Selasa, 08/11/2016 17:28 WIB

Nurmatias: Tambo Telah Alami Distorsi Informasi

BPCB SUMBAR-MSI-IAAI GELAR SEMINAR

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kerja sama dengan Masyarakat Sejarahwan Indonesia Sumatera Barat.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kerja sama dengan Masyarakat Sejarahwan Indonesia Sumatera Barat.

Batu Sangkar, sumbarsatu.com--Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kerja sama dengan Masyarakat Sejarahwan Indonesia Sumatera Barat, Sabtu (29/10/2016) lalu menggelar seminar “Penulisan Sejarah Minangkabau dan Masalah Penulisannya”.

Kegiatan yang diselenggarakan di Benteng Van der Capellen yang juga difungsikan sebagai Kantor Dinas Budparpora Kabupaten Tanah Datar ini menghadirkan empat narasumber; Drs. Nurmatias (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Dr. Wannofri Samry, M. Hum (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat), Dr. Nopriyasman, M. Hum (Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana Universitas Andalas, Padang) dan Dra. Midawati, M. Hum (Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana Universitas Andalas, Padang).

Selain kerja sama dengan MSI Sumbar, BPCB juga menggandeng Pemeritah Kabupaten Tanah Datar, dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Panitia juga mengundang siswa dan guru, serta tokoh masyarakat dan peminat sejarah di Kabupaten Tanah Datar.

Midawati dalam makalahnya berjudul "Sistem Nasab Ibu dan Keusahawanan dalam Budaya Minangkabau di Sumatera Barat" mengatakan, cara hidup, prinsip dan dinamika kehidupan orang Minangkabau sebagaimana perjalanan sejarah kerap dijadikan falsafah dalam bentuk petatah dan petitih.

"Misal cara orang Minang menghargai waktu dalam mempersiapkan diri: katiko ado jan dimakan, lah indak ado baru dimakan/ duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarak," katanya.

Ditambahkannya, fenimisme perempuan Minangkabau tidak hanya dalam bentuk merawat rumah tangga namun juga bekerja dalam keseharian: tenun, kerajinan tangan, sulamanan, dll.

“Sehingga tampak hingga kini, terdapat ratusan industri rumah tangga di Sumatera Barat dan semua melibatkan peran perempuan di dalamnya. Dari masa kolonial pun hingga kini, para pelaku pedagangan di pekan didominasi kaum perempuan,” jelasnya.

Nopriyasman pada kesempatannya mendedah makalah bertajuk "Menakar Validitas Sejarah: Kondisional Golongan Geneologis Istana Pagaruyung di Sumatera Barat". Diyakininya, betapa penting validitas sejarah dalam mengantisipasi adanya pemaksaan kehendak yang menjadi pijakan dalam mengangkat sejarah; adanya faktor kadar subjektivitas di dalamnya.
"Sebab pada pada dasarnya, sejarah yang yang dianggap negatif justru bisa menjadikan kita dewasa, namun sejarah positif jika ditampilkan tidak baik justru menjadi negatif," kata Nopriyasman.

Ia menegaskan, betapa perlu adanya kebijaksanaan dalam mempelajari sejarah agar terjadinya netralitas sejarah. Dalam paparannya, ia mengetengahkan dari sudut pandang historis terhadap fenomena geneologis kerajaan pagaruyung yang kerap menjadi wacana publik.

Di sesi lain, Nurmatias mengangkat tema "Sejarah Minangkabau Perspektif Arkeologis." Ia menegaskan, tambo yang diceritakan dari mulut ke mulut tentunya akan dipengaruhi oleh distorsi informasi.

"Maka, tinggalan arkeologis akan menjadi bukti penjawab rentetan cerita. Di akhir penyampaiannya," kata pria asal Pariaman.

Ia mengetengahkan, seiring dengan perkembangan zaman, terkait dengan paradigma generasi muda terhadap sejarah, maka perlu adanya informasi terbaru yang sesuai dengan kejelasan sejarah. Hal tersebut dapat dijawab dengan bukti dari berbagai tinggalan arkeologis.

Wannofri Samry dalam kesempatannya, membahas "Sejarah Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah." Ia menyatakan tidak ada satu dokumen pun yang menyatakan kemunculan filosofi tersebut dalam perwujudan kesepakan Bukit Marapalam.

Oleh karena itu, terdapat kegamangan bahwa platform Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tersebut merujuk kepada masa lalu atau dibuat sebagai pijakan pembentuk masa depan kebudayaan Minangkabau.

Dalam tanggapan peserta, bahasan ABS-SBK ini pun kerap diangkat. Diharapkan ABS-SBK tidak sebatas wacana, namun perlu diinternalisasi dan diimplementasikan. (Dafriansyah Putra/SSC) 

 

BACA JUGA