“Bai’at” Bukik Marapalam Jilid 2

-

Jum'at, 14/12/2018 22:30 WIB
-

-

OLEH Buya Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa (Ketua Umum MUI Sumbar)

Bai’at Bukik Marapalam Jilid 2 bukan untuk mengubah walau sebaris, tidak akan menghapus walau setitik”.

Bai’at Bukik Marapalam Jilid 2 adalah acara yang diangkat oleh MUI Sumbar.
Kondisi Ranah Minang yang mendapat serangan bertubi-tubi terhadap prinsip hidup yang menjadi jati diri Minangkabau yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai (ABS-SBK-SMAM), membuat MUI Sumbar harus mengukuhkan kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam (Bai’at Bukik Marapalam).

Kegiatan ini bukan untuk mengubah isi “Sumpah Sati atau Bai’at” tersebut. MUI Sumbar akan menjaga sumpah sati itu. “Sabarih indak ka hilang, satitiek indak kabahapuih” karena bagi MUI, “Syara’ Mangato, Adaik Mamakai” sudah merupakan petunjuk yang jelas dalam landasan kehidupan bermasyarakat di Ranah Minang dan pola dakwah yang tepat dalam berkeislaman.

Saya membaca ada yang mengimbau masyarakat untuk menggagalkan acara tersebut dengan berdebat perkara judul pamflet dan baliho bahkan dengan kalimat tak bersudi bersiasat lebih dahulu, main tuduh saja dengan kalimat “oknum”. Saya jelaskan bahwa kata yang dipakai dalam “pamflet atau baliho” yaitu “Pengukuhan Kembali” sudah ditimbang dengan makna bahasa Indonesia yang benar yaitu “menguatkan agar jangan mudah goyah”.

Itu belum lagi menjadi tema acara tapi pamflet sosialisasi acara kepada umat. Banyak konsep lain yang akan dibuat spanduk dan balihonya seperti “usang-usang mampabaharui, lapuek-lapuek mangajangi”,dibubuik indak mati diasak indak layue” dan lainnya.

Masyarakat berhak mengusulkan kalimat-kalimat yang patut dituliskan untuk mengukuhkan kembali bai’at tersebut dalam dada umat di Ranah Minang.

Apakah sumpah sati atau bai’at tersebut telah goyah sehingga perlu dikukuhkan kembali ?

Setelah mencermati sikap umat pasca pernyataan sikap MUI Sumbar menolak Islam Nusantara, terlihat bahwa ada sebagian dari mereka yang mengakui falsafah “ABS-SBK-SMAM” tapi menyetujui Islam Nusantara dan tidak tersinggung ketika Syara’ ditolak sebagai aturan kehidupan yang sah dimasukkan dalam peraturan-peraturan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dua hal itu, disamping tingkat kemaksiatan yang mengkhawatirkan di Ranah Minang dan indikator lainnya, sudah cukup bagi MUI Sumbar untuk menilai bahwa Sumpah Sati atau Bai’at Bukik Marapalam mulai terasa goyah dalam dada sebagian putera-puteri Ranah Minang.

Acara ini akan terdiri dari 3 bagian, yaitu: Mudzakarah, pengukuhan kembali bai’at dan malewakan bai’at. Ini ditempuh oleh MUI Sumbar dengan segala keminiman fasilitas dan bekerja sama dengan Pemkab Tanah Datar dan juga berkoordinasi dengan Pemprov Sumbar serta ormas-ormas adat yang ada.

Tentu tidak setiap orang Minang akan bisa diundang kecuali dalam malewakan di Istano Basa Pagaruyuang yang menghadirkan sebanyak-banyaknya umat Islam di ranah Minang dan rantau.

Jadi, kalau ada yang tidak terundang atau kurang disanjung dalam acara ini, saya atas nama MUI Sumbar mohon maaf.

Tapi kalau ada yang mengimbau bahkan menghasut umat untuk menghalangi acara ini, saya katakan bahwa “Kami melangkah memagari ranah Minang dengan segala keminiman kemampuan dari segala paham yang merusak dan usaha yang menghancurkan prinsip kehidupan orang Minangkabau seperti Islam Nusantara, Pemikiran Antiperda Syari’ah, pemurtadan, LGBT dan kemaksiatan lainnya”.

Bila masih berencana juga untuk menghalangi maka dengan maaf saya menyatakan, “barisan tuan-tuan sudah kami pahami” dan kami tak akan surut walau apapun taruhannya.

Kalau maksud tuan-tuan baik, datanglah mengusul atau bertukar pendapat dengan baik ke Kantor MUI Sumbar di Padang atau ke Surau Buya Gusrizal di Bukittinggi.

Kalau tidak juga mengerti, kami akan tetap berjalan dengan bertawakal kepada Allah Swt. ***



BACA JUGA