
Tari "Tonggak Raso" karya Ali Sukri
Padang Panjang, sumbarsatu.com--Dua koreografer kontemporer Indonesia, Ali Sukri dari Padang Panjang dan Eko Supriyanto dari Surakarta akan menampilkan masing-masing karya tarinya di Gedung Hoerijah Adam, ISI Padang Panjang, Jumat (12/8/2016).
Menurut Pimpinan Produksi Kurniasih Zaitun, pertengahan tahun ini masyarakat seni menyaksikan duel karya koreografer tari kontemporer Indonesia yang tengah banyak mendapat sorotan di dunia seni pertunjukan, yaitu Eko Supriyanto dari Surakarta dan Ali Sukri dari Padang Panjang.
"Kedua karya yang akan ditampilkan bersama ini memiliki kesamaan dari segi insisiasi gerak, yang mengambil silat sebagai dasar koreografi dan filosofi dalam penciptaannya. Namun, karya-karya ini lahir dari dua orang koreografer yang berbeda generasi," kata perempuan yang akrab disapa Tintun ini, kepada sumbarsatu.com, Kamis (11/8/2016) di Padang Panjang.
Berbeda genari yang dimaksudkan itu, tambahnya, Eko Supriyanto memasuki fase puncak karirnya pada tahun 2000-an, sementara Ali Sukri muncul sekitar 10 tahun sesudahnya.
Dalam kedua karya mereka hal ini akan terlihat secara signifikan. Meski keduanya memiliki kualitas stamina, endurance, kecerdasan, dan kepekaan visual yang sama kuat, namun cara pandang mereka terhadap penciptaan karya ini sangat berbeda," terangnya.
Ali Sukri, dengan dasar silat Minangnya menciptakan ‘Tonggak Raso‘ dengan mengambil sudut pandang ke arah luar, di mana ia merasa pentingnya sebuah tonggak dalam diri seseorang sebagai mekanisme pertahanan diri dalam menerima berbagai pengaruh dari lingkungan luarnya.
Sementara Eko Supriyanto, yang memiliki dasar silat Bima di Magelang, memilih untuk menggali ke dalam, menelusuri akar tanah dan filosofi leluhurnya sebagai upaya penguatan identitas, yang ia wujudkan dalam sebuah interpretasi gerak yang dituangkannya dalam karya “tra.jec.to.ry”.
Pementasan yang didukung Kementerian Pariwisata Republik Indonesia dan Bakti Budaya Djarum Foundation serta bekerja sama dengan berbagai lembaga seni yaitu Yayasan Ekosdance, Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, Universitas Muria Kudus, dan NuArt Sculpture Park, Bandung.
Kedua karya ini akan dibawa keliling Pulau Sumatera dan Jawa, dan melakukan pertunjukan di titik-titik yang dianggap potensial untuk perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.
Adapun jadwal pementasannya adalah 12 Agustus 2016 pukul 19.00 WIB di Gedung Hoeriyah Adam, ISI Padang Panjang; 6 September 2016 pukul 19.00 WIB di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta;
8 September 2016 pukul 19.00 di Auditorium Universitas Muria Kudus
Selanjutya 10 September 2016 pukul 19.00 WIB di NuArt Sculpture Park, Bandung.
Tentang Koreograger
Eko Supriyanto
Dia meyelesaikan program S1 di ISI Surakarta, melanjutkan studi magisternya di UCLA, AS dalam bidang Koreografi dan Seni Pertunjukan dengan dukungan dari beasiswa Ford Foundation, Asian Cultural Council, dan UCLA.
Program doktoralnya diselesaikan pada di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 2015 dalam kajian Seni Pertunjukan. Pengalaman menari dimulai Eko saat kecil dengan mempelajari beladiri silat di bawah bimbingan BIMA (Budaya Indonesia Mataram) dan tari-tarian Jawa, di Magelang, Jawa Tengah.
Karya-karya Eko telah medapat apresiasi secara luas oleh masyarakat dunia, baik di Indonesia maupun di negara lain, seperti di Amerika Serikat, juga di berbagai panggung dan festival prestitius di Asia, Australia, Afrika dan Eropa. Eko pernah terlibat sebagai penari dalam tur konser “Drowned World” penyanyi Madonna pada tahun 2001, dan bekerja sebagai konsultan Tari dalam karya Los Angeles and National Tour of Julie Taymor saat memproduksi teater Broadway “Lion King”.
Dalam dunia layar lebar di tanah air, Eko telah terlibat menjadi aktor, penari, dan koreografer dalam beberapa film antara lain “Opera Jawa” (Garin Nugroho, 2006) dan “Generasi Biru” (Garin Nugroho), Kisah Tiga Titik dan Negeri Tanpa Telinga (Lola Amaria), dan film terbaru "Sunya" bersama Harry Dagoe.
Saat ini Eko fokus membangun EkosDance Company dan Yayasan EkosDance yang menjadi wadahnya menghasilkan karya-karya terbarunya seperti Cry Jailolo (2014-2015), yang baru saja menyelesaikan tour dunia ke festival-festival seni pertunjukan kontemporer di Australia, Eropa, dan Asia. Serta karya terbarunya Balabala dan "SALT" karya tunggalnya yang melengkapi Research Performance "Trilogy of Jailolo" 2017-2018.
Ali Sukri
Lahir di Pariaman, 28 Oktober 1978, Ali Sukri kini merupakan salah seorang koreografer muda asal Sumatra Barat. Tahun 1994, Sukri lulus SMP dan melanjutkan studi ke Sekolah Teknik Menengah mengambil jurusan bangunan. Tetapi karena semua keluarga mengharapkan Sukri masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia akhirnya ia masuk SMKI di Padang. Ia meneruskan pendidikannya di STSI Padang Panjang.
Di STSI ia membuktikan kemampuannya dengan menyusun duet "Dentuman Gong" untuk memperingati wafatnya perintis tari baru Minang: Hoerijah Adam 10 November 1998.
Karya ini berkisah tentang seseorang yang berada di lingkungan yang baru dan harus merintis hidup yang baru dari nol. Bulan yang sama, Sukri membuat "Baliak Ka-Asa" untuk merayakan ulang tahun STSI Padangpanjang dan mendapat sambutan hangat.
Di samping belajar dari Ery Mefri dan pendidikan formal di STSI Padang Panjang, Sukri pernah belajar koreografi dari penata tari Boi G. Sakti, Tom Ibnur, dan mengikuti workshop koreografi penati tari Taiwan kenamaan Lin Hwai-min yang diselenggarakan Kelola di Surakarta 2007.
Lulus S-1 STSI tahun 2002, Sukri menjadi guru tidak tetap di SMKI Padang. Baru tahun 2004 ia menjadi dosen di almamaternya, STSI Padang Panjang sambil tetap aktif membuat karya. Tahun yang sama Sukri mendirikan “Sukri Dance Theatre” sebagai wadah kegiatan kreatif. Tahun 2006, Sukri mengambil program pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta yang ia selesaikan tahun 2008. (SSC)