adegan adalah ketegangan. Hanya pada saat yang sedikit saja ada situasi yang melandai. Ketika bosan membahas dunia, sepasang suami istri mencoba bermain serupa anak-anak. Lalu bingar lagi. Lalu tiba-tiba pertunjukan sudh berakhir saja dengan adegan memotong boneka. Berdarah-darah. Ditumpahkan ke lantai, dimain-mainkan di bagian panggung yang tinggi. Semua bikin ngilu. Bayi dan pisau. Pekik dan Sunyi?

Gelap di Depan

Barangkali sulit untuk memamah pertunjukan malam itu jika penonton tidak memiliki pengalaman menonton teater “Pekik Sunyi” dan “Cabik” yang utuh. Hal ini karena lompatan-lompatan adegan terjadi sangat sporadis. Melompat terlalu tinggi, jatuh tertlalu jauh. Sesaat kekasih bercanda, seketika mereka hingar. Tak ada gradasi peristiwa semanis gradasi warna mainan Kapten Moed.

Saya mencoba mengamit benang merah yang kusut bersama benang hitam-putih dan abu-abunya pesan pertunjukan. Gagasan Mahatma sepertinya bertumpu pada sulitnya memahami asa yang utopis. Hidup ingin tenang, tapi untuk itu manusia harus melalui perang. Hidup ingin santai, tapi untuk itu manusia harus marasai.

Kata Milan Kundera, masa depan adalah kehampaan apatis dari kepentingan bukan siapa-siapa. Ya, manusia melahirkan anak. Di saat menimang, mengajak bermain atau memandikan, barangkali setiap ibu tidak selalu menikmati kebahagiaan bersama buah hatinya. Ada takut pula di situ. Takut yang dikirim jutaan megapiksel jarum cahaya ponsel, cetakan tinta di kertas koran, atau “crimetainment” di televisi; berita peperangan, kezaliman penguasa, hoaks, kriminalitas jalanan, atau apa saja yang mungkin akan memuncak manakala anak nanti telah dewasa. Mendapati masa seperti apa anak-anak kita hari ini nanti di waktu kita tidak di samping mereka lagi?

“Atau kita bunuh saja bayi ini”. Kalimat berulang ulang seperti ini sebenarnya sudah cukup jelas menghantarkan keputus asaan dari mulut aktor yang sesaat lalu baru habis bersolek. Sementara laki-laki tetap saja laki-laki. Mereka memiliki risau yang sederhana. Walau dalam pikiran ada persoalan serupa dengan pikiran istrinya, tetap saja mereka membunuh itu dengan mengobrol di warung, main gaple, atau hanya tidur (sampai pada kegelapan paling nyaman?).

Satu-satunya penenang adalah permainan. Menyadari hidup hanyalah bermain-main seperti kata Rasulullah Saw adalah penting. Dengan begitu kita sadar, atau setidaknya lebih terkontrol, berjarak  dari amuk keputus asaan.

Dari awal, tataan artistik sudah menggambarkan kecamuk itu. Oh, ternyata gradasi yang saya kagumi sedari tadi hanyalah penenng sementara. Suatu permukaan yang berhasil menyembunyikan kecamuk arus di bawahnya. Dunia.

Teknis yang Gagap

Terlepas dari persoalan pesan. Saya cukup terganggu dengan permainan bisnis acting para aktor yang nyata meleset. Beberapa kali dialog yang harusnya rampak, jelas keteteran. Ibarat mengaji, ini salah jali. Keterhanyutan penonton sekonyong-konyong buyar. Atau memang harus begitu?

Ada pula adegan di mana istri memegang pisau. Begitu suami menoleh padanya, pisau itu harusnya lebih dahulu disembunyikan. Ah, meleset lagi.

Secara teknis, istri saya (representasi dari penonton yang bukan “orang teater”) keberatan dengan jarak penonton yang begitu dekat dengan panggung. Tak peduli bahwa ini adalah kendala teknis yang nyaris tanpa solusi lantaran Taman Budaya sedang dibangun, yang jelas  bikin tidak nyaman. Masalahnya, Mahatma menata adegan serba berebutan. Aktor berebut dialog, berebut laku, otomatis berebut perhatian. Untuk jarak yang tidak sampai semeter dari bibir panggung, keluasan pandangan jadi serba terbatas. Ini bukan panggung “full frame” dari baris depan. Jadi, ketika sisi kiri panggung sama sibuknya dengan sisi kanan, penonton jadi harus memilih.

Konstruksi teks panggung yang tak tertangkap utuh gara-gara harus sering menghengong-hengong ke kanan dan ke kiri menyebabkan banyak teks pertunjukan yang lepas. Tidak terkemasi lagi. Berserak-serak. Nyaris seperti berseraknya perhatian terhadap karya Kapten Moed yang terlalu menarik untuk dilengahkan di bagian belakang penonton.

Pihak yang bekerja keras untuk membalut semua teks akhirnya adalah pemusik. Mereka memainkan alunan yang tenang, lalu seketika tegang. Theme songnya manis, semanis madu dari rinjani. Tapi di bagian tegang, ada satu bunyi yang mengganggu. Menurut istri saya, bunyi itu adalah deritan kursi yang diputar-putar. Satu instrumen pemproduksi bising itu cepat menyita perhatian lantaran mengalahkan hingar di panggung. Inilah ternyata kuncinya. Hingar suara, tidak seiring dengan hingar lakuan dan perlakuan terhadap karya rupa. Jika seluruh teks pertunjukan dibuat sangat liar (misalnya aktor keluar panggung, atau desain Ijul tampil sampai ke langit-langit) mungkin hingarnya jadi adil.

Kolaborasi Apik

Di awal, Joni Andra sudah bilang bahwa rangkaian produksi ke 41 Komunitas Seni Nan Tumpah ini diwarnai dengan pameran seni instalasi. Dua gagasan dipertemukan di sini. Gagasan sutradara diperjodohkan dengan gagasan perupa.

Kapten Moed berusaha untuk memunculkan chaos yang seimbang dengan konsep sutradara. Ia bikin benda-benda dari limbah, serba tidak selaras. Kursi, stager atau perwujudan merupa lainnya sama sekali tidak akan nyaman digunakan jika seandainya itu adalah barang harian.

Di sinilah letak apiknya. Mereka bertemu pada keselarasan semangat. Meski rupa berbeda, ruang kontemplasi berbeda, latar belakang pribadi juga berbeda, tapi terasa betul ada pertemuan yang berjodoh antara pemikiran keduanya. Saya jadi ingin membungkusnya dengan kalimat; “Jika sampah bisa istimewa ketika dipadu padankan, kenapa manusia tidak?”

Konflik-konflik dunia, semua berasal dari ketidak seimbangan. Tapi mana ada keseimbangan itu? Sedangkan menjodohkan dua ego saja begitu beratnya, bagaimana menjodohkan milayaran ego manusia? Melahirkan anak, berarti menambah satu lagi ego yang akan bersaing di tengah samudera ego yang sudah ada. Seutuhnya, kolaborasi perupa dan sutradara adalah kolaborasi pekik dan sunyi. Penonton? Kami adalah cabik itu. Ya, cabik menyebabkan rusak. Rusak yang menjadi serpih. Kita mengecil dihadapan ego yang meraksasa. ***

BACA JUGA