Bahana Puisi di Benteng Portugis Pulau Cingkuak

CATATAN SILATURAHMI “MANDE BAPUISI” ANTARKOMUNITAS

Rabu, 28/03/2018 11:18 WIB
Seni tradisi silek Minang dalam acara “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” di Pulau Cingkuak

Seni tradisi silek Minang dalam acara “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” di Pulau Cingkuak

OLEH Nasrul Azwar (Wartawan sumbarsatu.com)

Bebatuan bata sebagian masih tersusun relatif rapi, kendati tak utuh. Inilah sisa sebuah kawasan pertahanan perang dan sekaligus tempat pengintaian musuh yang digunakan bangsa kolonial Portugis. Posisinya sangat strategis. Saat ini dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata di Pesisir Selatan.

Kawasan yang berada persis di tengah jantung Pulau Cingkuak itu, disebut Benteng Pulau Cingkuak. Benteng yang dibangun Portugis sekitar tahun 1500-an ini berada di Jorong Pulau Cingkuk, Nagari Painan, Kecamatan IV Jurai, Pesisir Selatan. Menuju pulau yang luasnya 4,5 hektare itu, kita harus menaiki perahu bermesin tempel dari dermaga kecil di Pantai Carorok, tak sampai 15 menit. Karcis pulang-pergi Rp21 ribu per orang.

Kini, kawasan bersejarah ini, sudah masuk dalam situs cagar budaya Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, namun tak terlihat adanya perawatan khusus terhadap situs sejarah ini. Rerumputan liar tumbuh membungkus dinding benteng. Bebatuan dibiarkan berlumut, dan ada beberapa yang berserakan.

Benteng Portugis Pulau Cingkuak 

Di tengah bangunan Benteng Pulau Cingkuak inilah para pencinta dan komunitas seni, penyair, pambaca puisi, dan aktivis budaya-literasi, serta masyarakat sekitar pada Minggu 1 5 Oktober 2017,  berkumpul dalam satu tujuan yang mengebatnya, yakni “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” antarkomunitas dan pencinta seni dari berbagai kota dan kabupaten di Sumatera Barat.

Sebelum memasuki kawasan Benteng Pulau Cingkuak itu, di pintu gerbang yang melengkung, rombongan disambut tarian tradisi Minang dibawakan Kelompok Bayang Palito Remasdafa, Talaok, Pessel. Dalam rombongan terlihat Riri Satria, putra Pesisir Selatan yang juga salah seorang inisiator kegiatan, penyair Sosiawan Leak dari Solo, dan lain sebagainya. Tak ada pejabat dari pihak Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang hadir.

Kata Sulthan Indra Muhidin Muda, Ketua Pelaksana Acara ini, pihak pejabat terkait di Pesisir Selatan, sudah membantu secara moral dan doa dari jauh.

Di Pulau Cingkuak ini, panggung dibuat di atas tanah yang agak tinggi dengan tiang batang kekayuan beratap dedaunan. Ada tali plastik warna merah yang disusun seperti sarang laba-laba di sisi kiri yang tak layak disebut panggung itu, yang luasnya 2 kali 2 meter saja. Di sana perangkat pengeras suara ditaruh. Ada pula 4 kursi dan 2 gitar, yang membuat “panggung” terlihat sempit, tapi bagi yang tampil, itu bukan masalah.

Penyair Syarifuddin Arifin membacakan sajaknya pada “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi”

Dari atas panggung yang sederhana itulah penyair Sosiawan Leak, Syarifuddin Arifin, Riri Satria, Sulthan Indra Muhidin Muda, Maulida Rahman Siregar, Soetan Radjo Pamoentjak dan Refdinal dari Komunitas Sarunai Bukittinggi, Romi Sastra, M. Jemmi Visgun, pantomim Zam Mime, Okta Piliang, Yeyen Kiram, Endut Ahadiat, Hermawan, Arby Tanjung, Osmulyadi dan John Wahid (perupa), Teater IB Padang, Sanggar Bayang Palito, menumpahkan ekspresinya bergantian di atas panggung yang teronggok di atas tanah yang agak tinggi itu.

Menurut Sulthan Indra Muhidin Muda, kegiatan silaturahmi pegiat seni antarkomunitas seni di Sumatera Barat ini, selain membuka lebih luas ruang ekspresi, juga dikesankan untuk memperkenalkan lebih luas destinasi wisata andalan Pesisir Selatan ini.

“Kita memilih Pulau Cingkuak agar destinasi wisata di Pesisir Selatan dikenal secara masif dan luas. Kita kenalkan lewat karya-karya kreatif pembacaan puisi, musikalisasi, dan penampilan seni tradisi lainnya. Ini pertama kali kegiatan seni digelar di Pulau Cingkuak. Tapi pihak Pemerintah Kabupaten Pessel kurang  respek. Tapi tak masalah. Kegiatan tetap jalan sesuai dengan yang direncanakan. Kehadiran kawan-kawan komunitas dan para senior, sangat membantu kesuksesan acara ini,” ujar Sulthan Indra Muhidin Muda, yang juga ‘Rang Pasisia’ ini.

“Bupati yang sebelumnya menyatakan bersedia hadir tapi karena ada peluncuran Tour de Singkarak 2017 di Jakarta, beliau berhalangan. Semestinya bisa saja diwakilkan,” tambahnya. 

Penampilan pantomim “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” di Pulau Cingkuak

Selain pemanggungan puisi, anak-anak usia sekolah dasar yang hadir, juga diajak menggambar dan mewarnai. Perupa Jhon Wahid memfasilitasinya.

Konsep dasar kegiatan, menurut Yeyen Kiram, salah seorang motivator dan pendorong kegiatan anak-anak muda ini, berangkat dari keikutsertaan dan partisipasi aktif masyarakat di mana kegiatan dilaksanakan.

“Mendekatkan karya sastra dan seni kepada masyarakat tujuan dari kegiatan ini. Iven begini sudah dilaksanakan di Harau (Kabupaten Limapuluh Kota), Kubu Gadang (Kota Padang Panjang), Parabek (Kabupaten Agam), Kota Bukittinggi, hingga di Pulau Cingkuak ini. Jika tak bisa melibatkan masyarakat, acara dinilai tak berhasil alias gagal,” ujar Yeyen Kiram, pegiat di Komunitas Tigo Sandiang ini.

Sementara Endut Ahadiat, doktor peneliti sastra dari Universitas Bung Hatta, menilai, pemerintah harus membuka diri lebih luas cakrawala terhadap perkembangan kesenian di Sumatera Barat.

“Iven-iven budaya sudah sering dilakukan, malah sudah menjadi agenda rutin per bulan. Semua itu dikerjakan anak-anak muda antarkomunitas. Cara mereka merancang setiap kegiatan, saya melihat cukup militan dan kerja keras. Kadang mereka iuran. Pemerintah dan pihat terkait mesti merespons ini. Ini potensi besar untuk pengembangan nilai-nilai budaya juga promosi wisata,” kata Endut Ahadiat.

Memimpikan Festival Sastra

Masyarakat sastra dan literasi di Sumatera Barat hingga kini belum memiliki sebuah iven atau festival sastra yang cakupannya cukup luas, minimal se-Sumatera, yang dikesankan hadir secara berkala dan berkesinambungan.

Masyarakat dan sastrawan menyatu dalam “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” di Pulau Cingkuak.

Sebelumnya, pada 2012 dan 2014 di Padang, Festival Padang Literary Biennale yang digagas sastrawan muda yang terhimpun dalam Komunitas Kandangpadati, sukses digelar dengan pendanaan swadaya. PLB terhenti untuk yang ketiga kalinya. Sebenarnya banyak harapan ditumpukan masyarakat sastra Sumbar pada PLB ini sebagai representasi sebuah festival sastra yang  berwibawa dan independen. Tapi napas kegiatan yang penting begini tak begitu panjang.

Sementara itu, sastra dan literasi itu sendiri, yang memiliki sejarah panjang dan penting dalam percaturan sastra di Indonesia, tampaknya masih konsisten mengandalkan kegiatan-kegiatan sastra di luar Sumatera Barat untuk mengukuhkan eksistensi pegiatnya. Tak bisa dipungkiri, nyaris perjalanan kreatif para pelaku sastra dan pegiat sastra asal Sumatera Barat, menguat keberadaannya karena mengikuti iven-iven sastra di pelbagai kota di Indonesia, bukan iven di kampungnya sendiri, Sumbar.

Pemikiran demikian mencuat dalam diskusi sastra sebagai rangkaian iven “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” yang dilaksanakan, Sabtu malam (14/10/2017) di Ruang Chairil Anwar, Taman Budaya Sumatera Barat.

Teater IB Imam Bonjol UIN Imam Bonjol Padang saat tampil dalam musikalisasi puisi “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” di Pulau Cingkuak

Ada tiga narasumber pemancing diskusi, yakni Sosiawan Leak, Riri Satria, dan Nasrul Azwar. Bincang sastra dengan sajian kopi panas dan goreng pisang ini, dihadiri Agus Sri Danardana (Kepala Balai Bahasa Sumatra Barat), Emral Djamal (penyair dan budayawan), Alizar Tanjung, Yetti AKA, Kabati, dan pegiat sastra lainnya.

Menurut Riri Satria, aktivis di Komunitas Dapur Sastra Jakarta dan salah seorang penasihat dalam iven Minangkabau Culture and Art Festival, yang sukses digelar di TIM Jakarta beberapa waktu lalu, sebuah festival—terlepas dari skalanya—tak akan bisa dipisahkan dengan manajemen dan tata kelolanya.  

“Festival bukan semata melibatkan personal seniman atau sastrawan semata. Festival itu bersifat publik dan berbagai pihak, dituntut tata kelola dan manajemen yang ketat dan disiplin. Kerjanya harus direncanakan. Tak ada sporadis. Saya yang berlatar belakang ilmu manajemen sudah menerapkannya di pelbagai kegiatan, terutama komunitas saya dan beberapa kegiatan festival lainnya,” kata lulusan program Master of Information Technology Swiss-German University (MIT-SGU).

Selain itu, tambah pengajar manajemen di Universitas Indonesia ini, keterlibatannya secara tak langsung dalam “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” ini, tak lebih memberikan semacam motivasi dan mendorong para pegiat sastra dan literasi di Sumbar bagaimana cara menata dan mengelola sebuah kegiatan atau festival seni.

“Dengan keterbatasan di sana-sini, kita tetap bisa laksanakan kegiatan ini sesuai yang kita rencanakan kendati belum maksimal dan perlu dibenahi banyak hal. Tapi modal militansi dan semangat itu, jadi pijakan kita menata manajemen festival untuk masa yang akan datang,” kata pemilik buku antologi buku puisi “Jendela” dan “Winter in Paris” ini.

Sosiawan Leak, sastrawan antikorupsi ini, selain pemancing diskusi juga membaca puisi malam itu, menilai, secara umum, tingkat apresiasi publik terhadap sastra meningkat. Hal ini terlihat dari masifnya iven sastra, perbicangan buku sastra, hadirnya komunitas-komunitas sastra dan literasi, di pelbagai kota hingga kabupaten, dan kecamatan sekalipun.

“Bagi saya ini sesuatu yang perlu kita simak dan apresiasi dengan baik. Posisi sastra sangat penting dalam kehidupan berbagai bidang, termasuk politik dan ekonomi. Keberadaan sastrawan pun sangat berperan,” kata Sosiawan  malam itu bersama Riri membagikan buku kumpulan “Puisi Menolak Korupsi” kepada beberapa orang yang hadir.(***)



BACA JUGA