
Pementarsan teater “Ditunggu Dogot” sutradara Kurniasih Zaitun dari komunitas seni Hitam Putih Padang Panjang pada 1 Juli 2006 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat> foto dok
OLEH Halim HD. (Networker-Organizer Kebudayaan)
TENTU masih ada, begitulah jawaban seorang rekan peminat seni pertunjukan ketika dalam suatu obrolan ada seorang rekan lain bertanya, bagaimana dengan kehidupan teater di Padang-Sumatera Barat, rasanya lama sudah tak terdengar? Dunia teater memang tampaknya sedang masuk ke dalam situasi dan kondisi surut. Pasti kesurutan teater terjadi, rekan lain menimpali. Yang sangat menarik, katanya, dunia teater hanya menjadi perbincangan kajian. Dan itupun terasa artifisial karena dipenuhi oleh sejumlah “teori” kajian yang dikutip dari ruang kuliah tanpa melihat apakah ada realitas kehidupan teater yang sesungguhnya.
Memang banyak alasan atau argumentasi analisis untuk melihat situasi dan kondisi teater di negeri ini. Dan argumentasi itu bukan sekadar kutip mengutip tapi berangkat dari suatu cara pandang melihat teater dalam perspektif sejarah. Yang menjadi ironis, Ketika dunia kampus seni yang konon menjadi institusi kebudayaan yang mencoba mengkaji situasi dan kondisi terasa mengalami involusi: hanya berkutat dari kutipan “teori” yang tak memiliki ruang sejarah sosial di lingkungannya. Itulah risiko dari kepuasan sertifikasi tanpa dasar keilmuan yang jelas. Pada sisi lainnya, kepuasan sertifikasi itu terasa hanya memenuhi kebutuhan birokrasi. Teater dalam konteks suatu kajian, tak berujung pada suatu pemikiran tapi pada posisi seseorang yang seolah-olah telah berilmu.
Dunia kajian dari kampus masuk ke dalam perangkap seremonial, dan tentu artifisial, yang makin membuat teater, atau dunia kesenian tak pernah beranjak dari posisinya yang masuk ke dalam kejumudan. Tak terasa sesungguhnya kita sering bertanya sejauh manakah ada relasi yang logis antara dunia kajian dengan kehidupan yang nyata dalam dunia kesenian. Logika keilmuan tak lagi jalan karena bekukan birokrasi yang kian disadari oleh kaum akademisi yang dahulu berteater kini hanya bermain dalam ruang-ruang fiksi.
Tapi masalah itu sesungguhnya tak sepenuhnya juga masalah akademisi. Pada sisi yang lain kita dapati juga pelaku teater bersibuk dengan organisasi atau asosiasi teater yang hanya menunggu proyek panggilan, atau jatah dari “pusat”. Organisasi yang semula diharapkan bisa mendongkrak pemikiran dan membentuk jejaring sosial yang menghubungkan pelaku teater dengan rekannya dalam konteks proses kerja dan pemikiran, menjadi sekadar stempel. Lagi-lagi kita menemui sikap dan cara berpikir bahwa status quo adalah sesuatu yang makin menancap di dalam perilaku kesenian.
Salah satu maslah dalam kemandegan dunia teater itu tampaknya kuat kaitannya dengan sikap ketergantungan kepada apa yang namanya “proyek” atau “undangan”. Cara berpikir “dalam rangka” ini merupakan konsekuensi logis dari proses yang panjang ketika politik rezim dengan kekuatan birokrasinya bukan hanya ikut tapi bahkan menentukan.
Dari periode rezim Orde Baru sampai kini kita menyaksikan cara berpikir “dalam rangka” itu. Tapi, bukankah kita juga pernah menyaksikan kemeriahan dan keperkasan teater ketika rezim Orde Baru berkuasa dan teater menjadi bagian dari kehidupan yang memberikan isyarat kepada zaman?
Ada yang menyatakan, mungkin teater tak memiliki “musuh”. Ungkapan ini mungkin ada juga benarnya. Tapi ada kekeliruan cara berpikir ketika menyatakan bahwa teater membutuhkan “musuh”, bukankah musuhnya teater adalah masalah kemanusiaan, keadilan sosial, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, penistaan kepada jenis kelamin yang lain, politik identitas yang over dosis, intoleransi, dan masih segudang masalah lainnya yang membutuhkan pelacakan secara mendalam. Atau para pelaku teater tak lagi mampu dan bisa berpikir secara reflektif tentang zaman yang dihadapinya?
Ingatan saya mencoba menelusuri berbagai lintasan memori yang pernah saya alami. Suatu hari tiga puluhan tahun yang lampau di suatu coffe shop di Tokyo, bersama beberapa anggota The Black Tent Theatre, kami kongko tentang posisi dan fungsi teater. Seseorang yang baru saya kenal, Takayama, namanya, salah seorang pelaku teater yang banyak bergerak di wilayah perdesaan dan pinggiran kota, menyatakan, teater harus menciptakan ruang hidupnya bersama lingkungannya. Jika dia berharap kepada ruang pemberian, atau fasilitas, sesungguhnya dia telah memulai langkah kematiannya.
Ungkapannya terasa dramatis tapi, saya pikir, dia ada benarnya. Lihat saja betapa banyak pelaku teater yang hanya menunggu fasilitas dan proyek. Ironisnya, justru sekarang fasilitas teater sesungguhnya lebih memadai jika dibandingkan dengan periode tahaun 1980-90-an atau awala 2000-an. Walaupun tentu saja kita juga tahu bahwa fasilitas itu dikangkangi oleh birokrasi yang jumud dan bebal.
Betapa membosankannya kongko dengan orang teater yang mencoba mengumbar teori dengan tanpa kepala yang berisi pengalaman. Mulutnya bagaikan tape recorder, seperti juga sangat memuakan mendengarkan pelaku teater yang mengeluh tentang ketiadaan fasilitas. Anak-anak manja ini sesungguhnya tak lebih dari sejenis tas plastik yang hanya bisa diisi oleh barang belanjaan dan menyisakan sampah. Sampah itulah yang kini bertebaran di mana-mana dan tampaknya publik juga tak peduli dengan hal itu.
Konon masih tersisa keprihatinan dari mereka yang pernah merasakan suatu periode ketika zaman ikut menantang dan mencoba ikut berkeringat. Tapi, rasanya mereka juga sudah bosan. Lebih menikmati acara-acara yang seolah-olah bisa menghibur dirinya.
Well, mungkin teater di Sumatra Barat sedang surut atau jumud. Mungkin juga sedang menyiapkan diri. Tapi, kenapa pula tidak ada gugatan? Adakah diam memang lebih baik daripada emas?