-
OLEH Wiztian Yutri
REVOLUSI Information Technology (IT) telah membuat perubahan besar dalam budaya hidup umat manusia. Ruang dan waktu telah ditundukkan dengan teknologi. Arus informasi dan arus barang bisa cepat sampai ke tujuan tanpa berlama-lama. Kata Yasraf Amir Piliang, inilah abad yang berlari. Abad yang serba cepat. Serba tergesa-gesa. Dulu, informasi bisa sampai berbulan-bulan, berminggu-minggu. Kini, informasi bisa sampai secepat ia dilahirkan.
Dulu IT adalah barang mahal. Hanya kalangan tertentu saja yang bisa menggunakan dan mengaksesnya. Kini, semua orang bisa memiliki dan menggunakannya. Seperti smartphone, telepon cerdas yang kian murah bak kacang goreng.
Begitu pula dengan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Banyak tawaran untuk mendapatkannya. Sungguh, jarak dan waktu sudah ditebas oleh manusia. Hasil dari kreasi orang-orang berpikir untuk kemajuan dan kemudahan dalam hidup.
Kemajuan teknologi informasi ternyata bukan hanya membawa kemudahan namun juga memboncengi seperangkat masalah bagi umat manusia. Ketimpangan antara budaya dengan kemajuan teknologi kerap menimbulkan persoalan-persoalan baru. Kesiapan umat manusia menerima sebuah kenyataan, abad yang sedang berlari senyatanya berbenturan dengan budaya hidup yang tidak sedang berlari. Masih belum sesuai (compitable) antara teknologi dengan kesiapan masyarakat yang menerimanya.
Salah satu bukti, yang amat merisaukan akhir-akhir ini adalah, setiap saat hoaks diproduksi oleh tangan-tangan jahil hanya karena kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan. Masyarakat yang tidak kritis menerimanya tanpa seleksi dan kembali mengirimnya ke tempat lain. WhatApps Groups (WAG) kita sering diisi oleh kiriman salin tempek (copy paste) yang kadang-kadang jauh dari manfaat.
Semudah menerima, semurah itu pula mengirimkannya ke tempat lain. Begitu pula yang terjadi di akun-akun media sosial kita. Saban hari, konflik politik kadang dikemas dengan agama, kepentingan ekonomi dikemas rapi dengan segenap sensasi.
Fenomena apakah ini? Inilah fenomena guncangan abad informasi di tengah masyarakat yang masih baru menerima kenyataan; teknologi berkembang cepat tetapi pengetahuan belum memadai. Pada konteks ini, dibutuhkan gerakan literasi media bagi masyarakat. Membangun kesadaran atas informasi sebagai sebuah senjata bagi orang-orang di baliknya. Informasi dibuat, disampaikan, memiliki maksud-maksud. Sejauh maksud itu memiliki nilai kebaikan, tentu saja tak ada masalah.
Sebaliknya, jika memiliki nilai keburukan, merugikan, di situlah perlu penangkal. Penangkalnya, sikap kritis terhadap isi informasi, media informasi, serta orang yang menyampaikan informasi. Ditambah lagi, kesadaran atas hukum-hukum yang setiap waktu bisa menjerat bila mana melakukan tindakan yang melawan dan melanggar hukum.
Selain abad yang berlari, Bill Kovack menyebutkan ini abad banjir informasi. Banjir biasanya membawa banyak hal. Seperti galodo, menghanyutkan apa saja. Banjir informasi, berarti keriuhan dan kekeruhan informasi. Sulit mencari informasi yang jernih. Semua telah bercampur baur dengan kepentingan-kepentingan di balik informasi. Melalui literasi media, informasi diharapkan bisa disaring hingga didapatkan informasi yang jernih.
Sebagai masyarakat informasi, kita hidup dalam suasana yang saban waktu menerima informasi tanpa bisa menutup diri. Kita diajak dengan mudah untuk aktif merespon, sebagaimana tujuan dari penyampai informasi. Jika tidak hati-hati, bisa terjebak dan terperangkap dalam permainan penyampai pesan.
Sebagai pengguna gawai, perangkat informasi serba cerdas yang murah hari ini, kita harus menyiapkan diri agar tidak menjadi objek penderita. Atau sekadar penikmat tanpa sikap kritis terhadap informasi yang datang. Sebab, jejak digital tak bisa dihapus serta merta.
Pada saat ini, apapun yang kita perbuat di dunia maya; baik atau buruk; akan tercatat, bukan saja oleh malaikat Munkar dan Nankir; tetapi teknologi digital. Suka atau tidak suka, ia akan tercatat dengan sendirinya. Karena itu, diperlukan konsistensi, menjaga sikap dan tindakan. Tidak coroboh. Ingatlah selalu, setiap tindakan ada konsekuensi.
Dunia maya harus dipahami layaknya dunia nyata, punya hukum positif yang selalu mengintai. Tidak bisa berbohong, karena teknologi memiliki jejak digital yang sulit dihapus. Karena itu, perlu kejujuran terhadap diri sendiri, menimbang-nimbang sebelum bertindak. Sebelum sesal datang kemudian. Berlakukanlah setiap saat, raso dibaok naiak, pareso dibaok turun. Sebuah pepatah yang masih berguna di abad yang serba cepat ini.
Ingat, jejak digital tidak bisa dihapus. Setiap apa yang share memiliki konsekuensi, jika tidak hati-hati akan membuat perangkap hukum terhadap diri. Karenanya, kunci sedari awal dengan sikap positif, bertindak baik, untuk kebaikan bagi semua.
Jika sudah begitu, jejak digital akan merekam semua yang baik dari kita, juga dicatat oleh malaikat sebagai kebaikan. Hidup terlalu sia-sia memakan usia jika sekadar ikut-ikutan terpengaruh informasi yang tak memberi ruang untuk berpikir untuk kebaikan.***
REDAKSI—Media daring sumbarsatu secara berkala setiap hari Sabtu di kanal "Harmoni Wiztian Yutri". Tulisan Ciweq—demikian ia akrab disapa—merupakan wartawan senior di Indonesia, pernah membesarkan Harian Padang Ekspres sebagai pemimpin redaksi. Kini, mantan Komisaris Semen Padang ini, menuju ladang pengabdian ke DPDR Sumbar sebagai calon anggota legislatif dari PAN untuk daerah pemilihan Pariaman dan Padang Pariaman dalam pileg 2019 yang akan datang. Tulisan-tulisan Ciweq, lebih bersifat reflektif, sarat renungan, introspektif, dan inspiratif, bisa menjadi teman bacaan Anda setiap akhir pekan. Selamat membaca.